Pesantren

Pengabdian Santri Kempek

Rabu, 17 Oktober 2012 | 09:12 WIB

Malam mulai beranjak di Pesantren Kempek. Para peserta Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama 2012 sedang beristirahat. Mereka asyik ngobrol bersama teman sekamar. Meski kipas angin tak bosan menyalurkan hawa dingin, kemarau Kempek sepertinya tak bisa dilawan. Panas. Memang tak jauh dari laut Jawa.<>

Kamar-kamar peserta adalah ruangan kelas MTS dan MA Kiai Haji Aqil Siroj (KHAS) yang disulap jadi tempat tidur dengan kasur-kasur empuk, bersprei, lengkap dengan bantalnya. Menurut salah seorang Pengasuh Pesantren Kempek KH Ja’far Aqil Siroj, hanya enam bulan pesantrennya berbenah untuk kegiatan itu.

“Itu saya yang mengusulkan,” ujar kakak kandung Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj, di gedung PBNU, Jumat malam (12/10), ketika ditanya soal kelengkapan tidur peserta. Kiai Ja’far tak ingin para kiai dari seluruh Indonesia itu tidur hanya beralaskan tikar di atas lantai.

Tak hanya itu, para peserta dilayani para santri Kempek. “Tok..tok..tok...,” pintu kamar khusus Media Center diketuk. Di ambang, berdiri terbungkuk anak belasan tahun. Ia berkopiah hitam, berbaju batik pendek berwarna dasar putih, bermotif bunga merah muda. Dan bercelana panjang hitam.

Air mukanya senyum.

Seisi ruangan memalingkan muka ke arah sumber suara. Sebelum ada yang bicara, anak itu mendahului, “Mohon maaf, ada yang mau kopi?” tanyanya seraya tangan kiri mengusap pergelangan tangan kanan.

Penghuni ruangan saling pandang sejenak. Anak itu menunggu.

Setelah saling bertanya, seisi ruangan menyebutkan lima gelas. Tanpa komando lanjutan, anak itu langsung ngeloyor.

Hanya lima belas menit, anak itu datang kembali bersama seorang sahabatnya. Keduanya menyangga nampan; menyuguhkan kopi hitam yang mengepulkan asap tipis.

“Terima kasih,” ucap salah seorang penghuni ruangan. Dibalas anggukan kepala. Anak itu pun kembali pergi. Tapi tidak jauh. Dia duduk di beranda.

Kedua anak itu multitugas. Ia semacam security, cleaning sevice di hotel-hotel. Pagi, ketika penghuni kamar keluar, keduanya merapikan kasur dan seprei yang berantkan dan membersihkan lantai. Juga merapikan tas, bahkan pakaian kotor penghuni.

Kemudian kembali ke beranda menjaga ruangan tak terkunci itu. Mereka dibagi dua sip. Sip pertama dari pagi hingga pukul 15.00. Sip dua, dari pukul 15.00 sampai pukul 21.00. masing-masing sip, dua orang. Tugas utama mereka seperti itu. Tapi kadang mereka mengerjakan di luar itu, seperti menyeduhkan kopi.

Sekali waktu, dua wartawan NU Online hendak mencuci pakaian dengan jasa laundry. Santri Kempek mengantar sampai ke tujuan. Tapi sayang, laundry tersebut telah diboking Pemuda Ansor selama Munas-Konbes.

“Biar kami yang nyuci,” ujar santri itu.

Musim panas Kempek, mempercepat kering pakaian itu. Esok paginya, ia mengantarkan pakaian itu ke ruangan. Sebelum si wartawan bicara, ia mendahului, “Di saku ada uang 53 ribu rupiah,” ujarnya.

Tujuh ratus santri dan alumni, diterjunkan untuk menyukseskan Munas-Konbes. Itu yang terhitung. Di antara alumni ada yang dating inisiatif sendiri. Alasannya lagi-lagi takut kalau acara ini tidak sukses, Buya akan menanggung malu.

Menurut salah seorang pengurus pesantren, Ahmad Musa, para santri itu turut membantu di seksi keamanan, persidangan, media, kesehatan, pokoknya semua seksi di kepanitaiaan. Jumlah yang menyerap tenaga santri terdapat di seksi konsumsi, hampir dua ratus orang. Mereka bahu membahu bersama tentara.

Tujuan mereka ingin menyenangkan gurunya. “Saya ingin menyenangkan Buya,” jawab Ahmad Fadholi, seorang santri Kempek asal Subang, ketika ditanya kenapa mau melakukan itu.

Menurut Ahmad Musa, gurunya menganjurkan untuk menghargai tamu. Satu santri harus benar-benar menghormati bagus. Juga sopan santun dan ikhlas melayani tamu. “Kami bangga membantu tamu karena termasuk menyuskseskan acara ini,” tambah santri asal Indramayu ini.

Para santri itu ternyata bukan menyenangkan tamu, tapi langsung Buya, sang guru, KH Ja’far Aqil Siroj. Penghormatan dan menyenangkan tamu adalah efek lain dari ingin menyenangkan guru. Para santri itu telah melenyapkan dirinya dalam keinginan guru. 

Dalam buku Tradisi Pesantren karya Zamakhsyari Dhofier, kiai adalah pusat dari pesantren. Selain itu, hubungan antara guru dan murid berlaku seumur hidup. Perasaan hormat dan kepatuhan berlaku mutlak dan tak kenal putus. Melupakan hubungan itu merupakan aib besar. Berakibat hilangnya berkah dan ilmu yang tak bermanfaat.

Dhofier menukil kitab Ta’limul Muta’alim, Sayidina Ali mengatakan “Saya ini hamba dari orang yang mengajar saya, walaupun satu kata saja.”

Lebih jauh ia mengatakan kepatuhan santri kepada kiai, bukan sebagai manifestasi dari penyerahan total kepada guru yang dianggap memiliki otoritas. Tetapi karena keyakinan murid kepada kedudukan guru sebagai penyalur kemurahan Tuhan, yang dilimpahkan kepada murid-muridnya baik di dunia maupun di akhirat.

Penulis: Abdullah Alawi


Terkait