Opini

Puasa Transformatif

Ahad, 9 November 2003 | 05:25 WIB

Oleh : Prof Dr Mas’ud Machfoedz MBA    

“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” (QS.2:185).

<>

Ayat di atas mengandung pengertian bahwa puasa Ramadhan dapat menghantarkan manusia menjadi orang-orang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang takut kepada Allah secara paripurna. Bukan berarti kesempatan untuk menjadi muttaqien hanya pada bulan yang penuh berkah ini saja. Ramadhan mempunyai kekhususan tersendiri untuk mengasah ketakwaan kita. Sebab dalam Ramadhan manusia dididik untuk menyadari kemanusiaan sejatinya dengan kewajiban dan anjuran ibadah serta larangan-larangan yang musti dipatuhi. Karenanya Ramadhan kawah candradimuka bagi manusia untuk menuju kesejatian takwa.

Kesejatian takwa, sebagaimana kasih dan sayang Allah yang tidak menginginkan manusia jatuh dari martabat kemanusiaannya, bisa diperoleh ketika manusia mampu membebaskan dirinya dari segala yang meredusir kemanusiaannya. Kesempurnaan manusia (insan kamil) itu dicapai apabila ada keseimbangan antara dirinya sebagai hamba (‘abd) yang berkewajiban menyembah dan taat kepada Allah dan sebagai pengganti Allah (khalifah) yang mempunyai tanggungjawab sosial.

Maka, ketakwaan diukur tidak berdasarkan pada kuantitas ritualnya belaka. Spektrum takwa harus diperluas menjadi sejauhmana dia peduli dengan peran sosialnya, terkhusus tegaknya nilai-nilai kemanusiaan.

Nilai-nilai kemanusiaan yang dimaksud adalah nilai dasar yang dapat menjamin eksistensi manusia yang terumuskan dalam al-hurriyah (kebebasan), al-’adalah (keadilan) dan al-syura (musyawarah), musawwahi (persamaan), dan al-ukhuwah (persaudaraan).

Walhasil, Ramadhan adalah ajang manusia untuk merefleksikan ulang tentang kemanusiaannya secara utuh. Artinya, sejauh mana peran manusia sebagai ‘abd (hamba Allah) yang harus membebaskan dirinya dari segala kekafiran, kemusyrikan, kemunafikan, kefasikan maupun segala sesuatu yang meredusir kualitas moral; seperti angkuh, bakhil, riya’, hasud dan sifat buruk yang lainnya, serta sejauh mana peran dan tanggung jawab sosial sebagai khalifah (pengganti Allah) yang oleh Allah diberi warisan bumi dan isinya untuk dirawat dan dijaga.

Dapat pula dikatakan, Ramadhan adalah bulan pembebasan. Manusia dituntut untuk tidak hanya membebaskan diri dan hatinya dari segala penyakit rohani, yakni penyakit yang dapat meredusir dirinya sebagai seorang ‘abd, demi tercapainya kemenangan melawan nafsu. Juga, Ramadhan memberi pelajaran kepada manusia untuk membebaskan alam ini dari “penyakit sosial” menuju muara kemenangan, yakni keadilan dan kesejahteraan sosial serta keseimbangan alam.

Puasa mengajarkan kita merasakan lapar dan haus yang merupakan simbol ketidakberdayaan dan kemiskinan manusia. Keduanya merupakan menjadi sentral ibadah Ramadhan serta menjadi syarat minimal diterimanya ibadah puasa. Dengannya, kita diberi “pengertian” oleh Tuhan akan derita saudara kita kaum papa. Mungkin, Allah ingin menyentuh perasaan terdalam kita agar kita sadar untuk tidak bermewah-mewah di tengah kemiskinan dan supaya kita mau memperjuangkan mereka untuk keluar dari kubangan kemiskinan dan ketidakadilan sosial.

Kemudian di akhir rangkaian ibadah bulan Ramadhan kita diwajibkan menyisihkan sebagian harta untuk diberikan kepada saudara kita yang berhak. Sungguh sebuah ajaran sosial yang indah. Ajaran tentang solidaritas sosial yang menghapus keterjarakan kelas. Dari sini kita belajar tentang bagaimana seharusnya si kaya mengasihi saudaranya si miskin, yang kuat mengayomi saudaranya yang lemah, yang berkuasa melindungi rakyatnya, pemimpin harus ingat dengan yang dipimpin. Semua sama, harus saling mengasihi, menyayangi dan mencintai.

Sebuah nilai yang sudah jarang kita temukan dalam kehidupan modern sekarang ini.

Ramadhan juga mengajarkan persaudaraan, perdamaian, tidak saling mendendam dengan saling memaafkan sesama. Juga, untuk tidak saling curiga, iri atau dengki antara satu dengan yang lainnya. Kita tidak akan mencapai kemenangan bila masih mendendam dan melakukan permusuhan. Kita tidak menjadi fitri (suci) bila masih memendam benci. Oleh karenanya, ibadah puasa ditutup dengan halal bi halal (saling memberi kehalalan atas


Terkait