Opini

Politik Layak Buat Anak Muda?

Rabu, 13 Desember 2017 | 06:01 WIB

Politik Layak Buat Anak Muda?

Ilustrasi politik (Peter Schrank).

Oleh Sayfa Auliya Achidsti

Surveipolitik sudah mulai ramai belakangan ini. Menariknya, umumnya survei memasukkan komponen persepsi kelompok muda mengenaiperkembangan politik, baik pendapat tentang kinerja pemerintahan, harapan, hingga kapasitas pemimpin muda sendiri.Wajar, kelompok usia muda sangatpotensial dari sisi jumlah.

Pasca Reformasi dengan perubahan aturan dan tradisi politik, kelompok usia 17-30 tahun dianggap kantong suara strategis. Sifat mereka pragmatis,konsumtif tren isu dan informasi, berpreferensi dinamis, dan minim pengetahuan politik. Ini membuat mereka jadi “bancakan” politik.

Proporsi pemilih mudaIndonesia (penduduk usia 17-30) mencapai 24,5 persen, sedangkan potensi politisi muda (21-30 tahun) 17,5 persendari populasi (sensus BPS). Dengan jumlah tersebut, muncul dua pertanyaan. Pertama, apakah demografi ini sudah layak diwakilkan dengan terpilihnya politisi muda itu sendiri? Kedua, lebih mendasar, bagaimana sebenarnya kelompok usia muda dilihat dan diposisikan dalam perpolitikan Indonesia? 

Dua pertanyaan itu penting dijawab bukan untuk mendikotomi politisi muda dan tua. Namun, besarnya kontituen dan kuatnya pengaruhkarakteristik kelompok muda nyatanya mempengaruhi langsungproses politik nasional.

Swing voters

Bagaimana merekadilihat laludiposisikan dalamekosistem politik Indonesia agaknya perlu lebih dulu dijawab, supaya pertanyaan pertama dapat ditimbang lebih bijak. Pilkada DKI Jakarta yang lalu bisa jadi ilustrasi.

Pemilih muda diperebutkan sebagai 29 persen potensi konstituen. Artinya, hampir sepertiga upaya kampanye (seharusnya) mempertimbangkan keterwakilan isu kepemudaan. Alih-alih merangkai program kepemudaan secara substantif, pemilih usia muda lebih dianggap sebagai swing voters (berkemungkinan berubah-ubah pilihan) dan floating mass (massa mengambang).

Hal itu tampak dari tidak adanyatawaran program segmentatif usia muda.Kesimpulannya, merayu swing voters cukup “mudah”, tidak harus kampanye serius menawarkan program kepemudaan untuk mengumpulkan dukungan rasional. Bisa lewat cara lain, yaitu suguhan informasi sensasionalyangmenjatuhkan musuh politik (Robinson dan Torvik, 2009). Mereka tidak dilihat esensinya (usia dan segmen isu), melainkan kelemahannya (berubah dan mengambang).

Kampanye politik via online akhirnya dijadikan metode penting, melalui penyebaran isu dan informasi viral. Ongkos “lebih murah”, karena berita cepat menyebar. Bagaimana tidak? Jakarta adalah kota terbesar kedua pengguna Facebook dunia. Sedangkan, Indonesia adalah urutan empat dunia (data We Are Social dan Hootsuite, 2017) dengan 85 persen pengguna aktifnya usia 18-34 tahun (data Facebook Insight, 2014).

Sosial-media tersebut menjadi instrumen penyebaran informasi terefektif dalam dunia digital hari ini. Imbasnya bisa ditebak, penyebaran materi politik via online dalam kondisi minimnyainformasi dan keterhubungan riil antara politisi dan pemilih (less political engagement) membuat isu bergulir bak bola salju: membesar dan tidak terkontrol.

Panasnya politik membuahkan isu SARA sebagai ekses destruktif. Pilkada DKI Jakarta yang hanya puncak dari fenomena gunung es di Indonesia membuat semua resah, hingga KPU dan Bawaslu mulai mengkaji aturan larangan penggunaan isu SARA mulai Pilkada 2018 nanti.

