Opini

Sultan HB X dan Calon Suksesornya yang Perempuan

Ahad, 28 Juli 2019 | 01:00 WIB

Sultan HB X dan Calon Suksesornya yang Perempuan

Sri Sultan Hamengkubuwono X. Foto/Antara

Oleh Muhammad Ishom

Pada 30 April 2015 Sultan Hamengkubuwono (HB) X dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat mengeluarkan Sabda Raja yang antara lain berisi penghapusan gelar Khalifatullah. Lima hari setelah itu Sultan HB X mengeluarkan Sabda Raja berikutnya yakni mengganti nama putri sulungnya, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun menjadi GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram. Kedua sabda raja tersebut merupakan bagian dari cara bagaimana Sultan HB X mengatasi kegelisahannya menghadapi suksesi kepemimpinan pasca dirinya. 

Secara historis, Keraton Yogyakarta merupakan kelanjutan dari Kerajaan Mataram Islam yang memiliki hubungan dengan Kesultanan Turki Utsmani sebagai pusat Khilafah Islamiyah hingga tahun 1922. Hubungan itu dapat dilihat antara lain dari gelar khalifatullah yang diberikan dan berlaku untuk raja-raja Mataram hingga Sultan HB X yang berkuasa saat ini. Implikasi dari gelar itu adalah sang raja harus memperhatikan hukum Islam atau yang dikenal dengan fiqih dalam sistem pemerintahannnya. 

Di sinilah permasalahannya. Fiqih klasik menolak perempuan menjadi pemimpin tertinggi. Sepanjang sejarah Islam, seorang khalifah adalah seorang laki-laki. Artinya Sultan HB X sulit untuk bisa menurunkan takhta kerajaanya kepada anaknya yang kesemuanya perempuan selama Keraton Yogyakarta masih memelihara gelar khalifatullah. 

Kegelishan Raja Henry VIII 
Meski tidak sama persis, kegelisahan Sultan HB X di atas mirip dengan kegelisahan Raja Henry VIII dari Kerajaan Inggris yang naik takhta pada tahun 1509. Raja Henry VIII gelisah ketika menyadari ia hanya memiliki anak satu-satunya—perempuan—bernama Mary I, buah perkawinannya dengan Catherine of Aragon. Di zaman itu tidak lazim menurunkan takhta kerajaan kepada anak perempuan. Sepanjang sejarahnya, Kerajaan Inggris belum pernah dipimpin oleh seorang Ratu yang berkuasa dan memerintah. 

Kegelisahan tersebut mendorong Raja Henry VIII menikah lagi dengan wanita lain untuk mendapatkan anak laki-laki. Ia ceraikan istri pertamanya, Catherine of Aragon, dan kemudian menikah lagi dengan Anne Boleyn. Keputusan ini tanpa restu dari Paus di Vatikan pada saat itu karena di dalam ajaran Kristen dilarang ada perceraian. Poligami juga dilarang.

Perkawinannya dengan Anne Boleyn ternyata juga tidak menurunkan anak laki-laki karena hanya menurunkan anak perempuan satu-satunya bernama Eizabeth I. Raja Henry VIII kemudian menikah lagi dengan Jane Seymour setelah sebelumnya ia menghukum mati Anne Boleyn karena selingkuh sebagai upayanya menurunkan seorang anak lakai-laki yang lahir dari rahimnya sendiri.

Perkawinan Henry VIII dengan Jane Seymour akhirnya menurunkan anak laki-laki yang diberi nama Edward VI. Edward VI inilah yang kemudian meneruskan takhta kerajaan sepeninggal Raja Henry VIII pada tahun 1547 meskipun usianya baru 9 tahun. Edward VI memegang tampuk kepemimpinan hanya selama enam tahun. Ia meninggal pada tahun 1553 dalam usia 15 tahun. 

Takhta kerajaan kemudian jatuh pada Mary I dan kemudian dilanjutkan oleh Elizabeth I. Pada masa Ratu Elizabeth I inilah Kerajaan Inggris mencapai masa keemasaanya. Dramawan terkenal, William Shakespeare, hidup di zaman ini. Kerajaan Inggris sekarang dipimpim oleh Ratu Elizabeth II yang berkuasa sejak 1952. 

Sultan HB X Menghargai Perempuan

Jika kita bandingkan cara bagaimana Sultan HB X dan Raja Henry VIII mengatasi kegelisahan masing-masing, maka apa yang dilakukan Sultan HB X lebih manusiawi daripada Raja Henry VIII. Ia hanya melepas gelar khalifatullah. Dari perspektif gender, Sultan HB X lebih menghargai perempuan karena tidak menceraikan istrinya. Ia juga tidak melakukan poligami untuk mendapatkan anak laki-laki. Hal ini sangat berbeda dengan Raja Henry VIII. Ia menceraikan istri-istrinya untuk mendapatkan anak laki-laki, bahkan ada yang dibunuhnya sebagaimana disebutkan di atas. 

Dari perspektif hukum, dihapusnya gelar khalifatullah oleh Sultan HB X tidak bertentangan dengan konstitusi di negeri ini, terlebih sejak Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan judicial review pasal 18 ayat 1 huruf m Undang-undang Keistimewaan (UUK) DIY yang membuka peluang perempuan menjadi Gubernur DIY. Sebagai raja ia memiliki hak mengeluarkan Sabda Raja untuk merancang model kepemimpinan yang sama sekali baru. Selain itu, tentunya aneh jika sekarang sudah ada affirmative action di mana perempuan didorong untuk terlibat dalam urusan sosial, politik dan kebudayaan, tetapi masih ada aturan internal dalam Keraton Yogyakarta yang menghambat perempuan menjadi Ratu sekaligus Gubernur DI Yogyakarta. 

Oleh karena itu, Sabda Raja oleh Sultan HB X yang menghapus gelar khalifatullah dan kemudian mengangkat KGR Pembayun menjadi Putri Mahkota perlu diapresiasi terlepas dari munculnya sikap pro dan kontra secara internal. Penghapusan ini tidak berarti Keraton Yogyakarta tidak lagi Islam. Keraton tetap Islam sebagaimana ditegaskan Sultan HB X pada suatu kesempatan di depan para pimpinan media pada 16 Mei 2015. Hingga sekarang ini di tahun 2019 Sultan HB X masih memimpin Yogyakarta sebagai Raja sekaligus Gubernur DIY.
 
 
Penulis, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdatul Ulama (UNU) Surakarta.