Opini

Serpihan Pemikiran KH Zainul Arifin

Selasa, 1 Desember 2009 | 00:05 WIB

Oleh Iip D. Yahya

Sebagaimana KH Saifuddin Zuhri dan KH Idham Chalid, KH Zainul Arifin adalah para pemuda yang “ditemukan” oleh talent scouter paling legendaris di lingkungan NU, KH Wachid Hasyim. Para pemuda ini dibimbing Wachid Hasyim untuk dapat menggerakkan organisasi NU. Dan terbukti ketiganya mampu mengemban tugas itu. Yang selalu membuat kita kagum kepada mereka adalah energi perjuangannya: konsisten pada garis perjuangan ulama, tak kenal lelah, jujur, dan tetap bersahaja.

Mereka benar-benar menempatkan diri sebagai khadim ulama, tanpa merasa dirinya sebagai ulama. Ini misalnya bisa dilihat dari buku Berangkat dari Pesantren-nya Saifuddin Zuhri. Dari 35 kutipan mengenai Zainul Arifin, tak satu pun yang ditulis dengan gelar “KH”. Hanya ada beberapa yang diawali “H” saja. Zuhri menempatkan dirinya selevel dengan Arifin. Dengan memiliki pemuda-pemuda seperti itulah roda organisasi NU pada masanya berjalan dan berputar menaik sehingga diperhitungkan dalam percaturan nasional. Bahwa kemudian oleh publik para pemuda itu di kemudian hari digelari “KH” itu adalah konsekuensi logis saja.<>

Satu hal yang menjadi kelebihan ZA adalah tempat tinggalnya di Jakarta yang menjadi pusat kekuasaan negara. Dengan posisi itu ZA mengikuti hampir semua pergerakan politik di pusat kekuasaan sehingga pilihan Wachid Hasyim kepada ZA menjadi sangat strategis. Selain mengakar sebagai tokoh NU Betawi, ZA juga mengerti arah perpolitikan nasional.

Menyambut peringatan “Seabad KH. Zainul Arifin”, tentu akan semakin lengkap jika kita mengenal pemikirannya dalam persoalan keagamaan maupun kebangsaan. Tulisan singkat ini coba melihat serpihan-serpihan pemikiran Zainul Arifin (ZA) yang tersebar dalam surat kabar pada masa pendudukan Jepang. Tanpa maksud menganalisisnya, kutipan-kutipan tulisan dan pernyataan ZA itu sudah sangat gamblang untuk dipahami ke mana arah dan tujuannya. Ia bukan tokoh yang berpikir “ribet” melainkan cenderung lugas dan mudah dipahami. Kutipan pendapat ZA ini disusun secara kronologi sesuai tanggal pemuatannya di sejumlah media.
 
Sekilas tentang Hizbullah

Pada masa pendudukan Jepang, secara umum elit Indoinesia terbagi dalam dua kelompok besar, nasionalis (termasuk di dalamnya sekuler dan non muslim) dan Islam (santri). Ketika surat Gatot Mangkupradja (7/9/1943) yang mengusulkan pembentukan PETA disambut baik oleh Saikoo Sikikan, maka pada  13/9/1943, sepuluh ulama yang mewakili umat Islam di Jawa juga mengajukan hal senada. Atas dua permohonan ini, Saikoo Sikikan meberikan persetujuannya. Kalau surat Gator melahirkan PETA, surat 10 ulama menghasilkan Hizbullah. Dua kelompok tentara inilah yang kelak ikut membangun tentara nasional kita. 10 ulama yang mengajukan permohonan itu adalah K.H. Mas Mansur, KH. Adnan, Dr. Abdul Karim Amrullah (HAMKA), Guru H. Mansur, Guru H. Cholid. K.H. Abdul Majid, Guru H. Yakub, K.H. Djunaedi, H. Mochtar dan H. Moh. Sodri.

