Syariah

Larangan Filisida, Pembunuhan Anak oleh Orang Tua dalam Islam

Rabu, 29 Januari 2025 | 05:00 WIB

Larangan Filisida, Pembunuhan Anak oleh Orang Tua dalam Islam

Larangan filisida dalam Islam (NU Online)

Pada awal tahun 2025, Indonesia dikejutkan oleh kasus pembunuhan seorang balita berusia 3 tahun 9 bulan di Bekasi. Korban ditemukan tewas setelah mengalami penganiayaan yang dilakukan oleh kedua orang tua kandungnya sendiri. Motif tindakan keji tersebut diduga dipicu oleh emosi sesaat akibat perilaku anak yang dianggap mengganggu. 
 

Kasus tersebut bukanlah yang pertama terjadi, melainkan bagian dari fenomena meningkatnya kasus filisida di Indonesia, yang mana tekanan sosial dan ekonomi menjadi faktor utama yang mendorong terjadinya tindak kekerasan ini. 
 

Dalam artikel yang berjudul “An Overview of Filicide”, Sara G. West, MD, memaparkan definisi filisida sebagai pembunuhan anak hingga yang dilakukan oleh orang tua atau figur pengasuhnya, termasuk wali dan orang tua tiri. 
 

Ia juga memberikan istilah “infantisida”, yang merujuk pada pembunuhan anak di bawah usia satu tahun oleh orang tua mereka. Kemudian ada juga "neonatisida", sebuah istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh Phillip Resnick pada tahun 1970, merujuk pada pembunuhan bayi baru lahir dalam 24 jam pertama kehidupannya (Psychiatry, Februari 2007, halaman 48).
 

Filisida dapat dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Salah satu klasifikasi filisida yang pernah ditulis adalah yang diperkenalkan oleh Phillip Resnick pada tahun 1969, yang membagi filisida ke dalam lima kategori utama:

  1. Filisida Altruistik: Orang tua membunuh anak demi kepentingan terbaik anak, seperti mengurangi penderitaan akibat penyakit atau cacat.
  2. Filisida Psikotik Akut: Pembunuhan terjadi akibat kondisi psikotik tanpa motif rasional.
  3. Filisida Anak yang Tidak Diinginkan: Anak dianggap sebagai hambatan, sering kali karena kehamilan tidak diinginkan atau tekanan ekonomi.
  4. Filisida Tidak Disengaja: Terjadi akibat penyiksaan fisik yang berlebihan hingga menyebabkan kematian anak.
  5. Filisida Balas Dendam: Orang tua membunuh anak sebagai bentuk pembalasan terhadap pasangan, sering kali terkait konflik seperti perselingkuhan atau pengabaian. (Halaman 50).


Marieke Liem dan Frans Koenraadt dalam artikelnya “Filicide: A comparative study of maternal versus paternal child homicide” memaparkan, pada beberapa abad lalu, filisida digunakan untuk mengontrol ukuran keluarga dan menyingkirkan anak-anak yang lemah, abnormal, cacat, atau tidak sah, serta untuk membatasi jumlah perempuan (Criminal Behaviour And Mental Health, 18, 166-176).
 

Islam sendiri melarang tindakan filisida atau pembunuhan terhadap anak. Dahulu, pada masa jahiliyah, tradisi mengubur atau membunuh anak kerap terjadi. Al-Qur’an memberi peringatan soal kekejian tersebut berkali-kali. Salah satunya adalah surat Al-Isra’ ayat 31:
 

وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ اِمْلَاقٍۗ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَاِيَّاكُمْۗ اِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْـًٔا كَبِيْرًا
 

Artinya, “Janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan (juga) kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka itu adalah suatu dosa yang besar.” 
 

Syekh Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan, ayat di atas menegaskan bahwa Allah adalah pemberi rezeki bagi setiap makhluk, termasuk anak-anak yang dilahirkan. Larangan membunuh anak karena takut miskin menunjukkan bahwa kekhawatiran tentang rezeki anak adalah bentuk buruk sangka terhadap Allah (At-Tafsirul Munir, [Beirut: Darul Fikr al-Mu’ashir, 1418], jilid XV, halaman 69). 
 

Dengan menyerahkan urusan rezeki kepada Allah, orang tua diingatkan untuk tetap fokus pada tanggung jawab merawat dan membimbing anak-anak mereka dengan sebaik mungkin. Memahami bahwa rezeki adalah tanggungan Allah bukanlah alasan bagi orang tua untuk bermalas-malasan atau menelantarkan anak-anak, apalagi sampai tidak memenuhi kebutuhan nafkah mereka.
 

