Oleh Muhammad Makhdum
Tahun pelajaran baru bagi siswa sekolah tepat dimulai hari ini. Artinya, hiruk-pikuk aktivitas dalam dunia pendidikan sekolah mulai bergeliat. Awal tahun pelajaran merupakan momen istimewa, tidak hanya bagi para siswa, tetapi juga bagi para orang tua, dan tentunya para guru dan pihak sekolah.
Bagi siswa, akan ada sekolah baru, setidaknya kelas baru, teman baru, maupun suasana belajar yang baru. Bagi orang tua, akan ada secercah harapan yang disematkan untuk masa depan putra-putrinya. Bagi para guru dan pihak sekolah, inilah saatnya menyambut gembira tunas-tunas muda, memberikan mereka layanan pendidikan dengan sebaik-baiknya dalam rangka menunaikan tugas yang mulia, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tahun pelajaran baru merupakan momentum yang tepat untuk membangun kembali sinergitas dalam dunia pendidikan. Lupakan sejenak tarik ulur kebijakan sekolah lima hari atau full day school dengan segala polemiknya. Guru dan sekolah harus kembali fokus pada menciptakan iklim pembelajaran yang menyenangkan, memberikan ruang seluas mungkin bagi pengembangan potensi anak didiknya.
Penjabaran UUD 1945 tentang pendidikan dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Pada pasal 3 disebutkan bahwa, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang tepat, ada tiga elemen penting yang tidak dapat dipisahkan, ketiganya harus seiring sejalan, bersinergi dan berkolaborasi, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiga elemen itu disebut dengan tripusat pendidikan. Sinergitas tripusat pendidikan akan mendorong terwujudnya lingkungan pendidikan yang selaras, serasi, dan seimbang demi tercapainya tujuan pendidikan nasional.
Menciptakan harmoni keluarga
Tempat pendidikan yang pertama bermula dari keluarga. Keluarga adalah tempat pendidikan yang paling otonom. Para orang tua, mau tidak mau, ahli tidak ahli, harus menjadi pendidik bagi anak-anaknya. Dalam ajaran Islam terkenal sebuah adagium “Al-Umm madrasatul ula” bahwa Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya.
Pendidikan yang terjadi di dalam keluarga berlangsung sangat alamiah dan wajar. Tanpa kelas, bangku dan papan tulis, serta jadwal yang mengikat, anak-anak mendapatkan pembelajaran dari pengalaman sehari-hari, sehingga dasar-dasar pandangan hidup, sikap hidup serta ketrampilan hidup banyak tertanam sejak anak berada di tengah-tengah orang tuanya.
Dalam dan dari keluarga orang mempelajari banyak hal, dimulai dari bagaimana berinteraksi dengan orang lain, menyatakan keinginan dan perasaan, menyampaikan pendapat, bertutur kata, bersikap, berperilaku, hingga bagaimana menganut nilai-nilai tertentu sebagai prinsip dalam hidup. Intinya, keluarga merupakan basis pendidikan bagi setiap orang.
Ki Hajar Dewantoro (1961) menuturkan bahwa suasana kehidupan keluarga merupakan sebaik-baik tempat untuk melakukan pendidikan individu maupun sosial. Oleh karena itu keluarga adalah tempat pendidikan yang sempurna untuk melangsungkan pendidikan kearah pembentukan pribadi yang utuh. Dalam hal ini, orang tua memiliki peran yang sangat vital dalam memberikan teladan bagi anak-anaknya. Menciptakan harmoni dalam keluarga adalah langkah paling nyata dalam mewujudkan keberhasilan pendidikan anak-anak (Berns, 2007).
Konsep pendidikan keluarga dilakukan oleh orang tua terhadap anak atas dorongan kasih sayang dalam bentuk kewajiban dan akan dipertanggung jawabkan dihadapan Tuhan. Secara kodrati, setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, menjadikannya baik atau buruk, berbudi atau asusila, cendekia atau andia adalah mutlak tanggung jawab orang tua. Di sinilah letak tanggung jawab orang tua untuk mendidik anak-anaknya, karena anak adalah amanat Tuhan yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban.
