Opini

Revitalisasi Peran GP Ansor di Ibu Kota

Kamis, 11 Februari 2016 | 11:01 WIB

Revitalisasi Peran GP Ansor di Ibu Kota

Ilustrasi Ibu Kota.

Oleh M Imaduddin
Membuka tulisan ini, pertama-tama saya ingin mengucapkan selamat atas terpilihnya anggota DPRD DKI Jakarta dari PKB, Sahabat H Abdul Aziz secara aklamasi dalam perhelatan Konferwil XVII GP Ansor DKI Jakarta di Hotel NAM Center, Kemayoran, 5-7 Februari 2016 lalu. Harapan kader Ansor DKI Jakarta Bang H Aziz dapat menjalankan amanat konferwil dengan penuh tanggungjawab dan dedikasi, serta mampu membuat terobosan-terobosan baru untuk kemajuan GP Ansor, NU, dan masyarakat Jakarta pada umumnya.

Beberapa dekade belakangan ini NU menjadi aktor penting dalam proses transformasi sosial dan pemikiran di negeri ini. Kini, kader-kader terbaik NU -terutama kader-kader mudanya- tersebar di berbagai Instansi, lembaga, perusahaan, partai politik, dan lain-lain serta menjadi motor penggerak perubahan (muharrik) masyarakat. Saya katakan, saat ini adalah eranya NU. 

NU saat ini senantiasa menjadi rujukan dalam proses pembuatan kebijakan pemerintah dalam berbagai bidang. Saya membayangkan, seandainya Allah Yarham Gus Dur menjadi presiden pada saat ini, maka beliau tentu tak sulit menemukan kader-kader unggul nahdliyin untuk ditempatkan di pemerintahan dan Gus Dur pasti tak akan jatuh secepat itu.Oleh karena itu, momen ini mesti dimanfaatkan betul-betul oleh kader-kader NU.

Sudah mafhum bahwaJakarta berbeda dengan dengan kota-kota lainnya di Indonesia. Di samping sebagai ibukota negara, Jakarta merupakan sentral ekonomi dan politik. Peristiwa yang terjadi di Jakarta, seluruh Indonesia tahu, sebaliknya apa yang terjadi di daerah masyarakat Jakarta tidak banyak yang tahu. Kultur keagamaan di Jakarta juga berbeda dengan daerah, terutama Jawa Timur dan Jawa tengah. Mayoritas umat Islam Jakarta mengikuti paham Ahlussunnah wal Jama’ah, namun secara organisasional mereka bukanlah warga nahdliyin yang memiliki karakter dan sikap Aswaja an-Nahdliyah. 

Secara umum corak keislaman warga Jakarta dalam pandangan saya terbagi menjadi dua. Pertama, corak puritanisme-tradisional, yakni lebih mengedepankan formalisme dan simbol-simbol agama. Dengan kata lain unsur Timur Tengah amat kental dalam tradisi keislaman masyarakat Betawi. Kedua, corak keislaman a la masyumi, yakni corak Islam Politik, bahwa ajaran Islam mesti terlembagakan dalam konstitusi negara dan peraturan pemerintah. 

Corak demikian tentu saja berbeda dengan Islam Jawa (baca; santri). Karakter Islam Jawa lebih mengedepankan unsur esoteris dan merupakan perpaduan harmonis antara Islam yang datang dari Arab dengan budaya Jawa. Nuansa tasawuf amat mewarnai dalam tradisi dan laku masyarakat Islam Jawa. Pendekatan budaya yang dilakukan Wali Songo dalam proses islamisasi di tanah Jawa membentuk karakter akomodatif dan toleran bagi Islam Jawa. Salah satu contohnya adalah pendidikan model pesantren yang dibangun oleh wali Songo merupakan adaptasi dari model pendidikan dalam agama hindu guna mengkader calon-calon pemuka agama. Istilah santri juga berasal dan kata cantrik yang berarti pelajar yang mempelajari ajaran agama Hindu di sebuah asrama.

Mempelajari asal-usul dan tradisi keislaman masyarakat Betawi amat penting, guna merumuskan strategi rekrutmen kader GP Ansor di Jakarta. Karena itu, perlu adanya materi mengenal tradisi keislaman masyarakat Betawi dalam PKD maupun Diklatsar Banser GP Ansor DKI Jakarta. Calon-calon kader GP Ansor DKI mesti mengtahui dan mengerti sepak terjang ulama-ulama Betawi dalam dakwah mereka di tanah Betawi. 

Selanjutnya, Jakarta, ibukota negara ini setuju atau tidak, disebut kota materialistik.  Disebut demikian karena tinggi rendahnya status sosial seseorang di kota ini ditentukan oleh kemapanan ekonominya.Seiring dengan itu, persoalan terbesar bagi kader-kader Ansoradalah ekonomi. Kebanyakan warga Jakarta mau masuk ke dalam sebuah organisasi bila ada keuntungan ekonomis yang mereka dapatkan. Disinilah pentingnya bagi GP Ansor membentuk amal usaha guna membantu kader-kader Ansor meningkatkan kehidupan ekonomi mereka. 

Harapan para kader, GP Ansor periode kepemimpinan sahabat H Abdul Aziz ini tidak terlalu jauh terlibat dalam pragmatisme politik. Penulis juga berharap GP Ansor DKI Jakarta tidak ditunggangi oleh kepentingan personal dan primordial pengurus-pengurusnya. Jika itu yang terjadi, maka siap-siap GP Ansor akan ditinggalkan oleh umat, bahkan oleh kader-kadernya sendiri. Perlu diingat, GP Ansor adalah milik umat, dan bukanlah milik partai tertentu. NU dan GP Ansor didirikan oleh para ulama dan auliya, karenanya ia memiliki sakralitas. “Siapa yang memiliki niat tidak baik terhadap NU maka akan hancur..” demikian fatwa Hadlratussyekh KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU.

GP Ansor DKI Jakarta ke depan juga mesti menitikberatkan pada program sosialisasi nilai-nilai Aswaja An-Nahdliyah dan program pemberdayaan umat. GP Ansor harus kembali kepada misi awal pendiriannya, yakni misi keagamaan (menyebarkan ajaran Aswaja), kepemudaan (membentuk pemuda yang tangguh, visioner, dan berakhlakul karimah), sosial-kemasyarakatan (pemberdayaan masyarakat dan pembelaan terhadap masyarakat yang tertindas dan terdzhalimi), dan nasionalisme (menjaga keutuhan NKRI). 

Tantangan di depan mata bagi GP Ansor adalah radikalisme dan ekstremisme yang mengatasnamakan agama. Saya kira semua sepakat bahwa terorisme, tindakan kekerasan, dan sikap intoleransi bukanlah bagian dari ajaran Islam. Namun persoalannya, sasaran agen-agen ideologi trans nasional adalah kalangan muda. Maksud saya, anak muda yang memiliki gairah membela agama yang tinggi, namun tidak didiringi oleh pengetahuan agama yang memadai. Oleh karena itu, GP Ansor harus bergerak di ranah intelektual dan pemikiran, tidak melulu gerakan sosial guna menanggulangi serbuan ideologi trans nasional yang mengancam keutuhan NKRI dan meracuni para pemuda negeri ini.Sebuah pameo menyatakan, tindakan yang tidak didasari oleh pengetahuan hanya akan melahirkan kekonyolan dan kebodohan. 

Untuk mengantisipasi gerakan radikalisme dan ekstremisme tersebut caranya adalah GP Ansor mesti menanamkan dan mengembangkan fikrah (sikap) an-nadliyah yang bersumber dari ajaran Aswajakepada kader-kadernya dan kepada masyarakat. Fikrah Nahdliyah tersebut adalah:(1) fikrah tawasuthiyah (moderat), seimbang dan adil dalam menyikapi persoalan; (2) tathowuriyah (dinamis), kontekstualisasi dalam merespon persoalan; (3) tasamuhiyah (toleran), mampu hidup berdampingan meskipun berbeda paham; (4) ishlahiyah (reformatif), selalu mengupayakan perbaikan untuk menuju ke arah yang lebih baik; (5) manhajiyah (metodologis), senantiasa mengacu pada manhaj nahdliyah.


M Imaduddin, Wakil Sekretaris Lembaga Dakwah PBNU, Sekretaris PC GP Ansor Jakarta Timur.


Terkait