Tempat latihan calon prajurit yang disebut ksatrian untuk dua kelompok itu tak berjauhan. PETA dilatih di kota Bogor, Hizbullah agak ke pinggiran, di Cibarusah. PETA mewakili kelompok nasionalis, Hizbullah merepresentasikan kalangan Islam. Secara kultural, adanya dua kelompok ini memang menjadi bagian tak terpisahkan dalam tubuh bangsa Indonesia. Hal ini diakui oleh Kiai Wachid Hasyim, sebagaimana dikutip Saifuddin Zuhri (1987), “Sukar bagi Nippon untuk hanya membuat satu wadah. Faktor-faktor obyektif yang ada pada golongan Islam dan Nasionalis tak bisa dibantah. Itu sudah ada sejak zaman Majapahit-Demak.”

Sebelumnya usulan soal Hizbullah ini sempat dibahas alot dalam rapat Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi). Dipersoalkan, mengapa harus ada dua kelompok, bukankah satu kelasykaran akan jadi lebih kokoh? Akhirnya pemisahan PETA dan Hizbullah disepakati karena dengan dua kelompok, musuh dianggap akan lebih sulit memecah atau menguasainya. Rapat memutuskan, “lebih baik pura-pura pecah daripada pura-pura bersatu.” Namun, sekalipun berdiri sendiri-sendiri, kurikulum kedua lasykar itu sama, yakni materi yang disusun oleh Kapten Yamazaki.

Adanya dua pelatihan itu, bagi para penggerak perjuangan kemerdekaan adalah sebuah strategi. Prinsipnya, semakin banyak yang mendapat latihan kemiliteran, kian baik buat bangsa Indonesia. Sementara penguasa militer berpikiran semakin banyak pasukan yang kelak akan membantu mereka, semakin baik untuk Nippon. Keinginan bisa sama, tetapi motif dan motivasi bisa berbeda. Di situlah seninya berkolaborasi atau bekerjasama.

Bagi para pemimpin Islam saat itu, adanya dua wadah keprajuritan itu menyisakan pekerjaan rumah. Yakni, siapa yang masuk PETA dan siapa yang mengisi Hizbullah. Kalangan Islam tentu tak bisa sepenuhnya dalam barisan Hizbullah, harus ada juga yang masuk PETA. Maka sejumlah pemuda pilihan yang mewakili ormas Islam pun bergabung dalam PETA. Dari NU ada Abdul Kholiq Hasyim, Wahib Wahab (Jatim), Syam’un (Jabar). Dari Muhammadiyah ada Yunus Anis (Yogyakarta), Muljadi Joyomartono (Jateng), Iskandar Idris (Jabar). Dari PUII diutus Basyuni (Jabar), sementara PSII antara lain mengirimkan Arudji Kartawinata. Sementara para pemuda Islam lainnya berbondong-bondong masuk Hizbullah. Ringkasnya, pemuda sekolahan masuk PETA sementara para santri masuk Hizbullah.
 
Sosialisasi kepada para Ulama

Mobilitas ZA tidak hanya di lingkungan NU. Ia juga melakukan roadshow yang tak mengenal lelah bagi kepentingan Masyumi. Misalnya pada 30-31 Juli 1944, dilangsungkan Musyawarah Ulama Jawa Barat yang dihadiri 600 ulama. ZA hadir untuk membuka acara tersebut sebagai perwakilan Pengurus Besar Masyumi. Setelah menjelaskan bahwa acara di Jabar merupakan rangkaian pertemuan serupa di Jatim dan Jateng, yang juga dihadirinya, ia menyatakan bahwa maksud pertemuan itu adalah untuk mengadakan perhubungan dan persatuan ulama sebagai guru dan pemimpin yang mempunyai kedudukan istimewa di tengah-tengah masyarakat.

“Tanah Jawa adalah suatu negeri yang penduduknya sebagian besar terdiri dari umat Islam, sehingga dengan sendirinya kita tidak boleh ketinggalan untuk menyelenggarakan Benteng Perjuangan Jawa karena itu kedudukan kaum ulama bertambah penting. Marilah kita membaharui niat ikut berjuang dalam Benteng Perjuangan Jawa.” (Sinar Baroe, 1/8/44, h. 3).

Sementara sebagai pengurus NU Jakarta, ZA ikut mengurusi PCNU di sekitarnaya, seperti melantik PCNU Pandeglang pada 11 Juni 1944. Dalam pelantikan tersbeut antara lain ia mengatakan, “Hendaknya NU menyesuaikan diri dengan keadaaan zaman, serta berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai kemenangan terakhir.” (Asia Raya, 15-6-44, h.2).

