Oleh Zamzami
--Manusia merupakan “puncak” ciptaan Allah SWT. Ungkapan ini seringkali disalahpahami oleh banyak orang, karena terkesan “meremehkan” kekuasaan Allah SWT. Artinya, ungkapan itu seolah-olah memberikan pengertian bahwa kekuasaan Allah terbatas pada penciptaan makhluk yang bernama “manusia”.<>
Kasusnya sama ketika orang menanggapi pandangan seorang filosof Muslim, Ibnu Rusydi, tentang ketiadaan jasad di alam akhirat nanti. Bagi Ibnu Rusydi, akhirat berarti sebuah masa dan tempat di mana manusia berhadapan langsung dengan Sang Pencipta. Ini karena menurutnya, alam ke-Tuhanan sangat jauh dari hal-hal yang bersifat material.
Karenanya, jasad manusia ditinggalkan di bumi ini. Oleh sebagian orang cara pandang ini disalahpahami sebagai sikap ketidakpercayaan akan kekuasaan Allah yang mampu membangkitkan kembali manusia yang telah mati. Bukan seperti itu sesungguhnya yang dimaksud Ibnu Rusydi. Ia hanya meyakini bahwa akhirat merupakan alam ruhaniyah yang jauh dari benda-benda material. Ini menurutnya yang dikehendaki Allah dengan alam akhirat; bukan berarti Ia tidak mampu membangkitkan jasad yang telah mati.
Ungkapan bahwa manusia merupakan “puncak” ciptaan Allah bukan berarti bahwa Allah tidak mampu menciptakan makhluk yang lebih baik dari manusia. Akan tetapi, sebatas pengetahuan kita –sebagaimana juga ditegaskan oleh al-Qur’an sendiri-- relaitas kehidupan di dunia ini didominasi oleh manusia. Ia adalah satu-satunya makhluk Allah yang diberi mandat untuk mengatur kehidupan di bumi sebagai khalîfah. (QS. al-Baqarah [2]:30).
Bahkan alam semesta ini sengaja diciptakan oleh Allah untuk manusia. (QS. al-Baqarah [2]:29). Oleh sebab itulah Allah menegaskan bahwa “Sesungguhnya Kami telah menjadikan manusia dalam sebaik-baik bentuk” (QS. ath-Thîn [95]:4). Oleh sebab itu, mengatakan manusia sebagai cipataan terbaik Allah pada dasarnya merupakan ungkapan keterbatasan akan pengetahuan kita dan itu semata-mata mempertegasa dan membuktikan apa yang difirmankan oleh Allah dalam ayat tersebut; atau bukan ungkapan justifikasi keterbatasan kekuasaan Allah.
Ibarat piramida, manusia merupakan makhluk pendatang baru di kehidupan dunia setelah Allah menciptakan bumi dan langit serta segala perlengkapannya. Tapi, meskipun menjadi pendatang baru dalam piramida ciptaan Allah, manusia berada pada lapisan teratas yang mengungguli makhluk-makhluk lainnya.
Namun demikian, predikat manusia sebagai makhluk terbaik tidak menjadi harga mati. Sebab, ia hanya bisa mencapai derakat makhluk termulia itu jika saja memenuhi dua syarat, yaitu: 1) beriman kepada Allah; dan 2) mengerjakan kebaikan (amal shaleh). Jika tidak memenuhi syarat ini, maka manusia akan menjadi makhluk terendah (QS. ath-Thîn [95]: 5-6).
Manusia merupakan makhluk unik yang bisa naik derajatnya melebihi malaikat, tetapi juga bisa turun pada posisi yang serendah-rendahnya (asfal sâfilîn). Keunggulan manusia dibanding malaikat ini mengingat bahwa ia oleh Allah diberi potensi untuk berbuat durhaka atau fasik yang dalam bahasa al-Qur’an disebut fujûr, selain naluri untuk selalu condong kepada kebenaran yang sesungguhnya (taqwâ).
