Oleh Mh Nurul Huda* Kurang dari enam bulan yang lalu, beberapa teman berniat mengajak penulis bertamasya ke sejumlah kota di negara-negara Asia Tenggara. Di antara mereka Saudara Al-Hafiz Kurniawan,Abdullah Alawi, Mahbeb, dan Hamzah Sahal.
<>
Tiga nama yang pertama adalah wartawan NU Online yang lama penulis kenal dalam dunia jurnalisme komunitas. Kecuali Saudara Hamzah Sahal yang dalam rencana ini juga membawa sejumlah sampel produk dagang untuk beberapa kolega di luar negeri yang sudah dipesan jauh hari, teman-teman tadi akan menjalankan tugas jurnalistik seperti wartawan pada umumnya. Sementara bagi penulis sendiri, itulah kali pertama dirinya akan menginjakkan kaki di tanah negeri jiran.
Pengakuan yang terakhir ini memang terdengar menggelikan. Kerap mengaku bermoyangkan pelaut yang biasa berlabuh di bandar-bandar pelabuhan besar maupun kecil dan bertukar hasil bumi dengan penduduk negeri tetangga, tapi ironisnya ia sendiri belum pernah sekalipun berkunjung ke negeri-negeri itu apalagi mengenali adat istiadat, perwatakan dan sejarah sosial mereka. Oleh sebab itu kalaulah setiap yang menggelikan kiranya pantas ditertawakan, dapatlah ditebak kemana sepantasnya hal itu diarahkan.
Beruntunglah ia terselamatkan oleh niat-niat “kecil” teman-temannya tadi. Saudara Hamzah memanfaatkan kunjungan “dagang” untuk, terutama yang dianggapnya sangat penting, bersilaturahmi dengan koleganya yang pengurus cabang istimewa Nahdlatul Ulama (PCI NU), sekaligus mencari-cari informasi celah kemungkinan hubungan usaha dengan masyarakat di negeri jiran itu. Sedangkan ketiga teman wartawan kita punya maksud menapaki tilas jalur persebaran Islam berabad-abad lalu menuju wilayah Nusantara, dan merekam sebagian jejak perkembangan masyarakatnya kini. Seperti tercatat dalam sejarah, rahasia di balik perkembangan Islam beserta tradisinya yang kaya hingga bumi nusantara secara damai, tidak lain dan tidak bukan, ternyata berkat hubungan kontak dagang (dan juga tali perkawinan).
Kombinasi niat-niat itulah kiranya yang mengilhami dan menjadikan tamasya penulis esai ini akan kian terasa punya arti mendalam. Dengan mengikuti jalur persebaran dakwah Islam yang merentang panjang melewati batas negeri jiran, tamasya ini pun dapat berlanjut hingga daratan Cina, India, Persia dan Arab dimana dua negara daratan yang pertama ini belakangan menjadi salah dua di antara kekuatan-kekuatan kunci perdagangan dunia. Lalu lewat catatan para jurnalisNU Online, dinamika perkembangan masyarakat setempat dari lorong waktu ke waktu dapat disiarkan kepada publik luas, sehingga kurang lebih membantu pertukaran informasi ekonomi, sosial dan kebudayaan. Siapa menduga kalau kegiatan macam itu ternyata berpeluang membuka kemungkinan terbangunnya rasa persaudaraan yang erat, kebutuhan saling belajar, hubungan kerja sama,dan puncaknya solidaritas bersama “people to people” di komunitas negara-negara kawasan ASEAN.
Mengingat arah yang demikian itu sedang berjalan, maka keliru besarlah penulis esai ini bila memandang cabang-cabang NU di luar negeri hanya persinggahan tamasya belaka.Ternyata PCI-NU di kawasan Asia Tenggara dapat memainkan peran serta dalam memperkuat “Komunitas ASEAN”(ASEAN Community) dalam pengertian yang didefinisikan dan dimaknai oleh jam’iyah NU sendiri menurut problem dan kebutuhan diri warga jama’ahnya beserta problem dan kepentingan seluruh warga bangsa. Kurang lebih orientasinya kerakyatan, asasnya keadilan, semangatnya kerja sama, persaudaraan dan perdamaian, yang semuanya menjadi bagian dari aktivasi maksimal mewujudkan “trilogi hubungan persaudaraan” ala NU di kawasan ASEAN.
