Bila anda pernah bertanya kepada wanita muslimah yang memakai cadar, maka jawabannya pasti bermacam. Nina Mahasiswi tingkat III Syariah misalnya, mengaku memakai cadar dengan alasan di Mesir banyak debu, sementara Wiwik mahasiswi tingkat I Ushulusin, beralasan agar lebih dihormati orang Mesir, ada juga yang dengan motif agar tidak digodain pria hidung belang. Namun mayoritas dari mereka tak ada yang mengaku karena prinsip ideologi. Meski ada satu-dua orang yang memakai cadar dengan alasan perintah agama.
Saya tak ada niat mengusik kebebasan berekpresi wanita muslimah manapun, belakangan malah saya sedikit terusik dengan kasus “ikon Jilbab dunia Arab” Marwa Al-Syarbini yang ditusuk 18 kali oleh pria rasis di pengadilan Dresden Jerman hingga tewas. Seperti biasa, media-media barat bungkam bahkan terkesan antipati dengan kasus tersebut. Meski ada yang memberitakan, tak satu pun yang memajangnya di halaman utama, beda dengan kasus Neda Sulthana yang tertembak bersama beberapa demonstran pro Mir Mousavi di Iran.<>
Cadar Sebagai Ideologi Agama atau Budaya
Burkuk, dalam bahasa Arab berarti penutup kepala perempuan yang hanya memperlihatkan kedua mata dari balik kain (lihat Ibnu Al-Mandzur). Kemudian dalam istilah bahasa Indonesia dikenal dengan “Cadar”.
Di Indonesia sendiri, pakaian khas timur tengah ini masih terlihat asing terutama di perkotaan. Sesekali mungkin akan terekspos media saat HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) atau kader PKS (Partai Keadilan Sejahtera) melakukan aksi demo anti Israel. Ada juga beberapa pesantren di Indonesia yang mulai menerapkan wajib cadar bagi santriwati saat keluar pesantren.
Meski begitu belum ada dari mereka yang secara terang-terangan dan terbuka mengklaim sebagai ideologi Islam yang wajib dijalankan oleh setiap muslimah. Barangkali hal ini dirasa tak etis karena menyalahi ijma jumhur ulama dari madzhab empat dengan madzhab hambali sebagai pengecualian, apalagi akhir-akhir ini kerap dihubungkan dengan jaringan teroris. Kalaupun ada yang berani memvonis sebagai kewajiban agama, itu terjadi pada islam minoritas, yang dipandang banyak berbenturan dengan ayat-ayat ahkam oleh M. Al-Ghazali (lihat Qadlaya Al-Mar’ah).
Penulis prolifik dari Al-Azhar ini memberikan contoh sederhana dengan ayat 31 Al-Nur, yang memerintahkan laki-laki maupun perempuan menjaga pandangan pada selain mahramnya. Kalimat “Yaghuddu” dan “Yaghdudna” dalam ayat tersebut akan tumpul dan impotent, sebab perintah menahan pandangan tak lagi berfungsi karena setiap perempuan sudah memakai cadar, jadi tak perlu lagi kaum laki-laki menundukkan pandangannya.
Untuk lebih jelas, marilah kita runut penuturan Qasim Amin dalam magnum opus-nya Tahrir Al-Mar’ah: Perempuan-perempuan Yunani masa lalu juga memakai hijab seperti yang dipakai wanita di Timur sekarang. Bahkan para pengikut Kristus juga memakainya hingga abad 13 M untuk melindungi wajah mereka dari panas dan debu. Kemudian wanita muslimah zaman Nabi banyak memakainya meski masih terbatas kalangan berduit. Hingga akhirnya turunlah wahyu yang mempertegas pemakaian hijab dalam surat Al-Ahzab dan Al-Nur.
Dari sini terungkap bahwa cadar sama sekali bukan budaya istimewa Arab apalagi Islam, agama hanya mengingatkan muslimah yang taat agar menutup tubuhnya selain wajah dan telapak tangan. Cadar tak bisa lagi disebut sebagai perintah agama meski agama tak pernah melarang seorang wanita muslimah memakai cadar. Cadar adalah warisan masa lalu yang masih dilestarikan sebagai kekayaan budaya timur tengah.