Dalam al-Qur’an disebutkan: “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan/potensi) kefasikan dan ketakwaannya” (QS. asy-Syams [91]:8). Dari pengertian ini, dapat dipahami bahwa implementasi ketaatan manusia kepada Allah merupakan bentuk kemenangan potensi taqwâ-nya atas fujûr-nya. Ini juga berarti bahwa ia telah mampu mengendalikan dorongan hawa nafsunya yang memberi jalan pada berbagai bentuk kemunkaran. Sebangkan malaikat merupakan makhluk yang taat kepada Allah, karena memang tidak diberikan hawa nafsu untuknya, sehingga ketaatannya sesunggunya lebih merupakan karakter dasar, tabiat, atau “instink” semata-mata; bukan hasil pertarungan antara potensi taqwâ dan fujûr.
Sebaliknya, jika manusia terjerumus pada jalan kemunkaran dan kenistaan berarti ia telah mengesampingkan potensi taqwâ-nya dan mengikuti fujûr-nya. Pada posisi ini ia dinilai lebih rendah dari binatang sekalipun. Sebab, binatang sejahat dan sebodoh apapun, itu karena memang Allah tidak menganugerahinya akal pikiran dan perasaan emosional. Sedangkan manusia diberi lebih dari itu.
Puasa yang diwajibkan setiap setahun sekali di bulan Ramadhan pada dasarnya bertujuan mempertahankan posisi manusia sebagai makhluk terbaik. Sebagai makhluk terbaik ia selalu berada di jalan yang diridhai Allah. Inilah yang disebut takwa yang secara definitif umumnya dipahami sebagai sikap untuk selalu menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Puasa tidak sebatas ritual keagamaan yang dilakukan dalam rangka mencari “pahala”, tetapi menjadi sebuah bentuk pelatihan mental dan examinasi bagi jiwa manusia untuk selalu berkecenderungan baik. Dengan proses semacam ini, manusia dituntut untuk mampu mengendalikan hawa nafsunya.
Karena itu, puasa pada hakekatnya mengandung dimensi tauhid yang amat dalam, di mana manusia dituntut untuk mampu mendekatkan ruhaninya kepada Allah sebagai makhluk yang bertakwa. Inilah esensi ajaran peng-Esaan (tauhid) Allah, yang menghindarkan manusia dari unsur-unsur kemusyrikan atau orientasi hidup kepada selain Allah; sebuah dosa terbesar yang tidak terampuni oleh Allah.
Puasa di bulan Ramadhan berfungsi sebagai peringatan dan pemberi jalan bagi manusia untuk kembali pada kondisi promordialnya yang amat akrab dengan alam ke-Tuhan-an (Ilâhiyah). Puasa hanya bisa bisa dipahami dalam kerangka pembersihan diri manusia dari unsur-unsur kemusyrikan yang merupakan akibat dari godaan-godaan material yang dihadapi manusia dalam kehidupannya. Melalui ibdah puasa, manusia dituntut untuk mengarungi alam ruhaniahnya sehingga mampu berkomunikasi langsung dengan Allah, tanpa perantara. Kalau kita lihat bentuk ritual ibadah puasa, maka hal itu disimbolkan dengan tidak diketahuinya kualitas puasa seseorang kecuali oleh dirinya dengan Allah semata-mata. Ini yang membedakan puasa dengan ibadah-ibadag lainnya. Itulah sebabnya dalam sebuah hadits qudsi dinyatakan bahwa Allah berfirman: “…sesungguhnya puasa itu milikku, dan Aku sendiri yang akan membalasanya.”
Firman Allah tersebut selain menunjukkan betapa tingginya nilai ibadah puasa, juga memberi pesan bahwa puasa merupakan media komunikasi langsung (“direct communication”) antara kita dengan Allah. Puasa merupakan media di mana kita benar-benar mengorientasikan seluruh gerak-gerik kehidupan kita kepada Allah semata-mata.
Mudah-mudahan bulan Ramadhan yang sangat lekat dengan nuansa-nuansa religius ini mampu menggugah kita untuk kembali pada fitrah kemanusiaan, kesadaran primordial kita sebagai makhluk yang hanîf, yakni condong kepada kebenaran dan alam Ilâhiyyah. Amin.
Zamzami, Dosen STAINU Jakarta, Sekretaris LP Ma’arif PBNU