Lalu pada 13 September 1944, dalam Rapat Umum Umat Islam di Taman Raden Saleh Jakarta, sebagai pengurus Masyumi yang memipin rapat tersebut ZA menyatakan, “Soal kemerdekaan dalam Islam bukanlah soal semboyan dan cita-cita saja, tetapi adalah menjadi dasar dari agama. Umat Islam yang mempunyai jiwa yang hidup, harus menuntut dan mempertahankan kemerdekaan, jika perlu dengan jiwa raganya.” (Tjahaya, 15/9/44, h.1)
 
Tentang Hizbullah

Sebagai anggota pengurus harian Masyumi, ZA memberikan penjelasan mengenai latar belakang dan tujuan pendirian Hizbullah. ZA tepatnya menjabat Kepala Urusan Umum Masyumi sejak 1 Desember 1944. Sebelumnya ia bekerja di bagian keuangan Balai Agung Jakarata. Penjelasan tersebut disiarkan oleh kantor berita Domei dan dimuat di sejumlah koran, antara lain Tjahaja yang terbit di Bandung.

Penjelasan Masyumi tentang Barisan Hizbullah:

Sesudah masuknya Balatentara Dai Nippon ke Indonesia ini, soal pemudapun menjadi soal yang sangat penting, sehingga kemudian dibentuklah Seinendan. Pada masa itupun oleh kita sudah terpikir akan mendirikan suatu gerakan pemuda Islam. Tetapi rupanya dewasa itu, belum tiba saatnya yang baik.

Alhamdulillah, sekarang sesudahnya barisan Seinendan dan Keibodan berdiri tegak dan teratur rapi. Kita, oleh pemerintah balatentara diizinkan mendirikan barisan pemuda Islam. Sudah tentu atas izin yang diberikan pemerintah itu, kita memanjatkan syukur ke hadirat Allah Swt, dan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada pemerintah.

Sekarang dengan dorongan dari pemuda-pemuda kita yang berjiwa Islam hakiki, oleh Mayumi didirikan Barisan Pemuda Islam yang diberi nama Hizbullah (tentara Allah). Jika kita mau berpikir dengan tenang, tiap-riap orang yang mengaku dirinya Islam, dengan sendirinya menjadi calon tentara Allah, tentara guna membasmi musuh-musuh yang angkara murka. Bukankah kita semua umat Islam di dalam ajaran agama selamanya dididik untuk berperang? Tidak saja kita berperang dengan musuh kita yang nyata-nyata, sebagai sekarang ini, yaitu Inggris-Amerika-Belanda dan sebangsanya, tetapi kita umat Islam senantiasa setiap masa dan waktu, berperang dengan hawa nafsu kita, dengan syaitan dan iblis yang tidak dapat dilihat dengan mata. Inilah kewajiban Islam yang utama.

Islam sekali-kali bukanlah suatu agama yang pasif, tetapi adalah agama yang aktif. Agama Islam bukan hanya dapat membawa orang ke langgar atau mesjid saja dengan memutar-mutar tasbih, tetapi Islam dapat pula membawa umatnya ke medan peperangan yang berlumuran darah. Dan tasbih segera dapat ditukar dengan bedil ataupun pedang untuk menghancurkan musuh.

Bukti dalam hal ini sangat banyaknya. Nabi Bsar Muhammad SAW, dalam 23 tahun selama beliau memenuhi kewajiban sebagai rasul Allah, adalah senantiasa di dalam berperang dengan musuh. Begitu pula sesudah beliau wafat, sahabat-sahabat beliau pun meneruskan peperangan itu.

Barisan Hizbullah sekarang sudah berada dalam kandungan, yan telah menemukan corak dan rupanya, di dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya. Tidak lama lagi Hizbullah akan lahir di tengah-tengah masyarakat Indonesia sebagai anak bayi. Pengharapan kita moga-moga kiranya dengan taufik hidayah Allah Swt, kelahiran Hizbullah di dalam masyaralat kita sekarang ini membawa manfaat dan faedah yang berguna untuk agama, bangsa, dan tanah air. Sebagai salah satu badan, Hizbullah di dalam masyarakat akan dapat menyumbangkan tenaga dan jiwanya guna menyelesaikan peperangan hingga berakhir dengan kemenangan bangsa-bangsa Asia Timur. Dan sebagai gerakan Islam, Hizbullah akan dapat mengembangkan keislaman “billati hiya ahsanu” (dengan jalan yang sebaik-baiknya) menurut ajaran Al-Qur’an.

