Banda Aceh, NU Online
Kami sudah kehabisan air mata dan rasanya kami sudah tak bisa menangis lagi. Itu lah yang disampaikan Zainal, salah seorang warga Aceh korban tsunami yang mengantar rombongan PBNU dalam kunjungannya untuk memberikan bantuan ke beberapa pesantren di NAD ketika memutari sebagian wilayah kota Banda Aceh hari Selasa 22 Februari lalu. Ucapan itu tentu saja mewakili warga Aceh yang selamat dari bencana gempa dan tsunami Minggu 26 Desember 2004.
Bencana yang menelan korban di 12 negara ini - India, Indonesia, Sri Lanka, Thailand, Malaysia, Maladewa, Somalia, Tanzania, Seychelles, Myanmar, Banglades, dan Kenya - hingga hampir dua bulan sesudahnya, pada tanggal 25 Februari, disebut telah menewaskan lebih dari 300.000, dengan korban dari Indonesia 200.000 jiwa meninggal belum termasuk korban yang hilang, dan jutaan lainnya di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Sumatra Utara menghadapi penderitaan pascabencana.
<>Selasa siang itu, sejumlah jalan dari Bandara dan Pangkalan Udara Sultan Iskandar Muda menuju wilayah kota telah bisa dilalui. Sejumlah pasar tradisional terlihat sudah mulai hidup, lalu-lintas mulai ramai dan bus kota antarkota mulai beroperasi. Labi-labi, dan becak khas Aceh yang menggunakan sepeda motor pun terlihat sudah melayani penumpang. Sementara depan kantor Palang Merah Indonesia di Lambaro yang sebelumnya menjadi salah satu titik evakuasi jenazah kini tampak kosong. Hingga di sepanjang jalan protokol yang berderet gedung-gedung pemerintahan dan sekolah mulai nampak bersih, meskipun fisik bangunannya tetap menyisakan amuk tsunami.
Namun itu masih belum mampu mengusir bayangan kedahsyatan gempa dan tsunami dua bulan lalu. Di sejumlah lokasi, tampak rumah-rumah penduduk dan bangunan lain yang hancur. Namun kalau gempa lebih kurang memperlihatkan destruksinya, tsunami lah yang tampak menyisakan kehancuran mahadahsyat di Tanah Cut Nyak ini."Anda lihat di Ule lee sana, yang terhampar hanya tanah rata dengan sisa puing-puing bangunan berhaburan, padahal kawasan ini dulunya adalah padat penduduk. Sekarang anda bisa lihat apa yang tersisa?" kata Zainal yang mengaku seluruh bisnis jual beli mobil di show roomnya hancur tak tersisa.
Sejumlah kawasan tampak jadi seperti menghampar kosong, padahal - seperti kata Zainal, yang juga ketua GP ANSOR NAD - sebelum tsunami itu merupakan daerah perumahan penduduk. Memang perumahan itu kini telah berubah jadi serpihan kayu dan bahan lain yang memenuhi hampir seluruh wilayah kota Banda Aceh, jalanannya, sungainya, dan juga bangunan-bangunannya.
Selain rumah, yang juga banyak disapu tsunami adalah penduduknya. Tanpa bermaksud mendramatisasi, Zainal menyebutkan, bahwa banyak tempat, khususnya di sekitar pantai, yang penduduknya tinggal 10 sampai 20 persen saja yang selamat. Itu berarti sebagian besarnya telah tewas atau hilang. Itu lah yang lalu menjadi wujud sisa bencana yang jauh lebih mencengkam, yakni ribuan mayat yang tersebar di berbagai penjuru Nangroe Aceh Darussalam. Dan dengan tenaga yang jauh lebih kecil dibandingkan mayat yang harus diurus, maka tak sulit dimengerti kalau ketika itu kita saksikan di televisi ada banyak mayat yang masih terserak di jalanan di Banda Aceh.
Namun, hingga dua bulan paska tsunami yang tersisa hanya saksi bisu, lorong-lorong jembatan tempat ribuan mayat menghampar, pasar yang ludes, jalanan dan pertokoan yang ambruk masih "angkuh" menghadirkan dahsyatnya amuk tsunami. Sejumlah jalan di Banda Aceh dengan lalu lalang aktivitas penduduk dan tim evakuasi dari dalam dan luar negeri terlihat masih sibuk bekerja. Sementara itu menjelang pagi dan dini hari kedai-kedai kopi yang menjadi ciri khas masyarakat Aceh sudah ramai di kunjungi penikmat kopi itu. Ya, kedai kopi menjadi tempat berinteraksi satu sama lain, untuk "curhat" melepas beban berat yang telah mereka alami.
Di salah satu jalan, ada sekelompok Marinir yang siang itu bekerja tak henti-hentinya mengangkut sampah dan puing-puing ke dalam truk. Mereka mengaku masih menemukan 7 mayat ketika menggali reruntuhan rumah dan bangunan. Tentu saja mereka bekerja dengan menggunakan masker penutup hidung, bahkan senjata pun masih tersangkut di pundaknya. Karena bau mayat yang membusuk sungguh luar biasa menyengat, menambah kesan mencengkam. Bau ini mencapai puncaknya di dekat lokasi kuburan massal, seperti yang siang itu penulis jumpai di pinggir jalan, tepatnya di sepanjang jalan LAMBARO.
Zainal sepanjang jalan itu menuturkan berbagai kisah memilukan tentang apa yang ia saksikan sendiri dan juga dituturkan oleh sesama warga lainnya. Misalnya saja bagaimana seorang bapak yang mencari anaknya yang hilang, lalu setelah berhasil menemukannya dalam keadaan tewas, ia menggendong jenazah sanak saudaranya, mencari anaknya yang hilang. Zainal juga menceritakan bagaimana show room mobilnya hancur seperti krupuk terkena air, 27 mobil mewah dari Sabang, bisnis yang digelutinya 3 tahun belakangan hancur, yang tersisa hanya satu mobil