Warta

Achsin Zaidy: Tak Cukup Hanya Black List, Pemerintah Malaysia Perlu Mencegah Penyiksaan Itu

Jumat, 21 Mei 2004 | 08:18 WIB

Jakarta, NU Online

Kalau saja pemerintah serius memberantas korupsi, mungkin Nirmala Bonat (19) tak perlu bersusah-susah menjadi TKW di Malaysia. Banyak profesi di tanah air yang mungkin lebih menjanjikan kesejahteraan dia dan keluarganya. Kenyataannya korupsi semakin subur. Negeri ini pun semakin miskin. Sebagian warganya pun terpaksa menjadi buruh migran. Apa boleh buat, tak ada pilihan. Sebab menjadi pedagang kaki lima juga dikejar-kejar petugas Trantib. Dan cerita pedih penyiksaan Nirmala Bonat menambah deretan rekaman penderitaan Buruh Migran Indonesia.

<>

Saking sadisnya penyiksaan itu, berbagai media cetak dan elektronik di Malaysia memberitakannya. Dunia pun mengutuk aksi kejam sang majikan. Saat ini Nirmala Bonat dalam perlindungan KBRI di Kuala Lumpur. Karena tidak tahan  siksaan sang majikan, Bonat pun kabur.

Ihwal siksaan terhadap Bonat terjadi sejak 5 bulan lalu. Majikan perempuan menyetrika sebagian tubuhnya, termasuk kedua payudara gadis manis kelahiran Kupang (NTT) itu. Tak puas dengan itu, sang majikan pun mengguyur dan merendam tangan Bonat dengan air panas. Wajahnya pun tampak bengab membiru akibat kekerasan sang majikan.

Tak dapat dielakkan, meluasnya kecaman atas aksi kekerasan terhadap Buruh Migran di Malaysia telah membuat Pemerintah Malaysia meminta maaf. Menteri Dalam Negeri Malaysia, Datuk Azmi Khalid seperti dilansir harian Malaysia New Straits Time edisi Online, mengatakan,”Keluarga yang menyiksa Pembantu Rumah Tangga (PRT) akan diblacklist dan tidak bisa mendapatkan PRT lagi di masa selanjutnya,”kata Khalid menegaskan.

Selain itu kata Khalid, agen tenaga kerja yang membawa PRT dari Indonesia juga harus bertanggungjawab,”katanya kepada Straits Time.

Menanggapi tindakan Pemerintah Malaysia itu, Ketua Lembaga Pengembangan Tenaga Kerja NU, Achsin Zaidy menilai sebagai langkah maju. “Selama ini Malaysia ragu-ragu memberikan tindakan kepada para majikan yang berlaku sewenang-wenang kepada tenaga kerja Indonesia,”tutur Zaidy.

Tetapi saya kira itu masih kuratif, padahal tindakan yang lebih baik adalah bersifat preventif, atau pencegahan,”kata Zaidy sedikit mengkritik kelambatan niat baik pemerintah Malaysia itu. Ketika ditanya apa bentuk konkrit dari aksi preventif itu, Zaidy menunjuk perlunya ada aturan khusus dari Pemerintah Malaysia agar TKW dari Indonesia mendapatkan perlindungan pemerintah setempat.

Sebagai bukti kelambanan Pemerintah Malaysia itu, Zaidy menyebut untuk menangani masalah Buruh Migran Indonesia di sana, pemerintah setempat baru membuat nota kesepahaman (MoU) dengan Indonesia, dan disertakan juga tenaga kerja dengan majikan,”ungkap Zaidy. Isi dari MoU itu mengenai perlindungan TKI di sana, kalau ada pelanggaran  atau sengketa, penyelesaiannya pakai hukum mana? Indonesia atau Malaysia. Tetapi sifatnya tidak rigid, sehingga diperlukan perjanjian G to G,”tambah Zaidy.

Zaidy pun menganggap wajar jika PJTKI yang mengirim Bonat harus turut bertanggungjawab, sebab penyiksaan itu mungkin terkait dengan dipenuhinya persaratan atau tidak. “Tetapi kan harus diselidiki dulu, apakah benar korban tidak berkualitas,”kata Zaidy.

Nah, sambil mengingatkan, apakah betul status PJTKI-nya formal, jangan-jangan person yang tidak berbadan hukum yang melakukan kegiatan jasa ilegal sebagai umumnya pengiriman BMI ke Malaysia,”tandas Zaidy. Jika pengirimannya bukan oleh badan hukum, maka tidak ada PJTKI yang  dimintai pertanggungjawaban. Kalau Departemen Tenaga Kerja memang harus bertanggungjawab,”kata Zaidy memaparkan. (Dul)

 


Terkait