“Aduh Mas, jangan tanya deh, sejarah bangsa ini belang-belang, blepotan, banyak aibnya. Untuk memperbaikinya, kita harus mengakui itu semua. Jadi pernyataan bangsa ini ramah, adiluhung harus dipelajari dulu. Baru kita bisa memperbaiki.”
Demikian dikatakan Ahmad Tohari pada NU Online tadi pagi (16/2). Ahmad Tohari mengatakan, kekerasan kita ada sumbernya, tapi bukan agama, melainkan watak kekuasaan dan keserakahan manusia. <<>br />
“Bagi yang meresapi agama dengan sesungguhnya, agama mampu mengeliminir watak kekerasan pada penganutnya,” jelas Tohari yang lahir di Banyumas, Jawa Tengah, 13 Juni 1948.
Tohari memberi contoh, dalam cerita pewayangan, ketika Kumbakarna dimutilasi, para penonton menikmatinya, bersorak-sorai, bertepuk tangan. Begitu juga ketika Abimayu yang juga mati dimutilasi.
“Penonton mendukung pembunuhan keji itu. Pulang ke rumah, kita biasa saja, sembayang subuh, berbuat baik. Tanpa beban, tanpa penyesalan,” ujar Tohari, penulis novel terkenal, Ronggeng Dukuh Paruk.
“Ada contoh keji lagi. Amangkurat I membunuh 5000 santri dari Pantura di alun-alun Kartasura, dengan cara dipanahi satu-satu. Setengah bulan baru selesai. Ini datanya ada di Belanda. Pembantaian di Madiun 1948. Pembantaian tahun 1965 di mana-mana, yang tidak selesai-selesai efeknya sampai sekarang, dan lain-lain. Sejarah pembantaian ini mau dibaca bagaimana? Balas dendamkah? Diratapikah? Disembunyikankah?”
Tradisi kekerasan kita, kata Tohari, ada bersamaan dengan tradisi perilaku welas asih. “Seyognyanya dipelajari dengan baik, untuk modal hidup damai,” ujarnya.
“Kekerasan dalam agama adalah anomali. Mari kita pelajari lagi dengan sungguh-sungguh dan menyeluruh. Insya allah kesimpulannya akan benar untuk perkembangan peradaban ke depan,” kata Tohari yang ahli kebudayaan Jawa. (nn)