Pesantren

Pesantren Nuris, Ladang Subur Persemaian Bibit Aswaja (1)

Selasa, 12 Juli 2016 | 05:48 WIB

Jember, NU Online
Jika berbicara soal Aswaja, kurang lengkap rasanya kalau tidak memperbincangkan  Pondok Pesantren Nurul Islam (Nuris) Antirogo, Jember, Jawa Timur. Pasalnya, pesantren yang terletak di 5 kilometer ke arah utara Kota Jember ini mengusung komitmen yang kuat untuk menyemai  bibit-bibit Aswaja. 

Berawal dari sebuah kerisauan yang merajam jiwa KH. Muhyiddin Abdusshomad, pengasuh Pesanten Nuris. Sebagai tokoh NU, ia merasa gundah karena posisi Aswaja (NU) yang moderat semakin lama semakin terjepit oleh dua aliran yang berseberangan. Yang satu adalah aliran liberal. 

Dan satunya lagi aliran radikal. Yang disebut terakhir ini, gerakannya cukup massif, dan gampang meraih simpati  masyarakat. Tidak hanya itu, mereka juga berani terang-terangan mencaci-maki, mencap amaliah NU sebagai amalan bid'ah, khurarat, bahkan kafir.

Sebagian orang, menilai hal tersebut sebagai persoalan yang remeh-temeh. Namun bagi Kiai Muhyiddin, menjamurnya aliran radikal di Indonesia, termasuk Jember  merupakan awal petaka. Sebab, mereka mempunyai kemampuan menyusup dan berbaur di tengah-tengah masyarakat. 

Dengan semangat "dakwah" yang militan, didukung oleh finansial yang memadai, sungguh mereka bisa menjadi ancaman serius bagi NU, bahkan bangsa Indonesia. Betul, Islam mungkin tak akan hilang dari bumi Indonesia. Tapi bukan mustahil,  NU kelak hanya tinggal papan nama  jika agresifitas kelompok radikal dibiarkan leluasa bergerak menebar propaganda palsu. 

"Mesir asalnya sunni. Begitu juga  Turki, Irak dan masih banyak lagi. Tapi akhirnya aliran sunni di situ jadi minoritas bahkan habis sama sekali," tukas putra Kiai Muhyiddin, Ra Robith Qashidi kepada NU Online.

Itulah sebabnya, Kiai Muhyiddin mengadakan perlawanan dengan menerbitkan sejumlah buku yang berisi dalil atau argumentasi tentang amaliah warga NU. Sebab, mereka menyerang ajaran atau amaliah NU. Berarti benteng dalilnya harus diperkuat. Diantara bukunya adalah "Fiqih Tradisionalis: Jawaban Pelbagai Persoalan Keagamaan Sehari-hari", "Tahlil Dalam Perspektif Alqur'an dan As-sunnah (kajian Kitab Kuning)", dan sebagainya. 

Satu lagi kitab "perlawanan" Kiai Muhyiddin berbahasa Arab, yaitu "Al-Hujjaj  al-Qath'iyyah lil-Aqaaid wal Amaliyyah an-Nahdliyyah". Kitab ini bahkan menjadi materi kajian dan dihatamkan  di sejumlah pesantren besar seperti Matholi'ul Falah asuhan Kiai Sahal Mahfudz, Pesantren Ngunut, Tulungagung, pesantren Mojogeneng, Mojokerto, pesantren Langitan, Tuban, Pesantren Ilmu Al-Qur'an pimpinan Kiai Bashori Alwi, Malang dan Sekolah Tinggi Agama Islam, Tambak Beras Jombang. 

"Masih banyak pesantren besar lain yang bahkan menjadikan buku dan kitab abah sebagai materi pelajaran wajib bagi santrinya," lanjut Ra Robith.

Gerakan Kiai Muhyiddin ternyata merangsang timbulnya ghirah di kalangan tokoh NU dan pengasuh  pesantren. Antusiasme sejumlah pesantren di atas dalam mengkaji kitab dan buku  karya Kiai Muhyiddin  menjadi petunjuk sahih betapa langkah dan gerakannya dapat menginspirasi "perlawanan" pesantren terhadap aliran kontra NU, dengan cara memperkuat benteng dalil amaliyah NU.

Dalam perkembangan yang sama, Kiai Muhyiddin juga mendorong pendirian Aswaja Center  dan memaksimalkan kiprah Lembaga Bahtsul Masail PCNU Jember. Munculnya nama-nama seperti Ustdaz Idrus Ramli, Mahmulul Huda, Abdul Haris, Gus Wahab  dan lain-lain tak lepas dari besutan tangan dingin Kiai Muhyiddin. 

Mereka siap "tempur" untuk mendebat aliran radikal dan liberal dalam kondisi dan situasi apapun. Kiai Muhyiddin sendiri saat itu juga keliling Nusantara memenuhi undangan pelatihan Aswaja.

Pesantren Nuris, tentu saja menjadi ladang subur untuk menyemaikan bibit Aswaja. Karena itu, Kiai Muhyidin lalu mencanangkan tekad bahwa pesantren yang dipimpinnya  merupakan kawah candradimuka bagi lahirnya kader-kader Aswaja yang mumpuni. (Aryudi A. Razaq/Fathoni)


Terkait