Waspadai Modus Badal Haji Palsu, Ini Ancaman bagi Pelakunya dalam Islam
Sabtu, 17 Mei 2025 | 19:00 WIB
Ibadah haji merupakan panggilan suci yang memiliki keutamaan luar biasa. Namun, tidak semua orang mampu dan berkesempatan untuk menunaikannya secara langsung. Dalam situasi seperti ini, Islam memberikan jalan keluar melalui praktik badal haji, yakni menghajikan orang lain yang sudah wafat atau yang hidup tetapi tidak mampu melakukannya sendiri.
Namun, bagaimana jadinya jika ada oknum tak bertanggung jawab menerima amanah dan bayaran untuk menghajikan orang lain, tetapi ia tidak melaksanakan ibadah haji tersebut, melainkan hanya mengaku-ngaku telah melakukannya alias bodong?
Tindakan ini jelas merupakan dosa besar dengan beberapa pelanggaran agama, yaitu penipuan, memakan harta orang lain dengan batil dan mengkhianati amanah.
Baca Juga
Kisah Ulama Berhaji Tanpa ke Tanah Suci
Sayyid Abdurrahman Ba'alawi menjelaskan bahwa dosa hukumnya bagi orang yang disewa untuk melakukan suatu pekerjaan, termasuk untuk menghajikan orang lain, kemudian ia mengabaikan tugasnya dan tidak melakukannya.
أَخَلَّ ٱلْأَجِيرُ بِشَيْءٍ مِمَّا ٱسْتُؤْجِرَ عَلَيْهِ فَإِنْ كَانَ لِعُذْرٍ وَلَمْ تُمْكِنْهُ ٱسْتِنَابَةُ مَنْ يَقُومُ مَقَامَهُ فَيَنْبَغِي أَنْ لَا يَأْثَمَ … أَوْ لِغَيْرِ عُذْرٍ وَأَمْكَنَهُ ٱلاسْتِنَابَةُ حَيْثُ جَوَّزْنَاهَا بِأَنْ وَرَدَتِ ٱلْإِجَارَةُ عَلَى ٱلذِّمَّةِ فَلَمْ يَسْتَنِبْ أَثِمَ
Artinya “Seorang pekerja (ajīr) mengabaikan sebagian dari pekerjaan yang disewa untuk dikerjakannya. Jika pengabaian itu terjadi karena uzur (halangan) dan ia tidak memungkinkan untuk mewakilkan (mengganti dirinya) dengan orang lain yang dapat menggantikan posisinya, maka semestinya ia tidak berdosa.
Baca Juga
Ini Larangan-larangan dalam Ibadah Haji
Sedangkan jika ia meninggalkan pekerjaan tanpa uzur dan masih memungkinkan untuk mewakilkan, dalam situasi di mana kita membolehkan adanya penggantian (istinābah), yaitu ketika akad ijarah ditujukan kepada dzimmah (tanggungan kewajiban, bukan orang tertentu), namun ia tidak mewakilkan, maka ia berdosa.” (Bughyatul Mustarsyidin, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2016] halaman 207)
Dalam pembahasan haji badal, Zakariya al-Anshari dan Sulaiman Al-Jamal dalam kitabnya masing-masing menjelaskan bahwa orang yang disewa untuk melakukan haji, kemudian ia menundanya, maka ia berdosa karena melakukan keharaman.
وَمَتَى أَخَّرَ أَجِيْرُ ذِمَّةٍ الشُّرُوعَ فِي الْحَجِّ عَنِ الْعَامِ الَّذِي تَعَيَّنَ لَهُ أَثِمَ لِارْتِكَابِهِ مُحَرَّمًا وَثَبَتَ الْخِيَارُ فِي الْفَسْخِ عَلَى التَّرَاخِي لِلْمَعْضُوبِ وَلِلْمُتَطَوِّعِ بِالِاسْتِئْجَارِ عَنِ الْمَيِّتِ لِتَأَخُّرِ الْمَقْصُودِ فَإِنْ شَاءَا فَسَخَا الْإِجَارَةَ وَإِنْ شَاءَا أَخَّرَا لِيَحُجَّ الْأَجِيرُ فِي الْعَامِ الثَّانِي أَوْ غَيْرِهِ
Artinya “Dan apabila seorang ajīr dzimmah (pekerja yang dihargai berdasarkan hasil/tanggungan) menunda memulai ibadah haji dari tahun yang telah ditentukan untuknya, maka ia berdosa, karena telah melakukan sesuatu yang diharamkan.