Syekh Wahbah juga memaparkan, bahwa pada masa Jahiliah, membunuh anak perempuan adalah praktik yang sering dilakukan karena berbagai alasan, termasuk takut kemiskinan dan rasa malu. Anak perempuan dianggap tidak mampu memberikan manfaat ekonomi, berbeda dengan anak laki-laki yang dapat berperang atau bekerja untuk menghidupi keluarga.
 

Selain itu, rasa malu terkait kehormatan keluarga juga menjadi alasan utama, di mana orang tua khawatir anak perempuan mereka akan membawa aib. Praktik ini dilakukan dengan mengubur anak perempuan hidup-hidup. Islam datang untuk menghapus praktik keji ini, dan menegaskan bahwa setiap anak, baik laki-laki maupun perempuan, adalah anugerah dari Allah yang harus dihormati dan dilindungi. (Az-Zuhaili, XV/69).

Kemudian jika merujuk kepada hadits Nabi saw, kita dapat melihat bahwa filisida merupakan sebuah kekejian yang dinilai sebagai dosa besar di sisi Allah. Mengutip riwayat yang disampaikan melalui pertanyaan Ibnu Mas’ud kepada Rasulullah saw:
 

قلت: يا رسول اللّه، أي الذنب أعظم؟ قال: أن تجعل للّه ندّا وهو خلقك، قلت: ثم أي؟ قال: أن تقتل ولدك خشية أن يطعم معك، قلت: ثم أي؟ قال: أن تزاني حليلة جارك
 

Artinya, “Aku bertanya: Wahai Rasulullah, dosa apa yang paling besar? Beliau menjawab: 'Engkau menjadikan tandingan/sekutu bagi Allah, padahal Dia yang menciptakanmu'. Aku bertanya: 'Kemudian apa?' Beliau menjawab: 'Engkau membunuh anakmu karena takut dia makan bersamamu.' Aku bertanya: 'Kemudian apa?' Beliau menjawab: 'Engkau berzina dengan istri tetanggamu'.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
 

Hadits di atas menjelaskan bahwa salah satu dosa besar yang paling berat setelah kekufuran adalah membunuh jiwa seorang Muslim tanpa alasan yang benar, khususnya membunuh anak. Larangan ini terkait dengan kebiasaan masyarakat jahiliah yang sering membunuh anak-anak mereka, terutama anak perempuan, karena takut kemiskinan. 
 

Mereka menganggap anak sebagai beban tambahan, baik dari segi makanan maupun kebutuhan lainnya, yang dapat membuat mereka jatuh miskin. Larangan membunuh anak dalam konteks Masyarakat jahiliyah menunjukkan bahwa rezeki adalah tanggung jawab Allah, dan manusia diperintahkan untuk bertawakal kepada-Nya.
 

Mula Al-Qari menjelaskan, pada hadits tersebut juga terdapat penjelasan bahwa membunuh anak, selain melanggar hak hidup, juga menunjukkan kurangnya kepercayaan kepada Allah sebagai pemberi rezeki, hilangnya sifat tawakal, dan hati yang sangat keras. (Mirqatul Mafatih, [Beirut, Darul Fikr: 2002], jilid I, halaman 2002).
 

Untuk mengurangi kasus filisida, pendekatan preventif dari pemerintah sangat dibutuhkan. Salah satu langkah utamanya adalah dengan memperkuat dukungan sosial dan ekonomi bagi keluarga, terutama mereka yang berada dalam kondisi rentan.
 

Program edukasi calon orang tua mengenai pengasuhan anak yang baik dan pengendalian emosi serta kesadaran memiliki anak perlu diintensifkan. Pemerintah dan masyarakat juga dapat berkolaborasi menyediakan akses terhadap layanan konseling, dukungan psikologis agar calon orang tua tidak merasa tertekan hingga melakukan tindakan fatal. 
 

Kematangan orang tua, baik dari segi mental, emosional, maupun finansial, sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang aman dan sehat bagi anak-anak. Selain itu, orang tua perlu menyadari bahwa anak adalah amanah dari Tuhan. Kesadaran ini dapat menjadi penguat dan penghibur diri, mengingat bahwa di balik setiap kesulitan, selalu ada pertolongan dari Sang Maha Penolong. Wallahu a’lam.
 


Ustadz Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta