Opini

Refleksi Hari Buku Nasional 2025: Meneguhkan Tradisi Literasi Pesantren

Sabtu, 17 Mei 2025 | 18:23 WIB

Refleksi Hari Buku Nasional 2025: Meneguhkan Tradisi Literasi Pesantren

Kitab-kitab yang biasa dikaji di pesantren (Foto: NU Online)

Setiap 17 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Buku Nasional. Momen ini sejatinya bukan sekadar perayaan simbolik atas pentingnya buku dalam kehidupan berbangsa, tetapi juga pengingat akan urgensi membangun budaya literasi yang berkelanjutan.


Dalam konteks Indonesia yang multikultural dan multireligius, budaya membaca dan menulis memiliki akar panjang, khususnya di lingkungan pesantren yang menjadi lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara. Pesantren dan organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) memiliki peran strategis dalam menghidupkan dan meneguhkan literasi keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan.


Pesantren bukan hanya tempat belajar agama secara tekstual, tetapi juga pusat peradaban literasi Islam Nusantara. Santri terbiasa berinteraksi dengan kitab-kitab kuning (turats), karya ulama klasik dari Timur Tengah hingga Nusantara. Mereka tidak hanya membaca, tetapi juga mengkaji, mendiskusikan, dan sering kali menulis syarah (penjelasan), hasyiyah (komentar), atau bahkan menelurkan karya baru.


Kebiasaan ini tidak sekadar mempertahankan ilmu, melainkan menumbuhkan semangat berpikir kritis dan produktif. Dalam banyak kasus, seorang santri unggul tidak cukup hanya cerdas dalam membaca kitab, tetapi juga dituntut untuk menulis dan menyampaikan gagasannya. Tradisi ini, meski tampak dianggap konservatif, justru menjadi basis kuat bagi budaya literasi dalam arti yang sesungguhnya.


Nahdlatul Ulama, sebagai ormas Islam terbesar di dunia, berakar kuat pada pesantren dan santri. Sejak berdiri pada tahun 1926, NU tidak hanya menjadi kekuatan sosial-keagamaan, tetapi juga motor penggerak literasi. Tokoh-tokoh besar NU seperti Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, KH Wahid Hasyim, KH Ahmad Siddiq, hingga KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dikenal sebagai pemikir besar yang menulis banyak karya dan mencerdaskan umat melalui tulisan.


Gus Dur, misalnya, merupakan contoh nyata seorang ulama yang menjadikan literasi sebagai alat perjuangan. Tulisan-tulisannya tajam, reflektif, dan progresif, membahas isu agama, kemanusiaan, hingga demokrasi. Ia tidak hanya menulis untuk kalangan pesantren, tetapi juga menyentuh publik luas, menjembatani tradisi keilmuan Islam dengan wacana modernitas.


Selain itu, lembaga-lembaga NU seperti Lembaga Ta’lif wan Nasyr (LTN NU) menjadi ujung tombak penerbitan dan penyebaran literatur keislaman yang moderat. Pesantren-pesantren besar di bawah naungan NU juga mulai membangun perpustakaan, menerbitkan buletin, jurnal, hingga media daring sebagai sarana penguatan literasi digital di era modern.


Tantangan Literasi di Era Digital
Namun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa budaya baca-tulis saat ini sedang menghadapi tantangan besar, terutama di tengah gelombang digitalisasi informasi. Kemudahan akses ke konten instan di media sosial, video pendek, dan budaya scrolling telah menggeser minat masyarakat dari membaca buku secara mendalam ke konsumsi informasi cepat dan dangkal. Ironisnya, Indonesia masih berada di peringkat rendah dalam hal indeks literasi global.


Data dari UNESCO yang menyebutkan Indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya di angka  0,001% atau dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. (Lihat artikel di website RRI berjudul UNESCO Sebut Minat Baca Orang Indonesia Masih Rendah, 23 April 2024) 


Bagi dunia pesantren dan NU, ini menjadi tantangan sekaligus peluang. Tantangan karena mereka dituntut untuk tetap relevan di era digital tanpa kehilangan esensi tradisi ilmiah yang berbasis pada kajian mendalam. Namun ini juga peluang untuk memperluas dakwah literasi melalui media yang lebih adaptif, seperti platform digital, podcast, kanal YouTube edukatif, dan aplikasi kitab kuning digital.