Sebagai adik yang baru datang, sudah tentu Hizbullah senantiasa menyediakan diri menjadi makmum atau pengikut imamnya, yaitu Prajurit Pembela Tanah Air dan Heiho. Inilah yang dikatakan dalam anggaran dasar Hizbullah: Usaha-usaha yang disumbangkan guna menyelesaikan peperangan sebagai cadangan Tentara Pembela Tanah Air.

Sebagai tentara Allah, moga-moga kelahiran Hizbullah di tengah-tengah api peperangan yang menyala-nyala di seluruh Asia Timur ini, tidak akan mengecewakan.

Dahulu, walaupun dihujani rintangan dan rintangan dari pemerintah Belanda, pergerakan pemuda Indonesia dapat berdiri tegak dengan bergabung, beberapa pergerakan pemuda di bawah suatu pimpinan yang dipersamakan maksud dan tujuannya.

Di masa ini dengan pimpinan Balatentara Dai Nippon yang benar-benar tahu akan jiwa pemuda, tentu gabungan pimpinan itu sangat mudah diciptakan. Karena kita semuanya, adalah berbangsa satu, berbahasa satu, dan bertanah air satu. Pun bercita-cita satu.

Tidak saja kita pemuda Indonesia seluruhnya dapat menyusun suatu persatuan yang kuat-kokoh di negeri kita, bahkan cita-cita kita seluruh pemuda Asia Timur  tentu dapat merupakan persatuan sebagai benteng yang membaja di dalam menyelesaikan peperangan ini dengan kemenangan akhir yang pasti berada di pihak kita.(Domei/Dimuat dalam Tjahaja, 13/12/1944, h.2)
 
Harapan pada Pemuda

Sebagaimana pemimpin umat pada masa itu, ZA sangat gigih menyemangati pemuda, terutama dari kalangan pesantren.  Ketika menghadiri Rapat Masyumi Banten, 15 Januari 19 45, ia misalnya mengatakan, “Hanya dengan adanya pemuda-pemuda yang berani berjuang saja, keluhuran bangsa dapat tercapai.” (Tjahaja, 18/1/45, h.2).

Kemudian pada pertemuan 150 ulama Priangan di Bandung, 14 Juli 1945, ZA yang hadir sebagai Pucuk Pimpinan Hizbullah dan Masyumi, menegaskan. “Kita mesti ikut perang serta mencurahkan  segenap tenaga untuk mencapai Indonesia merdeka dan kemenangan akhir.” (Asia Raya, 18/7/45, h. 1).

Begitu pula di lingkungan NU, pernyataan ZA seiring dan seirama. Dalam penutupan latihan muballigin NU Cirebon yang diikuti 57 ulama pada 28 Juli 1945, setelah panjang lebar memaparkan sejarah Islam, ia menambahkan,“Untuk mendapat sebutir nasi pun harus diperjuangkan. Perjuangan Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Umar, dll, membuktikan keteguhan hati pahlawan-pahlawan Islam dalam memperjuangkan kebahagiaan nusa bangsa. Merjan tasbihnya dijadikan pelor untuk menghantam musuh. Siapa berani hidup, harus berani mati, karena mati ditentukan Tuhan.” (Sinar Baroe, 1/8/45, h.2).

Itulah Zainul Arifin, salah satu penggerak roda organisasi para ulama (NU dan Masyumi) pada masa yang sangat menentukan. Hubungan sinergis antara ulama dan para penggerak organisasi itulah yang saat ini kita rindukan, khususnya di lingkungan NU. Yakni kehadiran para khadim yang tidak pernah jumawa mengaku sebagai “ulama”, namun tetap bersahaja dan merasa cukup sebagai pelayan ulama.

Iip D. Yahya, peminat kajian sejarah pesantren, tinggal di Bandung.


Terkait