Ahsin Zaidy: Semua Buruh Migran Harus Didaftarkan di Serikat Pekerja
Kamis, 13 Mei 2004 | 13:15 WIB
Jakarta, NU Online
Ancaman hukuman mati terhadap lima orang Buruh Migran Indonesia (BMI) di Singapura, melengkapi deretan panjang catatan penderitaan buruh migran. Derita pahit itu tak hanya terjadi di negeri jiran, sebagian mereka yang tengah menjadi khadam (bhs. Arab = pembantu:Red.) di sepanjang Jazirah Arab pun mengalaminya. Kasus-kasus penganiayaan, ancaman hukuman mati, pelecehan seksual, trafficking, gaji tidak dibayar harus segera dihentikan. RUU Buruh Migran Indonesia (BMI) mendesak untuk segera disahkan.
Demikian kesimpulan diskusi tentang Perlindungan Buruh Migran di Gedung PBNU Lt. 8, Rabu (12/5). Diskusi yang diselenggarakan oleh Pusat Lembaga Pengembangan Tenaga Kerja Nahdlatul Ulama menghadirkan Dina Nuriyati (Ketua Federasi Organisasi Buruh Migran Indonesia) dan Hadi Wasikoen (Wakil Ketua Sub-Nakertrans Komisi VII DPR-RI) sebagai pembicara.
Penderitaan yang menimpa buruh migran seakan tidak akan pernah berhenti. Apa yang dialami 5 BMI di Singapura bukan kasus baru. Karena hingga saat ini, tidak kurang 98 orang TKW Indonesia mati di negeri jiran tersebut. Boleh dikatakan tanggung jawab negara nihil dalam melindungi buruh. “Padahal seharusnya negara bertanggung jawab terhadap masalah BMI, karena migrasi yang mereka lakukan disebabkan ketidakmampuan negara ini menjamin kesejahteraan rakyatnya,”tambah Dina. Karena itu Dina yang pernah menjadi BMI di Hongkong ini mengungkapkan,”Menjadi BMI itu keterpaksaan, bukan pilihan,”tandasnya.
Ada beberapa petunjuk kenapa negara dianggap kurang bertanggung jawab dalam melindungi BMI, Dina menunjukkan soal minimnya jumlah atase ketenagakerjaan, ketiadaan regulasi atau perjanjian bilateral Indonesia dengan negara tujuan pengiriman, serta tidak adanya payung hukum yang memberi perlindungan kepada TKW di dalam negeri sendiri. “Jadi wajar saja, jika seorang duta besar di Arab Saudi baru mengadvokasi BMI yang dianiaya setelah mendapat laporan langsung via telpon dari seorang pengusaha Indonesia di sana. Tanpa tahu langsung dari orang yang dia kenal, tidak mungkin dia berbuat sesuatu,”kata Hadi Wasikoen menceritakan lemahnya posisi BMI.
<>Meskipun BMI yang menjadi korban penganiayaan, bahkan vonis hukuman mati sudah berulangkali terjadi, pemerintah dan DPR tak juga membahas RUU Perlindungan BMI. Menanggapi lambatnya pemerintah dalam menyikapi permasalahan BMI, Ketua Pusat Lembaga Pengembangan Tenaga Kerja Nahdlatul Ulama (PLPTKNU), Ahsin Zaidy mengatakan,”Saya tidak tahu persis, tetapi di lingkungan pemerintah disadari atau tidak ada oknum-oknum yang bermain,”ungkap Zaidy.
Karena itu tambah Zaidy, tak dapat dihindarkan proses perekrutan BMI di daerah semestinya oleh Depnaker atau cabang resmi PJTKI Pusat, justru dilakukan oleh calo-calo yang bergentayangan di mana-mana,”tandasnya. Zaidy pun mengusulkan agar dilakukan penataan sistem yang berkaitan dengan BMI secara mendasar.
Peraturan-peraturan seperti Kepmen sanksinya kurang kuat, jadi harus menggunakan undang-undang,”kata Zaidy mengusulkan. “Jika terjadi penipuan, seperti tidak dibayar selama dalam proses kontrak, atau dianiaya oleh majikan, maka merupakan tanggungjawab PJTKI untuk mengganti gaji yang seharusnya dibayar oleh majikan, atau biaya pengobatan sebagai akibat penganiayaan,”papar Zaidy tentang ketentuan sanksi yang harus dimasukkan dalam Undang-undang BMI.
Selain itu, seperti masukan PLPTKNU kepada komisi VII, undang-undang perlindungan BMI juga harus mengatur perlindungan dalam tiga tahap; sejak proses dalam negeri, pemberangkatan dan di tempat kerja, dan saat pulang. Sehingga bisa dihindarkan pemerasan atau penipuan yang acapkali terjadi di terminal III Bandara Soekarno Hatta,”kata Zaidy memaparkan.
Adapun sanksi untuk majikan di luar negeri, menurut Zaidy, memang tidak bisa diatur di Undang-undang perlindungan BMI. Semua itu tergantung undang-undang yang berlaku di negara bersangkutan,”jelas Zaidy. Tetapi sebaiknya diatur dalam Undang-undang perlindungan BMI, keharusan PJTKI mendaftarkan BMI yang direkrutnya ke serikat-serikat buruh di Indonesia. Karena dengan demikian, serikat-serikat buruh di Indonesia bisa bekerjasama dengan serikat-serikat buruh di negara tempat BMI bekerja,”kata Zaidy mengusulkan.
Saya kira cara ini sangat efektif, sebab dengan membayar iuran keanggotaan kepada serikat pekerja setempat, BMI bisa mendapatkan pembelaan hukum bila terjadi penganiayaan terhadap mereka,”jelas Zaidy.
Selain itu, menurut Zaidy, perlu dibentuk Badan Nasional yang mengurusi penempatan BMI di luar negeri secara efektif. Badan ini, menurut Zaidy harus langsung bertanggungjawab kepada Presiden, “tuturnya. “Jadi semua urusan yang menyangkut proses perekrutan BMI dari awal sampai pengurusan soal paspor pun diselesaikan dalam satu atap atau one stop service, biar tidak ada pemerasan, atau manipulasi”tandas Zaidy.(Dul).