Opini

Solusi bagi Minoritas Muslim di Masyarakat Non-Muslim

Selasa, 22 Mei 2018 | 05:00 WIB

Solusi bagi Minoritas Muslim di Masyarakat Non-Muslim

Ilustrasi (oneclass.com)

Oleh Rohmatul Izad

Penulis tidak bermaksud menyebut minoritas atau bahkan mayoritas dalam konteks kesadaran komunal, sebab selama ini kedua istilah ini seringkali mengarah pada hal-hal negatif, atau dipahami secara negatif. Misalnya, minor terkesan lebih inferior dan mayor cenderung lebih superior serta tampak berhadapan-hadapan secara langsung. Kita sering terjebak pada identitas kultural masing-masing yang membuat hubungan sosial menjadi renggang dan terpisah.

Kita perlu meletakkan secara teoritis bagaimana masyarakat Muslim yang hidup di lingkungan non-Muslim menjadi jelas pada batas-batas maksimumnya dan melihat keberadaan mereka secara langsung dalam kultur dan latar belakang yang berbeda, tapi sekaligus tidak bermaksud membeda-bedakan. Sehingga, kita, sebagai Muslim mayoritas dapat mengerti betapa menjadi minor itu tidaklah mudah.

Pernahkah kita membayangkan, sebagai Muslim, hidup di tengah-tengah masyarakat mayoritas non-Muslim? Seperti di negara-negara sekuler dan negara di mana non-Muslim mendominasi. Misalnya, sebuah negara di mana sangat sulit menemukan masjid, mencari makanan halal, sulinya mencari tempat pendidikan Islam, atau bahkan sekedar hanya sebatas mencari tanda datangnya waktu sholat.

Muslim yang hidup di lingkungan seperti itu, tampak sangat sulit dan tentu banyak permasalahan yang mereka hadapi. Belum lagi jika ada perlakuan-perlakuan buruk seperti adanya berbagai tuduhan negatif yang sematkan kepada dunia Islam dan umat Islam itu sendiri. Seperti tuduhan sebagai ekstremis, teroris, gaya hidup yang tertutup/eksklusif, hingga sampai tak dapat hidup berbaur dengan masyarakat sekitar. 

Menurut Data yang dirilis oleh PBB, sebagaimana penulis kutip dari halaman Resonansi Republika (14/5/18), ada lebih dari 550 juta Muslim yang hidup sebagai warga negara minoritas di negara-negara non-Muslim. Jumlah mereka sepertiga dari seluruh populasi umat Islam di dunia yang tersebar di enam benua, keberadaan mereka tentu di luar negara-negara yang masuk anggota OKI.

Di sebagaian negara-negara Asia, Eropa, Amerika Latin dan Afrika, minoritas Muslim banyak mengalami kesulitan. Seperti dalam hal pembangunan Masjid, beribadah di tempat kerja, mencari makanan yang halal, sampai pandangan-pandangan tak bersahabat dari masyarakat setempat kepada komunitas Muslim. Ini menunjukkan bahwa kebencian atau yang sering disebut Islamofobia memang benar-benar ada, tetapi ini tidak lantas menggambarkan pandangan mereka secara keseluruhan tentang Islam, hanya sebagian yang boleh jadi belum mengerti Islam yang sesungguhnya.

Baru-baru ini, ada seminar menarik yang terselenggara di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, bertajuk “al-Muktamar al-‘Alamy li al-Mujtama’at al-Muslimah: Mustabalu al-Wujud al-Islamy fi al-Mujtama’at ghairu al-Muslimah/the International Muslim Societies Congress: the Future of the Islamic Presence in Non-Muslim Societies”. Seminar yang diselenggarakan dua hari pada 8-9/ Mei ini, membahas isu-isu krusial tentang persoalan kehidupan komunitas Muslim yang ada di negara-negara (mayoritas) non-Muslim, serta masalah apa saja yang sedang mereka hadapi.

Seminar ini dihadiri oleh perwakilan 140 negara, dengan jumlah 550 peserta. Para pakar dan lintas profesi dihadirkan, seperti akademisi, ulama, ahli hukum, pemimpin organisasi Islam, praktisi pendidikan dan para pemimpin komunitas Muslim yang tersebar di seluruh penjuru dunia, seperti dari Jepang hingga Amerika Latin. Tak lupa juga PBB turut diundang yang tentunya untuk memberikan pandangan mereka, terkait dengan hukum Internasional yang meliputi hak-hak dan kewajiban warga negara minoritas, dalam konteks ini minoritas Muslim.

Menariknya, tema seminar itu tidak menyebut istilah minoritas atau mayoritas. Sebab, seperti telah disebutkan, kata ‘minoritas’ memiliki konotasi negatif dan cenderung lebih rendah dari istilah ‘mayoritas’, seperti dalam teori linguistik-struktural, ada oposisi biner yang bekerja didalamnya, di mana yang satu lebih rendah dari yang lain, yang mayoritas lebih dominan dan superior dari minoritas, ini sama sesekali tak benar. 