Maka tak elok jika orang tua menyerahkan sepenuhnya pendidikan anaknya hanya kepada sekolah. Dengan dalih sudah membiayai semua keperluan sekolahnya, orang tua berlepas diri dalam mengawasi aktivitas anaknya. Ironisnya, ketika guru berusaha mendisiplinkan siswa dengan memberikan hukuman, orang tua siswa justru melaporkan guru kepada pihak berwajib dengan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia, padahal perilaku anaknya tersebut telah melampaui batas.
Sekolah yang memanusiakan manusia
Membangun sekolah, pada hakikatnya adalah membangun manusia. Karena siswa bukan sebuah robot, maka proses pembelajaran, target keberhasilan sekolah, hingga sistem penilaiannya harus manusiawi. Sekolah yang manusiawi adalah sekolah yang adalah yang dibina dan diarahkan oleh guru-guru yang mendidik dengan hati, mampu menghargai berbagai jenis kecerdasan siswanya dan menjembatani kesulitan pemahaman siswa karena berbagai hal menjadi lebih mudah dan diterima.
Sekolah unggulan bukanlah yang menitik beratkan pada the best input, menyeleksi siswa dengan standar tes formal berbasis kognitif dan menyaratkan siswa yang pandai-pandai saja, akan tetapi berbasis the best process, yaitu menciptakan proses pembelajaran yang kreatif dan mampu mengakomodasi berbagai gaya belajar siswa. Penilaian siswa juga harus dilakukan secara autentik, yakni memotret kompetensi siswa secara seimbang dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Peran masyarakat
Pendidikan dalam masyarakat berlangsung ketika anak-anak untuk beberapa waktu lepas dari asuhan keluarga dan berada di luar dari pendidikan sekolah. Dalam masyarakat, anak berinteraksi dengan anggota masyarakat yang heterogen, benda-benda dan berbagai peristiwa yang akan bersenyawa membentuk pengalaman hidup. Masyarakat perlu mewariskan nilai-nilai, sikap, pengetahuan, keterampilan, dan perilaku positif lainnya agar anak dapat beradaptasi dan melanjutkan eksistensinya.
Kepribadian anak dapat tumbuh dan berkembang sesuai lingkungan sosialnya. Karena kepribadian adalah gejala sosial, maka kepribadian individu bertalian erat dengan budaya lingkungan. Anak yang hidup dalam lingkungan orang-orang berpendidikan (akademisi) cenderung suka belajar, dalam lingkungan yang religius cenderung menjadi tekun beribadah. Demikian juga anak yang berada dalam lingkungan yang keras dan jahat cenderung suka memberontak dan berlaku kriminal. Di tengah merosotnya mentalitas dan moral anak-anak usia sekolah, maka orang tua, guru, dan pemimpin masyarakat harus cermat dalam menciptakan lingkungan sosial yang menguntungkan perkembangan individu (Gunawan, 2000).
Urgensi resinergi
Realitas tergerusnya mentalitas dan moral anak sekolah mengharuskan adanya resinergi tripusat pendidikan dalam rangka mengubah wajah pendidikan ke arah yang lebih baik. Hal paling mendasar yang perlu diperhatikan yaitu adanya partisipasi aktif keluarga, sekolah, dan masyarakat sesuai dengan perannya masing-masing.
Partisipasi tripusat pendidikan akan sangat menentukan masa depan anak bangsa. Dalam kerangka teoritisnya, lingkungan keluarga meletakkan dasar-dasar pendidikan di rumah tangga, terutama dalam segi pembentukan kepribadian, nilai moral, dan agama sejak kelahirannya. Lingkungan sekolah dapat memperkaya pengalaman belajar dengan berbagai disiplin ilmu dan keterampilan.
Orang tua mengawasi dan menilai hasil didikan sekolah dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan lingkungan masyarakat ikut berperan dalam mengontrol, membina serta menciptakan lingkungan yang kondusif dan bersahabat. Jika bisa dilakukan, resinergi adalah kado manis di awal tahun pelajaran baru.
Penulis adalah pemerhati pendidikan, saat ini mengajar di SMP Negeri 2 Tambakboyo, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.