Semua yang dijelaskan di atas menjadiparadoks tentang pemuda di Indonesia. Besar dalam jumlah (suara) dan pengaruh (keaktifan penyebaran informasi) tetapi tidak menentukan. Masyarakat pernah dibuat gaduh ketika pada akhir 2011sebuah lembaga survei nasional merilis persepsi tentang politisi muda.

Hasilnya, hanya seperempat responden menganggap baik kualitas politisi muda. Politisi tua (senior) masih dianggap lebih baik. Terlepas dari perang komentarnya, yang jelas, mengapa begitu minim stok politisi muda di Indonesia? Tentu kita khawatir jika segelintir politisi muda yang kebetulan berkasus hukum itu jadi wajah dari karakter politisi muda.

Kebutuhan keterwakilan

Inter-Parliamentary Union (2016)mencatat Indonesia di peringkat ke-33 dari 126 negara (setara Malta) untuk proporsi anggota parlemen berusia di bawah 30 tahun (2,9 persen) dan peringkat ke-51 untuk proporsi di bawah 40 tahun (17,9 persen).Tentu sangat jomplangdengan24,5 persen populasi 17-30 tahundan 40,4 persen populasi 17-40 tahun secara nasional.

Mari kita lihat pemerintahan daerah. Kemendagri menetapkan daerah berkinerja terbaik tahun 2014, terdiri dari 3 provinsi dan20 kabupaten/kota (Kepmendagri No. 800-35/2016). Dari daftar itu, pimpinan daerah berusia di bawah 45 tahun hanya Bupati Bintan (37 tahun) dan Walikota Semarang (43 tahun). Sementara,hanya Gubernur Jawa Tengah (46 tahun) dan Gubernur Jawa Barat (48 tahun) yang berusia di bawah 50 tahun.

Di sisi lain, di Indonesia mulai bermunculan sentra perekonomian yang mayoritas diinisiasi dan dijalankan kelompok usia muda. Sektor ekonomi kreatif (utamanya berbasis IT dan pariwisata) telah terbukti menampilkan percepatan ekonomi baik dari kesempatan kerja, memotong hambatan transaksi, peningkatan iklim kompetisi usaha, dan interkoneksi produksi.

Perubahan jaman yang serba cepat ini mensyaratkan responsivitas kebijakan yang tinggi dan adaptatif. Dengan ini, makna kelompok muda akhirnya bukan lagi hanya berdasar usia, melainkan karakteristik: yang inovatif, dinamis, tanpa batasan konvensional (borderless), dan penekanan hasil (output-based). 

Pertanyaan di awal, apakah demografi muda sudah layak diwakilkan pada politisi muda? Dengan kondisi demografi, isu, dan kebutuhan jaman, jawabannya adalah ya. Namun, apakah sudah saatnya? Jomplangnyaketerwakilan dilegislatif dan eksekutif adalah fakta gap struktural. Proses politik yang masih mempertontonkan kelompok muda sebagai “anak bawang” akan cenderung terus meregenerasi objektivikasi: bukan sebagai subjek, apalagi aktor (pemain). 

Lalu bagaimana memotong siklus tradisi politik semacam ini? Kita tidak bisa berharap status quo berubah dengan sendirinya. Mahatma Gandhi pernah berkata, “We must become the change we want to see”. Artinya, kelompok usia muda punya pekerjaan rumah (PR) dalam membentuk kesadaran bahwa mereka adalah potensi sekaligus kebutuhan politik.

Berikutnya, perguruan tinggi perlu kembali menyadari bahwa peran utamanya adalah pendidikan, penelitian, dan pengabdian yang tidak gagap problem riil masyarakat. Mereka bukan hanya memproduksi lulusan terampil, melainkan juga individu yang mampu menghargai dirinya, masyarakat, dan negaranya.

Penulis adalah Ketua Riset Lembaga Penyluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) NU DI Yogyakarta, Dosen FISIP UNS Surakarta.


Terkait