Opini

Rambu Kebebasan Berekspresi

Senin, 25 September 2006 | 09:20 WIB

Prof. Dr Masykuri Abdillah

Salah satu di antara kriteria demokrasi adalah adanya kebebasan berekspresi bagi warga negara. Dalam beberapa tahun terakhir ini kebebasan berkespresi menjadi perbincangan publik yang menarik di negara kita. Hal ini terjadi karena pada era reformasi ini kebebasan menjadi hal yang dominan dalam prilaku rakyat Indonesia. Sementara di sisi lain ekspresi kebebasan ini kadang-kadang justru berdampak negatif sehingga bisa mengancam kebebasan itu sendiri.

Oleh karena itu tulisan ini akan membahas tentang kebebasan berekspresi dan batasan-batasannya serta adanya perilaku negatif warga masyarakat yang justru dapat mengancamnya. Karena ekspresi kekebasan ini tidak bisa sama sekali dipisahkan dari budaya lokal dan posisi penting agama dalam kehidupan masyarakat Indonesia, tulisan ini juga akan membahasnya dalam perspektif tersebut. 

<>

Pengertian dan batasan

Dalam sejarah pemikiran politik, ide tentang kebebasan ini pertama kali dikemukakan oleh Al-Farabi (950 M) dalam bukunya, Kitab Al Siyasat Al Madaniyyah. Mulanya gagasan ini kurang populer, dan baru banyak dikenal setelah dikemukakan oleh John Lock (1677-1887). Kini kebebasan diartikan sebagai tiadanya halangan atau rintangan bagi seseorang untuk berbuat.

John Lock memang mendukung kebebasan sepenuhnya, di mana hukum sekalipun tidak boleh menghilangkan atau membatasi kebebasan, melainkan justru untuk menjaga dan memperluasnya. Namun pandangan modern umumnya mengakui adanya pembatasan kebebasan ini dengan ketentuan-ketentuan hukum positif atau kondisi biologis seseorang. Sementara itu, John Stuart Mill tidak mendukung kebebasan yang bisa 'membahayakan orang lain'.

Uraian tersebut menunjukkan, bahwa kebebasan ini tetap memiliki batasan-batasannya, yakni hukum positif yang berlaku di sebuah negara, atau jika ekspresi kebebasan itu bisa merugikan orang lain. Dalam kasus-kasus tertentu norma-norma sosial juga bisa menjadi batasan kebebasan, meski hal ini hanya mengikat secara moral. Dalam masyarakat Indonesia yang moyoritas Muslim, norma-norma sosial ini sedikit banyak dipengaruhi oleh norma-norma Islam, sehingga dalam pembicaraan tentang hal ini kita tidak bisa melepaskan diri dari perspektif Islam.

Dalam konteks politik, kebebasan berekspresi bisa menjadi bagian dari kontrol terhadap kepala negara/pemerintah. Kontrol ini bahkan menjadi bagian yang menyatu dalam sistem demokrasi, agar lembaga-lembaga negara tidak melakukan kesalahan atau penyalahgunaan kekuasaan.

Untuk mewujudkan kebebasan berekspresi tersebut diperlukan adanya sikap toleran dari setiap warga negara terhadap pendapat, sikap, dan aktivitas orang atau kelompok lain yang berbeda dengan dirinya. Eksistensi toleransi dalam masyarakat dan negara demokrasi sangat penting, karena di satu sisi ia merupakan prasyarat bagi terwujudnya kebebasan, dan di sisi lain ia merupakan prasyarat bagi terwujudnya pluralisme.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun lalu tidak mengandung pengertian penolakan pluralisme secara umum, melainkan pluralisme agama yang diartikan sebagai paham yang yang memandang semua agama itu sama-sama mengandung kebenaran yang relatif. Pemahaman semacam ini sebenarnya bukan merupakan definisi mainstream, melainkan definisi yang hanya dipromosikan oleh beberapa orang yang mendukung liberalisme agama secara berlebihan.

Meski demikian, di Barat yang menerapkan demokrasi liberal pun kini masih juga terdapat perbedaan tentang batasan toleransi ini. Dalam hal toleransi ras, etnis, agama dan kelompok politik, semua pihak menyetujuinya. Namun, dalam hal toleransi kebebasan seksual, prostitusi, pornografi, penyalahgunaan obat dan semacamnya sampai kini masih sering diperdebatkan.

Demikian pula, toleransi terhadap aliran-aliran keagamaan yang dianggap telah melakukan penyimpangan. Di sejumlah negara di Eropa, aliran keagamaan yang dianggap menyimpang dilarang eksistensinya melalui proses pengadilan.

Potensi ancaman

Sejalan dengan terwujudnya kebebasan politik yang lebih besar pada masa reformasi ini, muncul pula sikap dan tindakan sebagian warga atau kelompok yang tidak sejalan dengan kebebasan atau bahkan mengancamnya. Pihak-pihak yang melakukan hal ini bukan dari pemerintah seperti yang terjadi pada masa orde baru, melainkan dari masyarakat sendiri. Potensi ancaman ini terjadi karena adanya perbedaan pendapat atau kepentingan yang diwujudkan dalam euforia kebebasan atau reaksi terhadap kebebasan yang tak terkendali. Hal ini diperburuk dengan masih rendahnya tingkat pendidikan dan kesadaran politik pelakunya.

Permasalahan dan potensi ancaman terhadap kebebasan berekspresi ini dapat dibedakan dalam dua bentuk. Pertama, ancaman kebebasan berekspresi yang berasal dari perbedaan tentang hal-hal yang bersifat profan (keduniaan). Secara umum perbedaan tentang masalah-masalah profan ini sudah bisa diterima dalam masya


Terkait