Probolinggo, NU Online
Metode baru terkadang menuai kontroversi. Setidaknya itulah yang dialami oleh pendiri sekaligus Pengasuh Pesantren An-Nahdliyah M Holik. Metode itu juga sempat dicemooh. Namun hasil dari metode itu memuaskan, karena santri bisa menghafal Al-Qur’an dengan cepat.<>
Letak Pesantren An-Nahdliyah memang berada di pinggir jalan nasional. Yakni di Jalan Sukapura No 16 Kelurahan Triwung Kidul Kecamatan Kademangan Kota Probolinggo. Namun, siapa sangka rumah yang berada di selatan Masjid Raya Triwung Kidul itu ternyata dijadikan pondok pesantren.
“Sebenarnya ada ruangannya lagi di dalam rumah, tapi memang pondoknya masih rangkap dengan rumah kami,” kata M Holik, Kamis (16/4).
Sementara itu, metode yang sempat dicemooh itu, karena pesantren ini mengadopsi sistem modern, yakni menggunakan metode bacaan buku Iqro’. Sedangkan di sekitarnya masih menggunakan metode tradisional yang mengajarkan metode membaca huruf satu per satu.Karena menggunakan metode baca cepat itulah, pesantren ini sempat dicemooh dan dianggap mengganggu sistem pembelajaran tradisional.
Secara resmi, pesantren ini berdiri belum lama, yakni sekitar tahun 2013 lalu. Namun jauh sebelumnya sekitar tahun 1995 lalu sudah berdiri TPQ. Jumlah muridnya sekitar 477 orang. Dunia pendidikan Qur’an bagi M Holik tidak asing lagi lantaran ia saat ini menjadi Ketua Badan Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan Al-Qur’an An-Nahdliyah wilayah timur, meliputi Kota/Kabupaten Pasuruan, Kota/Kabupaten Probolinggo, Lumajang, Jember hingga Banyuwangi.
Dari awal pendirian TPQ yang juga cikal bakal Pesantren An-Nahdliyah itu banyak kendala yang dihadapi. Salah satunya berasal dari tokoh agama sekitar rumahnya. Bahkan karena metode yang diberikan baru, pria kelahiran Jember 1963 ini dicemooh.
“Banyak sekali cemoohan, tetapi kami biarkan. Anehnya lagi, karena metode yang diberikan pada siswa baru dan cepat bisa membaca Al Qur’an, tokoh agama sekitar menyebutnya haram,” jelasnya.
Cemoohan dari sesepuh itu rupanya tidak menciutkan nyalinya untuk terus mengembangkan ilmu Al-Qur’an. Justru dengan seperti itu, suami dari Husnawiyah itu menjadikan motivasi untuk terus maju.
Setelah 13 tahun bergelut dengan TPQ, barulah tahun 2013 bapak tiga anak ini berpikir untuk mendirikan pesantren sebagai pengembangan dari pembelajaran Al Qur’an.
“Kalau hanya TPQ saja masih ada yang kurang, akhirnya kami mendirikan rumah tahfidz hafalan Al-Qur’an . Tetapi supaya pesantren ini tidak melulu belajar Al-Qur’an, akhirnya ada pengembangan pembelajaran lain yang masih berkaitan dengan Al-Qur’an,” jelasnya.
Tidak hanya pendidikan Al-Qur’an yang diberikan pada santrinya, melainkan pendidikan salafiyah dan juga umum didapat. Sebab 16 santrinya itu bersekolah di lembaga pendidikan umum seperti di SD, MI maupun MTs.
Sayangnya pesantren ini masih terkendala dengan sarana yang ada. Bayangkan saja, untuk semua pembelajaran itu dilakukan di salah satu ruangan ukuran 4x20 meter di dalam kediaman pengasuh.
“Mudah-mudahan ke depan ada pengembangan sarana dan prasarana pesantren, sehingga ada ruangan pembelajaran yang representatif dan menyenangkan bagi para santri,” pungkasnya. (Syamsul Akbar/Fathoni)