Fenomena Cadar di Kalangan Masisir (Mahasiswi Mesir)
Bagaimana dengan mahasiswi Indonesia di Mesir? Mahasiswa/i adalah insan yang matang dalam berfikir, cermat dalam bersikap. Mereka adalah manusia yang melek dalam berbagai bidang, tak ada yang sanggup memprovokasi apalagi mengintimidasi kedewasaan para calon pemimpin bangsa masa depan. Mereka adalah manusia-manusia merdeka yang tak bisa diracuni oleh iming-iming apapun. Cara berfikir, sikap, dan mental mereka dibentuk berdasarkan pribadi dan bacaan masing-masing.
Saya yakin pilihan mahasiswi untuk memakai cadar di Mesir adalah hasil kontemplasi panjang yang tidak tergesa-gesa apalagi hanya membebek pada teman. Sebab kita semua tau pasti bahwa cadar sama sekali bukan standar kesalehan seorang muslimah.
Jadi, apa sih keuntungan mamakai cadar? Kan hanya bikin ribet? Seorang kawan mahasiswi menjawab sambil berkelakar “yang jelas saat di bus wanita bercadar akan lebih mudah mendapatkan tempat duduk di tengah penumpang yang berdesakan”. Sementara Rozi seorang kawan yang ngebet banget ingin menikahi wanita bercadar dengan tanpa malu (maaf) mendambakan kulit putih muslimah yang memakai cadar. Saya yang mendengar pengakuan Rozi, menjawab sekenanya “ kalau dasarnya hitam, ya hitam”.
Kreativitas Mahasiswi Bercadar
Menyusul rilisnya film fenomenal AAC (Ayat-ayat Cinta) tahun lalu, di Mesir semakin hari saya lihat semakin menjamur Aisya-aisya ala AAC dengan cadar-cadar khasnya. Entah mata saya yang mulai rabun? Atau memang benar begitu? Yang jelas saya termasuk mahasiswa yang kecewa dengan fenomena ini, karena tak bisa lagi menikmati pemandangan terindah ciptaan Tuhan. Saya akhirnya semakin bingung memilih calon isteri kelak, mungkin kegelisahan M. Al-Ghazali ada benarnya “Jangan salah bila kelak pemuda muslim lebih memilih wanita non muslimah karena tak dapat memandang langsung wajah-wajah teduh bekas ibadah wanita muslimah”.
Kita semakin miris menghadapi fenomena mahasiswi bercadar yang terlihat semakin menarik diri dari panggung kreativitas masisir. Mereka seperti risih berjumpa mahasiswa di forum-forum kajian maupun pentas seni. Entah kalau ternyata WIHDAH sebagai wadah khusus mahasiswi mesir telah mencapai independensinya sehingga sanggup mengakomodasi segala bentuk aktivitas dan kreativitas mahasiswi. Yang saya amati forum-forum diskusi, kajian dan dialog ilmiyah yang sarat ilmu itu selalu sepi dari mahasiswi bercadar.
Pemandangan ini tentunya sangat kontradiktif dengan perempuan-perempuan muslimah masa Nabi, yang sangat bergairah menghadiri rutinitas pengajian Nabi dan para Sahabat. Apa mungkin forum-forum tadi ditengarai sudah tidak kondusif? Bisa jadi begitu. Namun sejauh ini tak pernah ada hal-hal yang tak diinginkan terjadi di sana, sebab kita semua sebagai mahasiswa Al-Azhar mengerti koridor-koridor agama.
Dalam momen-momen tertentu, kadang muslimah bercadar perlu melepasnya, semisal makan di warung atau restoran. Bagi mereka yang bercadar tak harus bersembunyi dan tak ada salahnya bila sesekali memilih pendapat Jumhur Ulama.
Atau mungkin saat mereka pulang ke tanah air. Bila ternyata masyarakat sekitar sock dan tidak siap menerima perubahan anda yang bercadar, maka lepaslah untuk sementara waktu. Kenyataannya, mayoritas warga Indonesia tak biasa menghadapi ustadzah yang memakai cadar.
