Opini

Utopia Menatap Masa Depan

Ahad, 30 Desember 2007 | 09:54 WIB

Oleh: Muhibin AM*

Momentum tahunan peringatan tahun baru masehi selalu tak kalah meriahnya dengan ritual-ritual peringatan lainnya. Bahkan menjadi ajang yang paling meriah dari setiap bangsa di dunia. Karena peringatan tahun baru ini tidak hanya dimeriahkan oleh sekelompok masyarakat tertentu saja, akan tetapi semua lapisan masyarakat di dunia menyaksikan dan menikmati ritual acara tahunan ini dengan berbagai macam agenda.

Bangsa Indonesia sebagai bagian dari bangsa-bangsa di dunia tak kalah pentingnya juga menyambut acara tahunan ini dengan sangat meriah. Meskipun kondisi Negara yang sedang dalam banyak persoalan, namun sepetinya tidak dihiraukan meskipun hanya sesat.

Namun yang perlu diingat saat in<>i adalah hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) 2006, bahwa kemiskinan di Indonesia mencapai 17,9 persen. Sedangkan bedasarkan penelitian oleh Bank Dunia, bahwa kemiskinan di Indonesia mencapai hampir separuh rakyat Indonesia, 49 persen. Dapat digolongkan banhwa Indonesia termasuk kedalam Negara miskin di dunia. Hal ini belum ditambah dengan berbgai macam bencana yang sering terjadi di negeri ini, yang mau tidak mau menambah angka kemiskinan. Belum lagi kasus korupsi yang hingga saat ini belum serius untuk diselesaikan oleh pemerintah. Sehingga hal ini menambah angka kemiskinan masyarakat Indonesia yang disebabkan oleh kerakusan para pejabat pemerintah.

Dari data hasil survei kasus korupsi pada tahun 2007, dari 629 perkara korupsi yang dilimpahkan ke pengadilan, sebanyak 103 perkara divonis bebas (litbang Kompas). Belum lagi pada saat sekarang ini, masyarakat kita sedang ditimpa berbgai macam musibah banjir yang terus menerjang.

Berbagai macam kasus KKN dalam tahun 2007 yang belum banyak terselesaikan merupakan PR bagi kita bersama sambil menapaki angka tahun 2008. meja pengadilan masih antri oleh berbagai macam kasus KKN yang belum dituntaskan. Dan jika tidak segera ditangani persoalan ini akan semakin menumpuk, bahkan bisa berakibat over.

Merujuk pada laporan survei IPK Indonesia 2006, TII menggambarkan bahwa pengadilan adalah institusi yang paling berinisiatif meminta suap (100% responden menyatakan demikian) dibandingkan 19 institusi lain yang menjadi objek survei. Peringkat berikutnya adalah Bea Cukai (95%), imigrasi (90%), DPRD (90%), Badan Pertanahan Nasional (87%), militer (80%), pemda (79%), polisi (78%), dan sebagainya.

Inisiatif meminta suap di lingkungan institusi hukum ternyata tetap tinggi hingga setahun kemudian. Setidaknya, itu tergambar dari pengukuran Global Corruption Barometer (GCB) yang dilakukan Transparency Internasional (TI) pada 2007.

Hanya saja terjadi peralihan "tropi." Jika pada 2006 pengadilan sebagai insitusi paling berinisiatif meminta suap, pada GCB 2007 institusi kepolisian menjadi institusi yang paling kental dengan praktik suap ini.

Pengukuran oleh GCB itu melibatkan 1.010 responden yang tersebar di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Nilai indeks untuk polisi menurut survei tersebut adalah 4,2. Indeks tersebut merupakan tertinggi, disusul nilai indeks untuk pengadilan dan DPR 4,1. Sedangkan partai politik 4,0, disusul pelayanan perizinan dan perpajakan masing-masing 3,8 dan 3,6. Semakin tinggi indeks menunjukkan persepsi responden bahwa lembaga bersangkutan memiliki tingkat korupsi yang tinggi. Sungguh menjadi sangat ironis sekali menjadi bangsa yang tidak menginginkan madsa depan yang cerah. Kini rakyat sudah tidak lagi memiliki kepercayaan kepada pihak institusi manapun diatas, terlebih kerika dihadapkan oleh polisi, peradilan dan parleman semuanya telah mengandung bargaining koruption.
Dari hasil laporan pada tahun 2007 tersebut sebagia bangsa yang besar kita sungguh sangat prihatin melihat para pejabat rakyat yang belum memiliki inisiatif untuk merubah bangsa ini. Jika hal itu yang terjadi kemudian secara terus menerus, maka yang akan terjadi adalah perasaan utopia menatap masa depan bangsa, jauh dari apa yang diharapkan.

Maka kemudian pantaskah kita memperingati tahun baru 2008, jika menyelesaikan persoalan 2007 yang masih menumpuk di meja kerja belum dapat terselesaikan. Kiranya tiada memiliki manfaat apapun dalam memperingati tahun baru ini, bahkan selepas peringatan tahun baru semuanya kembali terasa hampa. Yang korupsi kembali melanjutkan aksinya dan yang buruh tetap menjalankan tugasnya sebagai buruh serta yang pedagang kaki lima akan terus berhadapan dengan pamong praja yang ingin menggusur tempat-tempat mengais rezeki mereka demi kebutuhan keluarga.

Maka alangkah baiknya jika peringatan tahun baru 2008 ini kita jadikan sebagai sarana untuk sadar diri sebagia bangsa yang besar, yang seharusnya menjadi contoh atas bangsa-bangsa lainnya. Bukan sebaliknya, kita sebagai bangsa yang besar secara geografis, namun kecil dalam peradaban, bahkan nyaris hancur diterjang oleh hilangnya moral bangsa kita sendiri. Maka tidak usah menyesal jika kekayaan budaya bangsa kita banyak yang diselamatkan oleh bangsa lain, berhubung bangsa kita sudah tidak mampu lagi memelihara kekayaan budaya dan kekayaan alam kita sendiri. Merujuk pada ungkapan Soedjatmoko bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang terus menerus belajar memperbaiki diri dari kesalahan-kesalahan, bukan bangsa yang hanya memiliki luas wilayah georafisnya. Mengingat bangsa kita telah banyak melakukan kesalahan, maka sudah saatnya kita memperbaiki kesalahan kita sebagiamana yang diungkapkan olejh soedjatmoko, agar masa depan bangsa kita bukan lagi sebuah utopia belaka. Masa depan bangsa kita harus benar-bemnar terwujud bersama keadilan dan peradaban yang besar, sebanding dengan besarnya geografis Negara kita.

Sudah saatnbya kita untuk instropeksi diri atas negeri kita yang semakin memprihatinkan. Momentum peringatan tahun baru 2008 sebaiknya kita jadikan momentum perbaikan diri dari hilangnya rasa patriotisme. Mari kita hilangkan jiwa-jiwa penjajah yang hanya mengeruk keuntungan sendiri, mari kita hilangkan jiwa-jiwa predator yang hanya memiliki nafsu memakan saudaranya sendiri.

Penulis adalah staf peneliti pada FKiY Yogyakarta


Terkait