Oleh HM. Nasruddin Anshoriy Ch
Seperti debu tertiup badai
Seperti daun jatuh dan tersapu angin
Mudik kali ini aku sebatangkara
Tak ada gemerlap mall dan kibar ketamakan di plaza
Tak ada rindu pada baju baru saat kusadari betapa berlumpur diriku
Puasa kali ini kurebahkan nafasku di lembah
Kuceburkan pada kolam bening air mata taubatku
Bersujud mencium tanah
Menyusuri jalanan padat berliku
Ada yang tersumbat di dalam dada
Ada yang tercekat di tenggorokanku
Masa lalu yang tak pernah biru
Masa lalu yang retak dan kusam kelabu
Mudik kali ini rinduku mencekik
Ingin rasanya kupeluk sisa-sisa sunyi seorang diri
Kenangan indah masa kecil yang menyayat hati
Kini remuk sudah
Jalanan makin padat merayap
Sejuk kampung halaman terus membayang
Masih adakah waktu untuk mengulang kisah lama itu?
Mudik kali ini tinggal tersisa keriput pada wajahku
Uban yang terus datang
Juga ketamakan yang tak pernah lekang
Mengepung dari segala penjuru
Tuhanku,
Rindu aku berbuat baik pada sisa-sisa usiaku
Melayani sesama tanpa pamrih dan tidak untuk mencari nama
Menjalani hidup sederhana bersama mereka yang renta nasibnya
Betapa berlapis topeng pada wajahku
Mudik kali ini aku ingin menikmati suara takbir
Tapi bukan dari pengeras suara
Takbir dari bibir mungil yang tak pernah mengucap dusta
Takbir yang gagah dan megah karena indah
Mudik kali ini aku hanya ingin meminta maaf
Pada segenap masa lalu yang menjadi palang pintu
Segala rasa perih dan nikmat taubatku
Pada tetangga yang selalu menjaga
Pada sanak-saudara yang kini makin kulupa namanya
Mudik kali ini aku hanya ingin menangis
Pada pusara Ibu dan Bapakku
Memohon ampun atas segala jelaga di jiwa
Menaburkan harum bunga pada nisan dan makamnya
(Embun Puasa #27, 2017)
Di Penghujung Puasa
Pada penghujung puasa ini
Jantungku meronta
Hatiku menghiba
Usai sudah khusyuk pelukku
Bulan cinta ini segera berlalu
Iktikaf dan tadarusku
Begitu kurus dan penuh benalu
Aku bertanya pada cermin buram di depanku
Sudah puasakah aku?
Pada altar lapar
Kugelar tikar tafakur
Kugali akar pelipurku
Roda dunia yang lepas
Telah menggilas nafasku
Masih adakah sisa-sisa subuh untuk rinduku bersauh?
Pada penghujung puasa
Makin tak kuasa kutimang rindu
Rahmat di sepuluh hari pertama
Tak sanggup kulumat
Ampunan di sepuluh hari kedua
Telah kulepaskan dengan sia-sia
Lalu pada sepuluh hari ketiga ini
Hanya benda-benda yang membayang di pelupuk mata
Tuhanku
Abadikan puasa ini pada sisa-sisa usiaku
Abadikan tadarus ini pada lembar-lembar nafasku
Abadikan iktikaf ini bening kalbuku
Pada puncak puasa ini
Ingin kusematkan mahkota pahalaku pada Ibu
Perempuan perkasa yang mengajarkan padaku makrifat puasa
Perempuan dengan kening cahaya yang mengajarkan padaku lapar sejati
Perempuan berdarah wangi yang mengajarkan padaku menulis puisi
Tuhanku,
Sematkan pada dada Ibuku cinderamata dari surga
Mawar abadi tanpa duri
Agar pada kafan putih itu memancar wangi melati
Di penghujung puasa ini
Ingin kutenggak anggur pada cangkir tadarusku
Ingin kuseruput dzikir maut pada cawan cinta
Ingin kuketatkan peluk kasihku pada 99 Nama Sejati
Agar perjalanan mudikku ke negeri azali
Memancarkan kilau cahaya pada kuburku nanti
(Embun Puasa #27, 2017)