Jakarta, NU Online
Peringatan sejumlah pihak agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak mengangkat calon menteri yang memiliki kedekatan hubungan dengan IMF agaknya bukan tanpa dasar. Keberhasilan Malaysia dan Thailand dalam memulihkan perekonomian mereka dari krisis dengan tanpa bantuan atau menolak skema pemulihan ekonomi IMF menjadi rujukan sikap mereka.
Meski dalam susunan Kabinet Indonesia Bersatu Utuh yang dibacakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Rabu (20/10), pukul 24.00 WIB, nama Direktur IMF untuk Asia Tenggara Sri Mulyani Indrawati tidak tercantum. Marie E Pangestu, yang dinilai sejumlah kalangan termasuk dekat dengan IMF tetap lolos. Sedangkan Rizal Ramli yang dipromosikan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) justeru tidak masuk dalam daftar anggota kabinet yang dibacakan SBY.
<>Bagaimanapun kuatnya arus penolakan, pada akhirnya keputusan tetap di tangan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden. Apalagi dalam pidato pengantar pengumuman menteri yang duduk dalam kabinetnya, SBY mengatakan, bahwa dirinya mengharapkan nama-nama yang dipilihnya sebagai menteri dapat diterima semua kalangan.
Meski demikian, SBY mengungkapkan, bahwa dirinya bisa memaklumi bila tidak semua kalangan akan dapat menerimanya. Sebagai penegasan, SBY menyatakan, bahwa nama-nama menteri yang ditetapkannya sudah dipikirkan dengan matang.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang punya hak untuk mempertahankan keputusannya. Demikian pula dengan penolakan menteri yang dinilai dekat dengan IMF. Mereka tentu ingin agar keberhasilan Malaysia, dan Thailand dalam memulihkan perekonomian sejak dilanda krisis moneter 1997/1998 dapat pula dilakukan di Indonesia.
Mahathir misalnya, dengan sadar menolak International Monetary Fund (IMF), karena resep pemulihan ekonomi dari lembaga para bos duit dunia itu diyakini dapat menimbulkan gejolak ekoonomi dan politik di Malaysia. Hasilnya sangat menggembirakan, negeri yang pernah dipimpin Mahatir itu dapat mewujudkan stabilitas ekonomi dan finansial. Pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja juga tinggi.
Cerita kegagalan dalam menerapkan resep IMF pernah dialami Thailand. Perdana Menteri Chuan Leekpai dari Thailand yang semula mengikuti resep dari IMF dan banyak dipuji oleh kreditor, akhirnya justru 'digulingkan' oleh rakyat melalui pemilu yang memilih PM Thaksin Shinawatra secara mutlak.
Dengan mandat kemenangan yang besar, Thaksin dengan cepat mengubah kebijakan yang tadinya pro IMF menjadi pro-rakyat dan ternyata hasilnya sangat menggembirakan, baik dari segi pertumbuhan ekonomi, investasi, maupun penciptaan lapangan kerja. Karena prestasinya yang membanggakan dalam membangun perekonomian. Thaksin diperkirakan akan kembali menang dalam pemilu mendatang.
Resep IMF yang menekankan pengetatan anggaran, deregulasi dan privatisasi, justeru menyebabkan perekonomian Indonesia merosot, dan membuat rakyat semakin menderita.
Sebaliknya, Kedua negara tetangga yang berhasil pulih dari krisis justeru melakukan kebijakan defisit anggaran untuk memberikan stimulus ekonomi kepada sektor riil.
Bukan hanya belajar dari pengalaman Malaysia dan Thailand, penolakan sejumlah kalangan terhadap figur menteri yang memiliki kedekatan hubungan dengan IMF juga berdasarkan hasil evaluasi terhadap kinerja IMF yang dilakukan lembaga Independent Evaluation Office (IEO).
Di dalam laporan yang ditulis konsultan IEO, Stephen Grenville dinyatakan, bahwa IMF melakukan 'blunder' dalam menangani krisis di Indonesia 1997/1998. Sehingga menyebabkan krisis nilai tukar lebih dalam dan terjadi pelarian modal besar-besaran.
IEO sendiri adalah lembaga independen bentukan IMF untuk mengevaluasi kinerjanya dalam menangani krisis. Laporan IEO yang dikeluarkan pada pertengahan 2003 telah dikutip oleh konsultannya, Stephen Grenville seperti dikemukakan di atas.
Apa yang menjadi penilaian Stephen Grenville, maupun para mahasiswa yang menolak keterlibatan IMF dengan segala resep ekonominya. Anggota DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa Muhammad Yusuf Faisal berpendapat sebaliknya.
“Saya tidak terlalu khawatir, sebab DPR nanti akan melihat dan mengevaluasi setiap langkah – langkah yang akan mereka (pemerintah: Red.) lakukan. Dan mereka tidak bisa membuat kebijakan yang seenaknya,”kata Muhammad Yusuf Faisal yang ahli di bidang ekonomi ini kepada NU Online, Kamis (21/10).
“Saya tidak pro dan kontra, tetapi ada kok, kita bisa melihat, mau dari manapun, katakanlah dia mantan direktur IMF, bukan berarti dia harus pro IMF dalam membuat program. Program dalam mengambil keputusan APBN itu menjadi fungsi legislasi, budgeting (menyusun APBN: Red.) itu ada sama kita (DPR: Red.),”tambah Faisal.
Faisal justeru melihat bila ada menteri yang memiliki kedekatan dengan juragan duit dunia itu akan menguntungkan Indonesia