Justru yang digunakan adalah Muslim societies, ini menandakan bahwa tidaklah elok jika kata ‘mayor’ dan ‘minor’ menjadi judul inti dalam membicarakan Islam dan komunitas Muslim yang melibatkan banyak negara dari seluruh dunia. Intinya, ‘Muslim societies’ menunjukkan kesetaraan umat Islam dihadapan umat lainnya dan ada kesan kesetaraan atau sejajar, serta adanya sikap bahwa semuanya adalah warga negara yang sama tanpa ada perbedaan. Yang membedakan hanya adat-istiadat, suku, agama, asal-usul, atau latar belakang lainnya.

Paling tidak, seminar yang digagas dan didanai oleh Uni Emirat Arab ini, tepatnya oleh Menteri Toleransi bernama Sheikh Nahyan bin Mubarok al-Nahyan, memiliki arti penting dalam membangun jalinan harmonisasi bagi hubungan minoritas Muslim dan non-Muslim di negara-negara luar yang berpenduduk mayoritas non-Muslim. Pasalnya, kehidupan di UEA sangat harmonis, bahkan tingkat kriminalitasnya sangat rendah di banding negara-negara Timur Tengah. Itu artinya kehidupan yang harmonis itu dapat ditularkan, terutama sekali antarpemeluk agama yang berbeda.


Penguatan budaya damai harus terus digalakkan, dialog antarpemeluk agama berbeda juga harus terus dibentuk untuk membangun sebuah peradaban yang lebih baik. Seminar ini juga dapat menjadi pendorong kepada negara-negara non-Muslim, melalui perwakilannya, untuk lebih menjamin hak dan kewajiban bagi masyarakat Muslim yang hidup sebagai minoritas. Sebab, yang dibutuhkan sekarang ini bukanlah teori-teori akademis yang begitu kaku dan njlimet, tetapi bagaimana menjadikan teori itu menjadi praktis. 

Sebagaimana diungkapkan oleh Ikhwanul Kiram, ada lima agenda inti yang dibahas. Menjawab problematika umat Islam di negara-negara non-Muslim, perlunya pembaruan hukum Islam yang lebih kontekstual tentang hubungan minoritas Muslim dan non-Muslim, solusi menghadapi fanatisme agama dan Islamofobia, memaksimalkan peran komunitas Muslim dalam membangun peradaban yang menjujung tinggi pluralitas, dan terakhir perlunya membangun tatanan baru dunia yang menjamin kehidupan beragama, khususnya bagi komunitas Muslim minoritas. 

Semua itu memiliki arti penting bagi minoritas Muslim yang hidup di negara-negara non-Muslim. Mereka ingin diakui dan ingin terlibat dalam membangun kemajuan. Dalam kehidupan bersama, bagaimanapun perbedaannya, persamaan hak haruslah dijujung tinggi. Segala pandangan yang keliru tentang Islam dan umat Islam harus diluruskan. Melalui seminar, konferensi Islam dan perkumpulan lainnya, wajah Islam yang santun dan damai dapat lebih diperkenalkan kepada dunia.

Sebab selama ini, citra Islam menjadi buruk akibat adanya kelompok-kelompok ekstremis yang mengatasnamakan Islam, juga yang tak kalah pentingnnya dakwah-dakwah Islam harus dilakukan dengan sangat santun, ada banyak dai-dai yang begitu keras dan mudah menyalahkan kelompok dan penganut agama lain sebagai kafir. Dai yang keras justru akan mempersulit komunitas Muslim untuk berbaur dengan masyarakat. Ini tentu saja tak boleh dibiarkan. Kita, sebagai umat Islam, baik sebagai mayoritas ataupun minoritas di luar sana, harus sepatutnya menampilkan Islam sebagai agama cinta kasih dan agama damai.

Mencari solusi dan menjawab tantangan atas segala persoalan yang dihadapi minoritas Muslim di masyarakat non-Muslim tidaklah mudah. Adanya konferensi umat Islam, seminar dan perkumpulan lainnya tak boleh hanya berhenti di situ saja, tetapi harus ada kelanjutan. Seperti seminar di Abu Dhabi belum lama ini, juga telah meluncurkan apa yang disebut ‘Komite Internasional’ sebagai bentuk kelanjutan untuk komunitas minoritas Muslim yang berpusat di Abu Dhabi.

Komite ini, paling tidak, dapat menjadi wadah dan tempat di mana umat Islam di seluruh dunia, khususnya yang menjadi minoritas di negara-negara non-Muslim dapat mencari solusi atas problem-problem yang dihadapi. Sebagai komite yang sudah permanen, diharapkan ini dapat menjadi tempat mengadvokasi persoalan-persoalan komunitas Muslim di masyarakat negara-negara non-Muslim. Komite ini juga telah bekerjasama dengan berbagai lembaga nasional dan internasional, terutama PBB sebagai konstitusi perdamaian terbesar di dunia. 

Tujuan terpentingnya adalah agar dapat membantu komunitas Muslim berbaur secara alami dengan masyarakat non-Muslim tanpa menghilangkan identitas mereka sebagai Muslim yang baik, seperti kebebasan dalam beribadah. Jika sudah berbaur, maka komunitas Muslim akan dapat mudah ikut andil dan terlibat secara langsung dalam setiap pembangunan dan menciptakan masyarakat yang maju dan harmonis.


Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Filsafat UGM Yogyakarta


Terkait