Opini

Radikalisme, Modernisme, Internetisme

Selasa, 31 Juli 2007 | 10:17 WIB

Oleh Jamal Maimur Asmani

TIDAK terasa, 31 Juli 2007, atau 16 Rajab 1428 H. NU sudah berusia 84 tahun (berdiri 16 Rajab 1344). Usia yang relatif tua dan matang. Tantangan dan rintangan yang dihadapi organisasi kaum sarungan ini semakin hari semakin berat, baik dalam konteks agama maupun politik. ;

KH Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU dalam suatu acara (17/5/2007) mengatakan, NU sekarang berada dalam kepungan dua ekstremisme. Pertama, fenomena radikalisme agama yang dibawa kelompok Islam yang mengedepankan jalan kekerasan dalam mengekspresikan nilai keagamaannya. Mereka ada yang berasal dari luar negeri, menggunakan ideologi kekerasan demi tegaknya khilafah Islamiyah di Indonesia. Kedua, massifnya kelompok liberal agama yang melakukan dekonstruksi dan profanisasi "doktrin" agama yang membawa pada konsep desakralisasi dan relativisme kebenaran agama.

Kedua kelompok ini sama-sama berbahaya. Untuk kelompok pertama, mereka seperti kaum "khowarij" yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, tidak perduli apakah cara itu membayakan dan menyengsarakan orang lain. Lebih ekstrem lagi, mereka memandang non-muslim sebagai orang yang darah, harta, dan harga dirinya "halal", boleh dibunuh, dijarah, dan dilecehkan.

Sedangkan kelompok kedua, mereka mau membunuh sendi-sendi keagamaan secara pelan-pelan. Umat Islam dijauhkan dari kebenaran agama. Agama tidak lebih hanya sekadar "keyakinan teologis" yang bersifat private, tidak sampai masuk wilayah publik. Umat Islam harus menghindari fanatisme teologis, mereka harus masuk dalam komunitas universal umat manusia tanpa disekat oleh eksklusivitas agama.

Kelompok kedua ini agaknya benar, namun, agama adalah kebenaran dan keyakinan hati. Ajaran-ajarannya tidak semuanya bisa disesuaikan dengan rasio manusia. Khususnya dalam masalah "teologi". Ia adalah wilayah hidayah (petunjuk Tuhan) yang tidak bisa diintervensi manusia.

Dalam agama, ada wilayah yang didekati dengan kekuatan rasio, ada juga yang hanya bisa didekati dengan kebeningan hati dan ketajaman rasa menembus keagungan Sang Pencipta.

Modernisme NU

Menghadapi dua tantangan besar ini, modernisme NU adalah suatu keniscayaan. NU harus merevitalisasi dan mendinamisasi dua unsur sekaligus, tradisionalitas (asholah) dan modernitas (hadatsah). Kaidah populer NU adalah al-muhafadhotu ala al-qodim al-sholih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (konsisten terhadap warisan tradisi yang masih relevan dan mendinamisasi diri dengan hal-hal baru yang lebih transformatif- progresif) .

NU harus konsisten menjaga, mengembangkan, dan mengejawantahkan warisan tradisionalitasnya di tengah kompetisi dunia yang berjalan secara eskalatif. Warisan tradisi NU berkisar pada khazanah keilmuan klasik yang luar biasa nilainya, warisan budaya yang sangat kaya, santun, akomodatif-selektif , dan wawasan kemasyarakatan yang kosmopolit. Aktualisasi dan refungsionalisasi adalah dua tugas yang harus segera direalisasi agar relevansi warisan tradisionalitas NU bisa tetap eksis.

Disamping itu, NU juga harus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka memodernisasi diri di tengah kecepatan era globalisasi sekarang ini.Kecanggihan teknologi informasi dan profesionalitas manajemen harus dimanfaatkan untuk mendukung kerja-kerja organisasi agar berjalan secara cepat, efesien, efektif, dan akurat. NU tidak bisa mengandalkan manajemen dan teknologi sederhana, karena akan dicap ketinggalan zaman dan selalu tidak mampu mengikuti setiap perkembangan yang terjadi.

