Warta

Ajakan Debat Mahrus Ali Tidak Serius

Selasa, 13 Mei 2008 | 04:19 WIB

Jember, NU Online
Kesediaan H. Mahrus Ali--penulis buku “Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat, Dzikir Syirik--untuk mengadakan dialog dengan kiai NU seputar bukunya yang kontroversial itu, tidak lebih dari kesediaan semu. Syarat tersebut, sebagaimana diberitakan media massa adalah bahwa kiai NU yang mau berdebat tak boleh lebih dari 5 orang, dan harus berdebat satu persatu di tempat tertutup.

“Itu namanya kesediaan semu. Sehingga tak perlu direspon,” ungkap Abd, Haris, M.Ag., anggota Lembaga Bahtsul Masa’il PCNU Jember di kediamannya, Ahad (11/5) kemarin.<<>br />
Seperti dilaporkan kontributor NU Online di Jember, Aryudi A. Razaq, Haris menyatakan bahwa syarat yang diajukan Mahrus memang dibikin sedemikian rupa agar tidak terjadi dialog. Seharusnya, katanya, kalau Mahrus memang serius menggelar dialog yang fair, maka debat itu harus terbuka untuk umum, sehingga masyarakat mengetahui pertanggungjawaban kedua belah pihak. “Apalagi bukunya sudah beredar untuk umum.”

Di tempat terpisah, sekretaris Tim Penyusun buku “Membongkar Kebobongan Buku Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat, Dzikir Syirik”, Idrus Ramli, mengaku geli dengan syarat yang diajukan Mahrus. Menurutnya, dari dulu Mahrus memang selalu menganjurkan syarat yang tidak masuk akal.

“Kalau dia jantan, seharusnya tidak usah bikin syarat yang macam-macam,” tukasnya.

Untuk membahas buku yang sudah beredar luas itu, mau tidak mau masyarakat harus dilibatkan, sehingga mereka bisa menilai siapa yang benar dan siapa yang asal ngomong. “Lebih dari itu, jika debat tertutup, hasilnya cenderung dimanipulasi,” tukas Idrus seraya mengaku dirinya sudah tidak lagi tertarik berdebat dengan Mahrus.

Seperti diketahui, saat debat NU versus Wahabi di aula Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Maret lalu, Mahrus memilih untuk tidak hadir dengan berbagai alasan. Namun ia tak pernah surut untuk memojokkan NU, bahkan semakin berani mencetak ulang bukunya dengan pengakuan dirinya sebagai kader NU, walaupun pengantar bukunya, KH. Muammal Hamidy, sudah mengakui perapuhan sejumlah argumentasinya. (dar)


Terkait