Dan tetaplah hak khiyār (pilihan untuk membatalkan akad secara sepihak) bagi orang yang uzur (al-ma‘dūb), dan bagi orang yang secara sukarela menyewakan orang lain untuk menghajikan orang yang telah meninggal dunia, karena tertundanya tujuan yang dimaksud (yakni pelaksanaan haji).
Jika kedua orang tersebut menghendaki, maka boleh membatalkan akad ijarah (upah haji), dan jika mereka menghendaki, maka boleh menunda agar ajīr (orang yang disewa) tersebut menghajikan pada tahun kedua atau tahun lainnya.” (Hasyiyah Al-Jamal [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2016] juz IV, halaman 36)
Ketika seseorang menerima bayaran badal haji namun tidak melaksanakannya, maka setidaknya ada tiga dosa besar yang ia lakukan:
Pertama, dusta dan penipuan. Ia mengklaim telah melakukan ibadah, padahal tidak. Ini termasuk kebohongan besar yang diharamkan dan merugikan orang lain.
Ibnu Hajar Al-Haitami menjelaskan bahwa berdusta dapat menjadi dosa besar jika membahayakan atau merugikan orang lain dalam batas yang tidak wajar (laa yuhtamalu ‘adatan). Bahkan imam Ar-Rouyani menyatakan bahwa berdusta itu dosa besar meskipun tidak merugikan dan membahayakan orang lain. (Az-Zawajir ‘An Iqtirafil Kabair, juz III, halaman 237)
Kedua, mengkhianati amanah. Orang yang dititipi badal haji adalah orang yang membawa kepercayaan atau amanah dari orang lain, dan ia diberi upah untuk itu. Jika ia mengabaikannya, maka ia tergolong orang yang berkhianat dan melakukan dosa besar.
Ibnu Hajar menjelaskan bahwa di antara dosa besar adalah khianat dalam amanah, seperti khianat dalam barang titipan, barang yang digadaikan, dan barang yang disewakan. Ini termasuk dalam dosa besar karena banyak ayat dan hadits yang menjelaskan dosanya. (Az-Zawajir, juz II, halaman 208)
Ketiga, Memakan harta orang lain dengan cara batil. Uang yang diterima dari jasa badal haji menjadi haram jika pekerjaannya tidak dilakukan. Ini termasuk dalam larangan Allah dan salah satu bentuk dosa besar dalam Islam.
Ibnu Hajar mengatakan bahwa segala bentuk penipuan yang dilakukan oleh para pedagang, penjual rempah-rempah, pedagang kain, tukang emas, penukar uang, penenun, dan semua pemilik barang dagangan, perdagangan, kerajinan, serta profesi lainnya, semuanya adalah haram dan sangat diharamkan.
Hal itu menyebabkan pelakunya tergolong sebagai orang fasik, penipu, pengkhianat, yang memakan harta orang lain secara batil. Ia telah menipu Allah dan Rasul-Nya, padahal yang ia tipu hanyalah dirinya sendiri. karena akibat dari perbuatannya itu hanya akan kembali kepada dirinya. (Az-Zawajir, juz III, halaman 134).
Sahabat NU Online, kasus badal haji palsu ini merupakan perbuatan yang sangat diharamkan. Haji adalah Ibadah yang sangat mulia, baik dilakukan langsung maupun melalui badal. Maka, mempermainkannya dengan alasan cuan atau keuntungan adalah tindakan yang sangat tercela.
Semoga kita dijauhkan dari segala bentuk pengkhianatan terhadap amanah agama. Dan bagi yang berniat membadalkan haji, pastikan menyerahkannya kepada pihak yang terpercaya, amanah, dan berpengalaman. Wallahu a’lam.
Ustadz Muhammad Zainul Millah, Wakil Katib PCNU Kab. Blitar.