Urgensi Internet

NU harus mempunyai jaringan komunikasi efektif dan efesien untuk optimalisasi program-programnya. Dalam konteks ini, adanya fasilitas internet di setiap cabang NU yang bisa diakses para pengurus adalah langkah yang mendesak direalisasi. Dengan fasilitas internet, organisasi akan berjalan secara sehat. Koordinasi, konsultasi, dan konsolidasi dapat dilakukan dengan cepat, akurat, dan efisien, tidak memerlukan mobilitas massa dan anggaran yang banyak. Selama ini, kalau mau mengadakan konsolidasi, koordinasi, dan pemberdayaan organisasi, NU selalu membutuhkan anggaran banyak, mobilitas massa, dan hasilnya sangat tidak efektif.

Sebetulnya, PBNU sudah mempunyai peralatan canggih ini, bahkan sudah mempunyai website canggih, www.nu.or.id, namun sosialisasi dan fungsionalisasinya untuk menjadikan paradigma pemikiran dan manajemen NU menjadi modern dan professional masih sangat minim. Sedangkan kalau para pengurus NU membaca ide-ide pembaharuan yang ada dalam website tersebut akan sangat luar biasa, mampu mempercepat roda transformasi lembaga ke arah modernisasi paradigma berpikir dan profesionalitas manajemen, sebagai modal mengembangkan kegiatan yang berorientasi kerakyatan dan kemanusiaan.

Kalau langkah ini tidak segera diambil, maka seperti kekhawatiran banyak kalangan, termasuk KH. Hasyim Muzadi dan KH. Musthofa Bisri, NU hanya tinggal simbol, formalitas, dan jargon, tanpa ada fungsi sosial yang diharapkan.

NU menjadi tidak menarik, rakyat tidak merasakan manfaat positif dari eksistensi NU, mereka malas menjadi orang NU, anak-anak mereka tidak tertarik pada NU, dan NU hanya tinggal nostalgia masa lalu yang menjadi dongeng anak bangsa di kemudian hari.

Sedangkan di sisi lain, organisasi sosial keagamaan lainnya sedang gencarnya menggunakan cara-cara NU yang lama untuk menarik masa, dengan memperhatikan mereka, khususnya kalangan orang miskin-papa, memberikan beasiswa, menyantuni yatim-piatu, dan program-program kerakyatan lainnya. Mereka menghindari kesan "korupsi" dalam bentuk apa pun, dan selalu cepat merespons setiap penderitaan dan kesengsaraan yang dialami rakyat kecil. Akhirnya, pelan namun pasti, mereka mendapat simpati masyarakat, dan NU semakin terperosok.

Oleh sebab itu, tidak ada waktu lagi untuk menunda tugas berat ini. NU harus segera berbenah diri, menyongsong agenda masa depan dengan melakukan konsolidasi internal, membangun tim yang solid dan berkwalitas, mengembangkan kegiatan yang berorientasi kerakyatan, memperluas jaringan kerja, menetapkan prioritas dan selalu melakukan evaluasi.

Alasan klise selama ini, bahwa para pengurus NU sibuk-sibuk, banyak kegiatan personal, tidak bisa rukun, dan berjalan sendiri-sendiri, harus segera diakhiri kalau ingin melihat masa depan NU cerah. Demi organisasi, ego pribadi harus ditanggalkan, kebersamaan harus digalakkan, rasa memiliki organisasi harus dihidupkan, dan pengorbanan (waktu, tenaga, pikiran, harta) harus dikedepankan. Jika tidak, maka NU hanya tinggal kenangan.

Merangkul anak-anak muda potensial adalah salah satu jalan alternatif untuk mempercepat proses ini. Kadangkala, NU sering hanyut dalam wilayah politik praktis, sehingga melupakan asset terbesarnya, yaitu kader-kader muda potensial, calon pemimpin NU masa depan. (11)

- Jamal Maimur Asmani, pengurus harian Robithoh Ma'ahid Islamiyah (RMI) Cabang Pati, pengamat sosial keagamaan

sumber: suara merdeka


Terkait