Diinsyafi pentingnya solidaritas Asia Tenggara lewat Komunitas ASEAN, kita sebetulnya dapat juga membayangkan –dan hal ini dipikirkan pula oleh teman-teman tadi-- betapa besarnya peran yang dapat dimainkan PCI-NU di kawasan-kawasanyang lain. PCI-NU kawasan Afrika, misalnya, dapat memperkuat kerja sama ekonomi, sosial dan kebudayaan antarmasyarakat kawasan Selatan-Selatan. Sementara itu PCI-NU kawasan Eropa, Amerika-Kanadadan Australia-Selandia Baru secara serentak mengaktivasi dukungan program gerakan “total diplomatic” pemerintah RI, yang menjadi bagian integral dari dokumen penting keputusan “Kongres I Pengurus Cabang Istimewa NU se-Dunia” di Beirut, Lebanon, 7-9 Juli 2012 lalu.
“…Secara lingkup organisasi, (Kongres I –pen.) akan membuka jaringan kerja sama internasional antara PCI-PCI dengan negara setempat dalam bidang pendidikan, keagamaan, interfaith dialogue, kebudayaan, dan ekonomi dalam rangka mendukung gerakan total diplomatic yang dicanangkan pemerintah RI”. Demikian kutipan rilis PCI-NU internasional yang dapat kita akses lewat NU Online.
Dengan tekad macam itu, nampak sekali PCI-NU di luar negeri meyakinkan kita akan peran yang dimainkan oleh mereka sebagaimana yang dimainkan oleh kaum terpelajar dan para pendiri Republik di masa-masa pergerakan dulu. Termasuk erat berjabat dengan kelompok-kelompok masyarakat negeri setempat secara berkelanjutan untuk menyuarakan persaudaraan dan perdamaian, keadilan dan kesetaraan global, mediasi dan resolusi konflik, serta kerja sama dan solidaritas warga negara Selatan-Selatan, dengan menggaungkan kembali spirit Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955 di Bandung yang baru-baru ini kita peringati bersama.
Bukanlah sesuatu yang kebetulan bila di kemudian hari NU dapat berkontribusi menjadikan kawasan ini benar-benar menjadi negeri yang damai, zero konflik dan mampu mengatasi masalahnya sendiri sesama warga kawasan. Tidak seperti penanganan kasus Rohingya di Burma sekarang ini dimana ASEAN sebagai institusi kerja sama regional dianggap tak mampu bersikap dan bahkan dinilai pengecut karena menghindari tanggung jawab atau menolak memberikan bantuan kemanusiaan. Ditambah lagi dengan hobinya sementara pihak yang belum-belum sudah berharap datangnya intervensi dari negara luar kawasan yang secara ekonomi dan politik saling bersaing berebut hegemoni kawasan.
Walhasil, peran besar yang dimainkan PCI-NU ini paling tidak telah membuka mata amatan penulis sendiri tentang agenda program kerja mereka. Cabang-cabang istimewa di luar negeri tak hanya berfungsi sebagai “diplomat” NU yang menyuarakan dan menjembatani kepentingan-kepentingan jam’iyyah di dunia internasional (termasuk berbagi kehangatan serapat-rapatnya dengan diaspora dan keluarga TKI di luar negeri), tapi juga berpotensi menjadi diplomat untuk kepentingan Republik dan rakyat di kawasan ASEAN(dan kawasan-kawasan lain secara umum).
Sejenak ketika mengingat kembali rencana tamasya kami setengah tahun lalu yang tertunda itudan saat esai ini mulai memasuki paragraf akhir, kutipan kata-kata Almarhum Kiai Abdul Wahab Chasbullah berikut muncul sekelebat di layar monitor. “Kekuatan NU, ibarat senjata, adalah meriam. Betul-betul meriam!”
Apapun itu misteri dirinya entah metafor itu aktual ataukah potensial, seperti halnya misteri cinta dan sejarah umat manusia kiranya ia hanya dapat tersingkap melalui aktivasi total multidimensi. Dan bersama derasnya arus sungai waktu, ia jualah yang memilih di sisi mana harus berdiri. [Wallahua’lam]
*Mh Nurul Huda, pekerja budaya