Opini

Wacana Pengampunan Kredit Macet akibat Bencana di Sulteng dan NTB

Jumat, 5 Oktober 2018 | 02:30 WIB

Wacana Pengampunan Kredit Macet akibat Bencana di Sulteng dan NTB

Ilustrasi (via azertag.az)

Oleh Muhammad Syamsudin

Dunia perbankan syariah dan konvensional sering mengalami kegamangan pengambilan keputusan seiring kemungkinan terjadinya kredit macet akibat bencana alam. Sebagai lembaga intermediasi keuangan, kedua alur perbankan ini dipaksa harus mengikuti sejumlah regulasi yang mengatur perkreditan tersebut. Ketika sebuah bank memutuskan penggelontoran dana ke sejumlah nasabah yang menjadi debitornya, maka ia ibarat sedang melemparkan sekeping mata uang logam ke udara tanpa diketahui sisi mana yang akan keluar sebagai pemenang. Peluang yang mungkin terjadi adalah kemenangan (gain) sisi pemilik modal (bank) dan di sisi yang lain adalah sisi kemanusiaan (loss) untuk kreditor. Bila terjadi posisi gain, maka survivalitas perbankan berlangsung aman. Namun, bila yang terjadi posisi loss, perbankan harus mempertaruhkan survivalitasnya untuk di kemudian hari.

Jika dihadapkan pada kasus bencana alam, maka sudah pasti sisi gain ini tidak bisa diharapkan selang jangka waktu pendek. Sisi loss menjadi salah satu fokus perhatian terbesar. Sebagai upaya penyelesaiannya, sebuah bank terpaksa harus melibatkan sejumlah otoritas yang berwenang, seperti auditor, otoritas jasa keuangan, dan peran pemerintah dalam pengambilan keputusan. Di satu sisi bank dituntut untuk memberikan rasa kemanusiaannya kepada para nasabah yang mengalami takdir yang tidak diinginkan oleh semua pihak. 

Untuk contoh kasus yang pernah diketahui oleh penulis, adalah meletusnya Gunung Kelud pada Kamis 13 Februari 2013, beberapa tahun lalu. Efek dari letusan bukan hanya menimbulkan korban jiwa dan harta saja namun diyakini meninggalkan banyak persoalan. Bukan hanya sektor riil perbankan saja yang mengalaminya, melainkan juga persoalan nasib masa depan para korban yang menjadi nasabah perbankan.

Para nasabah korban Gunung Kelud yang terdiri dari para pelaku usaha mikro kecil masyarakat seperti sebagai petani, pedagang, peternak dan sebagainya, seakan-akan merasa kehilangan harapan atas masa depan usahanya yang mengalami ketidakjelasan setidak-tidaknya dalam kurun waktu tertentu. Mereka khawatir dengan kemampuan mereka untuk membayar cicilan tanggungan utang perbankan yang biasanya jatuh tempo pada akhir masa tanam, yaitu kurang lebih pada kisaran bulan Juli, sesaat menjelang musim kemarau. Kekhawatiran ini menjadi semakin bertambah seiring sejumlah agunan yang kemungkinan akan mengalami penyitaan oleh bank, disebabkan gagal bayar tanggungan. Tidak hanya sampai di situ, untuk nasabah yang mengalami kegagalan bayar dua kali musim tanam atau bahkan lebih, bisa terancam masuk daftar hitam (blacklist) oleh perbankan seiring wanprestasi (keingkarjanjian) yang tidak sengaja mereka lakukan. 

Sebuah catatan yang menarik adalah terkait kasus banjir Manado dan erupsi Gunung Sinabung, OJK (Otoritas Jasa Keuangan) pernah menerbitkan perlakuan khusus terhadap para debitor nasabahnya yang menjadi bagian dari korban. Perlakuan khusus ini juga berlaku bagi seluruh daerah yang terkena bencana alam dan ditalangi oleh perbankan syariah melalui sistem pembiayaan mudharabah, musyarakah, piutang – seperti murabahah, salam, dan istishna’ - ijarah (sewa menyewa) serta qardh (pinjaman) dan beberapa model pembiayaan lainnya. Tercatat bahwa perlakuan khusus tersebut terjadi selama tiga tahun terhitung sejak awal terjadinya bencana. Kebijakan ini mengacu pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/15/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang perlakuan khusus terhadap kredit bank bagi daerah-daerah tertentu di Indonesia yang mengalami bencana alam. Aturan ini dikeluarkan bertepatan dengan saat erupsi Gunung Merapi. 

Untuk korban letusan Gunung Merapi di Yogyakarta, Bank Indonesia (BI) memberikan perlakuan khusus tertentu berupa penundaan pembayaran angsuran pokok kredit, termasuk bunga bank selama jangka waktu tertentu. 

Sejauh ini, penulis belum mengetahui apakah ada atau tidak kasus pemutihan kredit di wilayah Merapi tersebut, yaitu penghapusan utang nasabah seluruhnya. Namun, jika diambil pemikiran sederhananya, untuk perbankan yang masuk kategori BUMN (Badan Usaha Milik Negara) saja, atau yang biasa disebut Bank Plat Merah, sudah pasti akan menghadapi dilema untuk kasus hapus penagihan ini. Di satu sisi ia dihadapkan pada kasus korporasi, yaitu mengupayakan keuntungan negara, namun di sisi lain, faktor kemanusiaan itu yang menjadikan ia bisa dianggap telah merugikan negara disebabkan menggelontorkan perbendaharaan negara pada nasabah kredit macet akibat bencana.

Ambiguitas ini yang mau tidak mau memaksa mereka untuk berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar selamat dari tuduhan merugikan perbendaharaan negara tersebut, yang sebenarnya cukup dengan keputusan Menteri Keuangan saja. Mungkin, konsultasi ini dipengaruhi oleh kekhawatiran pergantian rezim yang bisa saja melakukan cara pembacaan yang berlainan dari rezim yang digantikan. Makanya, kemudian lebih memilih konsultasi langsung dengan DPR yang merupakan representasi wakil rakyat. 

Mengingat pengalaman yang pernah dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan di atas dan diperankan oleh Bank Indonesia, maka dalam kesempatan terjadinya bencana alam di beberapa wilayah Indonesia, seperti di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Sulawesi Tengah, ada kemungkinan kebijakan yang sama memaksa harus diberlakukan di titik-titik bencana tersebut. Beberapa bentuk keringanan pembayaran kredit dengan melakukan penjadwalan ulang terhadap masa jatuh tempo pelunasan debitor seolah mutlak untuk dilakukan. Apalagi parahnya dampak akibat bencana tersebut yang hingga beberapa waktu ke depan nampaknya belum dapat dihilangkan. Apalagi bila membandingkan beberapa kerusakan akibat erupsi Kelud, sampai dengan erupsi Merapi, dibandingkan dengan kerusakan akibat tsunami di Palu, nampaknya jauh lebih parah yang ada di Palu. Karena, di Palu, seorang nasabah tidak hanya kehilangan mata pencaharian, melainkan juga kehilangan tempat tinggal. Penulis sebagai salah satu saksi mata yang pernah melihat dan merasakan sendiri dampak erupsi Kelud harus berkata jujur dalam forum ini. Pertimbangan rasa kemanusiaan sehingga berujung pada pemutihan utang debitor nampaknya lebih layak untuk diterima para korban tsunami Palu dan gempa NTB. Wallāhu a’lam bish shawab.


Penulis adalah Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim


Terkait