Di kampung kami ada seorang ustadzah yang baru pulang dari Universitas Al-Ahgof Yaman, dia termasuk lulusan terbaik ketika di pesantren sampai masa kuliah. Kecerdasan dan kealimannya diakui oleh guru-gurunya, namun ustadzah tersebut tak sanggup memikat hati masyarakat bahkan kemudian dijauhi karena tak bisa lepas dari cadar yang dipakainya. Selain itu, beliau terkesan idealis dan tertutup dari pergaulan masyarakat sehingga kehadirannya dirasa tak pernah ada oleh warga.
Qasim Amin menyayangkan pemahaman Hijab yang disalahartikan pada masanya, di mana perintah hijab dipahami sebagai larangan keluar rumah sekaligus perintah menutup diri dari pergaulan umum. Bahkan lebih jauh, ada yang meyakini suara perempuan sebagai aurat. Akibatnya tak ada lagi sopan santun antara pria muslim ketika berjumpa wanita muslimah, semisal untuk sekedar saling beruluk salam.
Cadar yang membuat muslimah terpinggirkan seperti kasus di atas sudah sepatutnya dihindari. Memberikan manfaat bagi orang banyak lebih mendesak dari sekedar mempertahankan keyakinan yang masih debatable, bukankah Nabi sendiri ketika dihadapkan pada dua pilihan selalu memilih yang termudah. Pendapat Jumhur, why not?
Marwa Al-Syarbini dan Fatwa Abduh
Kasus Marwa Al-Syarbini kembali mengingatkan kita pada tokoh reformis abad 20 Al-Imam Muhamad Abduh yang pernah mengeluarkan fatwa “nyeleneh”: Bagi perempuan muslimah boleh memakai pakaian ala Barat saat mereka tinggal di Barat, dengan catatan tetap menutupi aurat tubuhnya. Fatwa ini seakan menyadarkan kita akan relevansi dan elastisitas ajaran Islam yang ditawarkan Abduh. Seandainya Marwa dan wanita muslimah lain di Eropa mempertimbangkan fatwa tersebut, saya yakin pelecehan semacam itu tak perlu terjadi.
Toh kita sepakat, bahwa Allah tak menilai kualitas ketakwaan hambanya dari pakaian dan penampilan jasmaniyah. Asal tau saja, hampir semua PSK di Yaman memakai cadar, biasanya mereka menjajakan barang dagangannya melalui sopir-sopir taksi yang beroperasi di sepanjang jalanan kota Sana’a, Hudaidah, dan Aden menjelang malam.
Muslimah yang santun tanpa cadar jelas lebih dinamis dan elastis bergaul untuk menambah wawasan dan menjaring teman-teman silaturrahim yang luas. Sikap tertutup bukan sikap muslimah sejati, sebab setiap muslimah apalagi mahasiswi dituntut memperhatikan tetangga dan masyarakatnya. Dia tak boleh antipati dengan problematika sosial masyarakat yang melingkupinya. Bersembunyi di balik secarik kain penutup muka adalah sebuah tindakan munafik, bila ternyata masyarakat sekitar sedang merindukan kehangatan sikap dan pencerahan nasihatnya.
Saya terkesan dengan seorang wanita Mesir bercadar yang bekerja sebagai kasir toko dekat flat yang kami tinggali, cadar tidak menghalangi dirinya untuk menyapa dan berbasa-basi dengan pembeli bahkan dengan kami sebagai orang asing. Perangainya lembut dan hangat meski kami tak bisa melihat senyum manisnya, padahal dia mengaku masih gadis dan belum menikah.
Mungkin hanya wanita bercadar Mesir itulah yang membuat saya tak ragu untuk menyapa dan berbasa-basi. Biasanya perempuan bercadar, setidaknya bagi saya, terlihat serem dan sangat berwibawa untuk saya sapa apalagi mengobrol dengannya. Di samping juga khawatir salah orang, sebab dari pengalaman saya selama ini sulit untuk membedakan antara Nina dan Wiwik.
*Penulis adalah Mahasiswa tingkat 1 Fak.Ushuludin Al-Azhar Kairo, Kru Redaksi Majalah Afkar PCINNU Mesir