Beberapa pesantren mulai menangkap peluang ini dengan membangun kanal dakwah berbasis literasi digital. Santri-santri muda mulai diajarkan menulis opini, resensi, hingga konten edukatif berbasis kitab kuning. Mereka tidak hanya menjadi pembaca dan penulis, tetapi juga kreator konten yang menanamkan nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin dalam bahasa kekinian.


Di wilayah Solo Raya, penulis mengamati sejumlah kegiatan literasi yang diinisiasi oleh pesantren dan juga LTN-NU. Mulai dari Gerakan Santri Menulis, pelatihan pemanfaatan media sosial, hingga bagaimana cara mengatur audio agar saat acara ataupun rekaman langsung tidak lagi "kemresek". Semua ini menjadi upaya dari kaum pesantren untuk menyesuaikan zaman yang kini serba digital. 


Sinergi dengan Pesantren
Hari Buku Nasional seharusnya tidak berhenti pada seremoni peluncuran buku atau diskon besar-besaran di toko buku. Lebih dari itu, ia harus menjadi momentum untuk memperkuat sinergi antarkalangan. Pemerintah, organisasi masyarakat, dan dunia pendidikan harus bersatu padu membangun ekosistem literasi yang kokoh, mulai dari hulu (produksi buku) hingga hilir (distribusi dan pembacaan).


Pesantren dan NU bisa menjadi mitra strategis dalam upaya ini. Pemerintah dapat menggandeng pesantren untuk program Gerakan Literasi Nasional, menyediakan fasilitas perpustakaan, pelatihan menulis, hingga beasiswa literasi. Di sisi lain, pesantren perlu membuka diri terhadap literatur non-keagamaan yang bisa memperkaya wawasan santri tentang sains, teknologi, sosial-politik, dan kebudayaan.


Upaya-upaya seperti ini penting untuk menjawab tantangan zaman, sekaligus mempertahankan identitas keilmuan pesantren yang terbukti tahan uji. Pesantren bukan hanya penjaga moralitas, tetapi juga produsen ilmu pengetahuan yang mampu bersaing secara intelektual di tengah masyarakat modern.


Dalam konteks yang lebih luas, Hari Buku Nasional juga mengajak kita merenung: bagaimana menumbuhkan kembali cinta pada buku di tengah masyarakat yang semakin pragmatis dan serba cepat? 


Jawabannya bukan semata pada kampanye besar-besaran, tetapi pada keteladanan. Ketika kiai, guru, dan orang tua menjadi pembaca aktif dan penulis yang produktif, anak-anak dan santri akan tumbuh dalam ekosistem yang menghargai ilmu.


NU dan pesantren telah memberi contoh selama berabad-abad, bahwa buku bukan sekadar alat bantu, melainkan jantung dari peradaban. Dalam kitab, terhimpun hikmah, dalam pena, tertulis sejarah, dan dalam tulisan, terpatri perjuangan. Maka, memperingati Hari Buku Nasional dengan membangun budaya membaca dan menulis di pesantren bukan hanya penting, tapi mendesak.


Hari Buku Nasional adalah saat yang tepat untuk merefleksikan kembali posisi kita sebagai bangsa pembaca dan penulis. Dalam konteks Indonesia, Nahdlatul Ulama, dan pesantren, kita diingatkan bahwa buku dan literasi adalah bagian tak terpisahkan dari perjuangan kemerdekaan, kemanusiaan, dan keislaman. Mari jadikan momen ini sebagai titik tolak untuk membangun peradaban literasi yang berakar pada nilai, tumbuh dalam tradisi, dan berkembang mengikuti zaman.


Ajie Najmuddin, Wakil Ketua PC GP Ansor/ Anggota Lakpesdam PCNU Boyolali