Syariah

Zina dan Perselingkuhan dalam Hukum Positif di Indonesia

Kamis, 4 Juli 2024 | 14:00 WIB

Zina dan Perselingkuhan dalam Hukum Positif di Indonesia

Mengenal zina dan perselingkuhan dalam hukum positif di Indonesia (NU Online).

Indonesia adalah negara yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan agama. Kentalnya nilai budaya dan agama itulah yang menjadi filter masyarakat Indonesia sehingga tidak serta merta menerima berbagai macam budaya asing yang dianggap menyalahi nilai agama dan moral bangsa.
 

Di antara tindakan yang diyakini tidak sesuai dengan moral bangsa dan nilai agama adalah perbuatan zina dan perselingkuhan. Masyarakat, pemerintah, dan seluruh pemuka agama mengecam tindakan tercela ini. Betapa tidak, zina dan perselingkuhan dianggap sebagai tindakan berdosa yang mencoreng nama baik diri sendiri dan keluarga.
 

Zina dan Perselingkuhan dalam Hukum Positif Negara

Sejak awal perjalanan Indonesia, bangsa kita sudah mengenal aturan tentang tindakan zina dan perselingkuhan, hal ini termaktub dalam KUHP atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana lama yang tak lain adalah warisan hukum dari pemerintahan kolonial Belanda. Dalam aturannya pada Pasal 248 KUHP termaktub sebagai berikut:

a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya. 

b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan Pasal 27 BW berlaku baginya. (Sumber: Undang-Undang No. 1 tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana, Pasal 248).
 

Orang yang melakukan tindakan perzinahan sebagaimana disebutkan berhak untuk mendapat tindak pidana penjara minimal 9 bulan, dengan catatan terdapat laporan dari suami atau istri yang bersangkutan dengan tenggat waktu tertentu. 
 

Memang tidak ada definisi baku dalam undang-undang tersebut tentang apa yang dimaksud dengan perselingkuhan, namun setidaknya terdapat dua poin penting yang dapat dipahami. 
 

Pertama, aturan tersebut hanya berlaku bagi orang yang telah menjalankan hubungan suami istri, dan kedua, delik pidana dalam pasal tersebut adalah delik aduan, artinya pelaku hanya dapat dipidana jika terdapat pengaduan oleh orang yang dirugikan.
 

Selain dalam KUHP tersebut, terdapat regulasi hukum lain yang memiliki pembahasan senada dengannya, yakni Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.
 

Secara substansial, KHI dan UU Pernikahan tidak membahas dengan mendetail makna dan sanksi tindakan zina dan perselingkuhan, namun KHI sebagai salah satu dokumen hukum yang berdasar dan mengakomodir hukum Islam menjadikan tindakan zina dan perselingkuhan sebagai salah satu tindakan yang dapat dijadikan alasan dalam kasus perceraian. (Sumber: Kompilasi Hukum Islam, Bab XVI Tentang Putusnya Perkawinan, Pasal 116).
 

Konsep Baru Aturan Zina dan Perselingkuhan di Indonesia

Sebagaimana telah disebutkan, regulasi perselingkuhan dalam KUHP lama merupakan warisan hukum Belanda, karena itu seiring berjalan waktu, undang-undang tersebut dirasa semakin tidak relevan dan tidak sesuai dengan nafas asli bangsa Indonesia. Karenanya dilakukan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang termuat dalam Undang-Undang No. 1 tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
 

Salah satu pembahasan yang banyak mengalami perubahan adalah aturan yang berkaitan dengan tindakan zina dan perselingkuhan. Dalam undang-undang tersebut terjadi redefinisi terkait makna zina dan perselingkuhan itu sendiri sebagaimana berikut:

"1) Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.
2) Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:
   a. suami atau istri dari orang yang terikat perkawinan.
   b. orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan."
(Sumber: Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 411, poin 1 dan 2).
 

Melalui definisi di atas, setidaknya ada beberapa perubahan aturan hukum dari KUHP lama dengan aturan hukum dalam KUHP baru. Di antara perubahan signifikannya adalah:

  1. Seseorang dianggap berzina atau berselingkuh dengan melakukan hubungan badan baik sudah menikah atau belum menikah.
  2. Aturan pidananya berubah menjadi maksimal satu tahun.
  3. Orang yang dianggap dirugikan dan dapat melakukan pengaduan adalah suami atau istri, atau orang tua dan anak bagi pelaku yang belum atau tidak sedang menikah.
 

Ketentuan zina dan perselingkuhan baru ini dibuat sedemikian rupa karena dianggap sesuai dengan marwah bangsa yang menolak adanya pergaulan bebas dan hubungan yang tidak halal.
 

Relevansi KUHP Baru Dalam Islam dan Pro Kontra di Dalamnya

Selayaknya terjadi dalam berbagai macam perubahan, pro kontra tentang aturan baru perzinahan dalam KUHP baru mencuat dalam wacana publik. Sebagian pihak setuju dengan aturan tersebut, namun sebagian lain merasa tidak cocok karena aturan tersebut dirasa terlalu personal dan mencampuri urusan pribadi masyarakat.
 

Terlepas dari berbagai macam pro kontra tersebut, menurut penulis jika relevansi undang-undang tersebut kita lihat dari kacamata ajaran agama Islam, maka KUHP baru lebih bersifat progresif dan responsif terhadap urusan sosial keagamaan.
 

Hal ini karena dalam ajaran Islam mengecam berbagai macam bentuk hubungan terlarang baik dilakukan saat sudah menikah atau sebelum menikah. Selain itu, hadirnya KUHP baru setidaknya dapat menjadi upaya amar ma’ruf nahi munkar pemerintah dalam membendung budaya buruk berupa pergaulan bebas dan hubungan terlarang di Indonesia. Wallahu a'lam.



Ustadzah Shofiyatul Ummah, Pengajar PP Nurud-Dhalam Ganding Sumenep