Opini

Yang Peka dan Yang Mati Rasa

Ahad, 26 April 2015 | 13:05 WIB

MH Nurul Huda* Siapa yang tak kenal Ahmad Tohari, pengarah novel Ronggeng Dukuh Paruh yang kondang itu? Siapa pula yang tak tahu Gus Mus, sang kiai yang pelukis dan penyair kita? Siapa pula yang tak mengenal Gus Dur, pemikir keislaman penggemar simfoni nomor 9 Beethoven dan simfoni nomor 4 Mozart itu?

Teman penulis, Hamzah Sahal yang aktivis muda NU tulen dan super enerjik itu misalnya, kemana-mana bercerita dan menyebut nama Kang Tohari (panggilan Ahmad Tohari). Belum lama ini saat bertemu kader-kaderbelia yang sedang gila diskusi Aswaja, ia malah menawari merekabersama-sama membaca Senyum Karyamin. Bukan maksud mengganti Aswaja dengan Senyum Karyamin, tapi untuk memperkaya wawasan kerohanian mereka. “Ini sangat penting,” katanya dengan bacaan itu, “untuk melatih kepekaan teman-teman.”

Senyum Karyamina dalah judul karya kumpulan cerpen (kuncer) Kang Tohari. Suatu ketika Abdullah Wong membaca salah satu cerpen dalam karya itu secara monolog dengan lirih nan indah lagi menggetarkan hati para hadirin dalam forum pidato kebudayaan di Aula PBNU, yang membuat novelis muda yang namanya terus menanjak ini dihadiahi pelukan hangat dari seniornya itu. Sebagaimana karya-karyanya yang lain, “kegilaan” cerpen Kang Tohariini terletak pada kelihaian pengarangnya yang secara subtil menyelami dunia kehidupan dengan segala misterinya. Di samping kelembutannya dalam mendekati kenyataan yang brutal, cerpen itu juga mengandung potensi pemerdekaan yang itu hanya dapat lahir dari suatu kepekaan yang tajam.

Apa yang disebut “kepekaan” oleh Saudara Hamzah Sahal itu juga dapat dijumpai pada karya Gus Mus dan almarhum Gus Dur. Ini terutama dapat disaksikan dari karya, sikap dan laku hidup keduanya. Gus Dur mempunyai kepekaan pengamatan dan rasa empatinya yang tinggi. Begitu pula Gus Mus yang dapat dibaca dari kolom-kolomnya, juga twitt Twitter-nya dan sikap pendiriannya. Yang menyamakan ketiganya adalah semuanya penikmat karya seni dan sastra, yang lalu secara serampangan penulis duga bahwa pergulatannya dengan dunia itu kurang lebih turut menyumbang keutuhan dimensi ketajaman rasa dan kepekaan dalam dirinya.

Keutuhan yang penulis maksud itu mencakup dimensi pemerdekaan –suatu keberpihakan kepada kaum yang lemah (mustadh’afin) dan dilemahkan (madhlumin), atas dasar kerahmatan dan kerahiman (compassion), keadilan dan solidaritas, yang tanpa-nya kepekaan hanya seolah-olah belaka. Keutuhan itulah yang membawa kata dan perbuatan menyatu, pengetahuan dan jalan hidup manunggal, rasa dan rasio saling menunjang. Bila tidak,sebagaimana dinyatakan Prof. Sayyid Hossein Nasr, kata dan rasio (logika) hanya tinggal sebatas “akrobat mental” belaka.

Kepekaan yang utuh, yang parexcellent, dalam menyelami realitas kehidupan semacam itu rupanya dapat kita dengar dari catatan kesaksian orang tentang para cendek cendekia dan ulama tempo dulu. Almarhum Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Hasyim Asy’ari, Mbah Ali Maksum, Mbah Liem, Kiai Achmad Siddiq, Gus Miek, dan lain-lainnya dikenal memiliki kepekaan yang tajam. Mereka secara teoritik memiliki dua jenis kepekaan, yakni “kepekaan intuitif inderawi” (kaweruh)dan “kepekaan intuitif-noninderawi” (divineintuitiveunderstanding) atau ngelmu.

Kepekaan intuitif inderawi diperoleh dari kedekatan mereka dengan hidup masyarakat sehari-hari. Pergulatan intim dengan masyarakat kebanyakan (umat, massa) memungkinkan mereka memahami permasalahan-permasalahan dihadapi: suka duka, jatuh bangun, perasaan, ruang batin dan impian mereka. Para ulama ini seperti para antropolog yang meskipun demikian sulit dibandingkan begitu saja karena mereka menyatu dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Pengalaman ini membuat mereka memiliki kepekaan yang tinggi terhadap kehidupan nyata masyarakat waktu itu dan di tempat itu dan secara simultan menjembatani atau menfasilitasi gerak pemerdekaan dan kemajuan.

Adapun “kepekaan intuitif-noninderawi” diperoleh melalui disiplin dan kultivasi spiritual (iman) yang memungkinkan mereka memperoleh kekuatan tambahan dan visi tentang kehidupan masa depan. Berdasarkan kesaksian, kedua jenis kepekaan ini telah mengilhami para ulama tempo dulu dalam memahami dan menafsirkan tradisi Islam yang panjang ke dalam konteks masyarakat setempat maupun kehidupan secara luas. Resolusi jihad misalnya, dapat dikatakan sebagai wujud kepekaan yang parexcellent ini, yang dimensi pemerdekaan jangka panjangnya terletak pada anti-kolonialme dan anti-imperialisme, kehidupan yang berkedaulatan politik, berkemandirian ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.Tujuan etiknya adalah “jalan hidup yang benar”, yakni menjunjung tinggi arti kehidupan dengan membela manusia yang lemah dan dilemahkan, dan semata-mata menuju kesempurnaan diri di sisi Allah (ikhlas). Kepekaan macam ini kiranya tak dapat direduksi pada “akrobat mental” belaka, melainkan disertai latihan yang melekat (imitasi) dan praktek pemerdekaan.

Namun, setidaknya, berdasarkan kesaksian pengalaman orang-orang terhadap kepekaan yang pertama saja, cukuplah membuat manusia tidak sampai mati rasa kepada sesamanya. Sesuatu yang Nampak mudah dituliskan tapi sulit dijalankan. [Wallahua’lambisshowab]


*MH Nurul Huda, Dosen STAI Al-Aqidah Al-Hasyimiyah Jakarta


Terkait