Pendidikan Islam

Mengembangkan Dakwah Melalui Seni dan Budaya

Kamis, 12 November 2015 | 05:30 WIB

”Jangan takut untuk merintis pesantren yang sama sekali berbeda dengan pesantren yang sudah ada” – Gus Dur

Pesan Gus Dur itulah yang menguatkan Jadul Maula, pendiri dan pengasuh pesantren Kaliopak, sebuah pesantren yang menggunakan pendekatan seni dan budaya di daerah Yogyakarta. Ia sebelumnya mengalami kebimbangan untuk mewujudkan idenya tersebut. <>Persoalannya, ini bukan hanya sesuatu yang baru, tetapi harus merubah stigma masyarakat yang menganggap seni tradisi itu tidak islami.

Jadul yang kini juga salah satu wakil ketua Lesbumi NU, lembaga seniman dan budayawan di bawah Nahdlatul Ulama ini mengatakan, ulama dulu mengajarkan nilai agama, di samping melalui pengajaran juga melalui kesenian. Ia ingin melanjutkan tradisi tersebut yang terbukti mampu mendakwah Islam secara damai. Sayangnya, akar tradisi ini sudah ditinggalkan orang. Bahkan banyak tokoh agama menganggapnya seni sebagai perbuatan bid’ah atau sesat. 

“Ini ada ironi, paradoks bahwa dulu seni ini menjadi media dakwah.”

Untuk memberi penegasan atau akar atas keberadaan pesantren ini, ia mendasarkan diri pada Sunan Kalijaga dan para muridnya yang dulu pernah berdakwah di daerah ini yang terbukti dengan ditemukannya sejumlah situs.  

“Kita niat saja, kita anggap Sunan Kalijaga leluhur kita, kita ini murid-muridnya,” tuturnya. 

Kemudian, bersama dengan timnya, ia menelusuri jejak dakwah Sunan Kalijaga. Kulminasinya berupa peringatan 500 tahun Sunan Kalijaga yang diselenggarakan pada 2011. Tujuannya ingin menggali lagi ajaran spiritualitas para ulama dulu yang membentuk masyarakat yang etis karena bangsa Indonesia terkenal ramah dan punya etika. 

Ia kemudian melakukan kajian naskah dan berbagai kitab klasik. Misalnya wayang lakon Dewa Ruci yang isinya merupakan ajaran tasawuf. Ternyata naskah ini terkait dengan Suluk Linglung yang mengisahkan pertemuan antara Sunan Kalijaga bertemu Nabi Khidir. 

Upaya mengembangkan pesantren berbasis seni dan budaya bagi beberapa kalangan masih dianggap aneh, padahal dulu wayang merupakan tradisi pesantren. Ia mencontohkan keterkaitan wayang dengan pengajian adalah sampai sekarang orang nonton wayang pakai sarung dan kopiah karena dianggap sebagai mengaji atau mendengarkan wejangan. 

Jadul yang juga salah satu pendiri Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LkiS) ini menjelaskan, berjaraknya kelompok santri dengan seni tradisi memuncak pada era 50-60an. Saat itu persaingan politik sangat kuat. Seni tradisi diambil oleh PNI dan PKI dengan Lekra sebagai lembaga seni budayanya. Seni dipakai untuk persaingan politik dengan menjelek-jelekkan kelompok lain. Akhirnya tokoh agama Islam menciptakan seni yang lebih kearab-araban. Versi lain dari terpisahnya agama dan seni terjadi karena kebijakan Belanda mengacak-acak agama dan adat.

Akibat adanya fase keterputusan, akhirnya seni tradisi digarap oleh kelompok lain dan mengalami sekulerisasi yang hanya bermakna sebagai wahana hiburan.

“Mereka harus dirangkul kembali, kalau misalnya pesantren atau kiai sering nunggoni dalang main. Paling tidak dalang tahu, akan terjadi proses dialog,” jelasnya. 

Upaya ini cukup berhasil, terbukti beberapa dalang mulai menyesuaikan diri dengan pesantren. Bahkan ada dalang di Jogja minta agar NU bikin organisasi khusus para dalang. “Nah kalau bisa dirangkul, ada dialog pembenahan. Kalau dilepas, jadi sekuler dan sekedar hiburan. Saya tidak anti eksperimen, tetapi saya yakin wayang dalam tradisi klasik perlu dijaga sebagai dakwah,” tegasnya. 

Tidak seperti pesantren konvensional, Pesantren Kaliopak saat ini belum memiliki santri yang mukim secara permanen. Lokasi pesantren menjadi tempat berkumpulnya berbagai komunitas dari berbagai disiplin ilmu di universitas-universitas yang ada di Yogyakarta serta komunitas pelaku seni tradisi. Kegiatan rutin yang diselenggarakan berupa mujahadah, latihan shalawatan Jawa, diskusi dua minggu sekali tentang musik. Pernah pula pesantren menyelenggarakan belajar aksara Jawa karena aksara ini pernah digunakan para Wali untuk mengajarkan Islam dalam konteks budaya Jawa. Ada pula kajian rutin Islam Nusantara. 

Ia juga mengadakan eksperimen supaya seni tradisi digabungkan dengan seni modern, misalnya shalawat Jawa dengan orkestra Bethoven yang  sempat tampilkan dalam Muktamar ke-33 NU.

Pesantren sudah pernah menggelar pameran seni rupa tingkat nasional yang sempat dibuka oleh anggota DPR RI Rieke Dyah Pitaloka sedangkan yang satunya oleh adiknya sultan gusti Yudhaningrat.

Lalu, ada pula forum dialog antara kiai dan dalang. KH Musthofa Bisri atau Gus Mus pernah menjadi salah satu narasumber.

Ia sendiri sebenarnya tidak ingin menjadi pengasuh atau kiai pesantren. Tetapi beberapa kiai muda prograsif yang diminta menjadi pengasuh tak bersedia sehingga mau tidak mau, ia memposisikan diri sebagai pengasuh. “Tak ada rotan, akar pun jadi,” paparnya.

Ke depan, ia berharap memiliki kurikulum resmi sebagai panduan para santri untuk belajar. Cita-citanya yang belum kesampaian adalah mengembangkan program Etika Sosial Islam yang saat ini masih kekosongan. (Mukafi Niam)


Terkait