Opini

Pesantren sebagai Solusi Pendidikan di Era Global

Selasa, 18 Oktober 2016 | 06:13 WIB

Pesantren sebagai Solusi Pendidikan di Era Global

Foto: ilustrasi

Oleh Wiwin Herawati

Pendidikan merupakan salah satu sistem untuk memajukan Negara dalam integritas dunia dan membangun moral suatu bangsa. Sebagai salah satu Negara berkembang yang sangat kental dengan pendidikan berbasis kepesantrenan, maka perlu upaya mengggugah seluruh anak bangsa dengan sistem kepesantrenan. 

Dilihat dari beberapa latar belakang di Indonesia, banyak sisi miring pendidikan yang tidak memiliki basis kepesantrenan, seperti waktu, biaya, moral, anggaran pendidikan, sosial, pergaulan sesama, dan sebagainya. 

Masing-masing faktor masih jauh di bawah angka kemajuan pendidikan di Indonesia yang rata rata memiliki 64 persen (Kompas, 2/10/2016). Sehingga perlu upaya maksimal agar pendidikan di Indonesia lebih tertata rapi dan efisien menuju peran anak bangsa yang lebih baik. Bagaimana caranya? Ya, Pesantren jawabannya. 

Sistem pendidikan pesantren memiliki banyak peluang dan kesempatan yang lebih bagi anak bangsa karena kegiatan didalamnya banyak sekali hal-hal positif dibanding sekolah biasa pada umumnya. Berbagai aktivitas dan peraturan yang tersusun secara kompleks dan efisien menunjukkan bahwa sesungguhnya Indonesia dapat menjangkau nilai-nilai moral dan integritas yang memadai. 

Seperti pengajian Al-Qur’an, pengajian kitab, ekstrakulikuler, sekolah berjenjang, kompetisi antar-madrasah, pertukaran pelajar, dan masih banyak lagi. Jika diisi dengan banyak kegiatan positif tersebut, waktu yang tersisa tidaklah sia-sia. Namun apakah semua ini dapat menggugah anak bangsa dengan waktu yang teramat sibuk 24 jam? Bukankah pendidikan di Indonesia juga masih banyak pembaharuan yang harus dilakukan?

Data UNESCO menunjukkan bahwa di bidang pendidikan, pengembangan manusia Indonesia makin menurun dari tahun ke tahun. Indonesia menempati urutan ke-102 (1996 ), ke-99 (1997), ke-105 (1998 ), ke-109 (1999 ) dari 174 negara yang ada di dunia. Hingga pada tahun 2016 ini Indonesia berada pada urutan ke-125 dari 180 negara yang ada di dunia (Kompas, 2/10/2016). 

Hal ini menunjukkan bahwa  Indonesia masih jauh di bawah angka keterbelakangan dan kemiskinan. Karena pada dasarnya pendidikan rendah berawal dari sisi ekonomi yang rendah pula. Sehingga faktor kemiskinan perlu diberantas terlebih dahulu. Namun bukan berarti dengan sistem pendidikan berbasis kepesantrenan, Indonesia perlu biaya yang cukup menggiur lidah karena kebanyakan pesantren tidak lebih dari ekonomi rata-rata rakyat Indonesia. 

Hanya saja biaya keseharian pesantren yang memang membutuhkan sedikit uang saku bagi santrinya. Namun semua itu tergantung penggunaan masing-masing sesuai kebutuhan, karena tidak semua fasilitas dan biaya ditanggung oleh pesantren. Sehingga secara tidak langsung upaya hemat terlaksanakan oleh semua santri. 

Bukti lain dari data yang dilaporkan oleh The World Economic Forum Swedia (2000), mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki daya saing yang terbilang rendah yaitu dengan hanya menempati urutan ke-37 dari 57 negara-negara yang telah disurvei. Bahkan Indonesia hanya berpredikat sebagai follower dalam hal pengembangan teknologi bukan sebagai pemimpin dari 53 negara yang ada di dunia (Kompas, 2/10/2016).

Dampak yang dirasakan oleh Negara kita dalam mutu pendidikan adalah ketertinggalan dalam info-info dunia yang perlu dibahas, baik pendidikan formal maupum nonformal. Keterbelakangan anak bangsa perlu diatasi dengan menyuguhkan dan membawa mereka ke dalam suatu sistem yang memang efektif dan efisien. 

Artinya, tidak terlalu banyak waktu kosong yang terbuang seperti pendidkan formal yang tidak berasrama sehingga pemantauan terhadap anak bangsa tidak terkontrol, walaupun sebagian telah dipantau oleh orangtua masing-masing. Hasilnya pun kurang maksimal dan memuaskan jika diihat dari dampaknya. 

Kembali ke pendidikan kepesantrenan. Sudah terlihat jelas bahwa dampak dari pendidikan tanpa didasarkan pantauan-pantauan ekstra dari berbagai pihak orang tua, guru, maupun pengasuh pesantren yang memiliki keunggulan hingga internasional, tidaklah semuanya berdampak hebat. 

Ilmu-ilmu yang didapat pun belum terbawa oleh semuanya, sehingga hanya fokus pada satu ilmu yaitu ilmu umum. Padahal jika ilmu umum dan agama diakumulasikan maka akan menghasilkan satu moral yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis di mana satu dan lainnya saling melengkapi. Alhasil Indonesia masih menjadi pupuk dalam standar pendidikan dunia. 

Pesantren menyediakan fasilitas memadai dan lengkap seperti sekolah-sekolah pada umumnya. Namun bedanya, pesantren lebih mementingkan kegunaan yang benar-benar dibutuhkan daripada penggunaan yang maksimal. Maksudnya, dikhawatirkan santri terlena pada fasilitas yang ada, sehingga tidak hanya menggantungkan fasilitas sarana dan prasarana yang tersedia.  Di sisi lain, ekstrakurikuler seperti sekolah pada umumnya, seperti Karya Ilmiah Remaja (KIR), Tata Boga, Pencak Silat, Basket, Voli, Pramuka, dan tambahan-tambahan keterampilan lain seperti Hadroh, Qiroah, Nasyid, Kitab Kuning, Kaligrafi, dan berbagai keterampilan lainnya. 

Kompetisi pun tidak kalah hebat dari lembaga pendidikan lainnya. Misalnya pertukaran pelajar Asia-Afrika, Pencanangan Budaya Nasional Menulis Mushaf Al-Qur’an, 30 Jus MHQ Internasional, Pospenas (Pekan Olahraga Santri antar Pondok Pesantren Nasional), dan lain-lain. Semua itu berdasarkan pencapain maksimal belajar dan mengaji  selama di pesantren. 

Berdasarkan penjabaran diatas, dapat disimpulkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih butuh pembaharuan maksimal. Upaya-upaya diatas memungkinkan kita berlanjut kepada salah satu piihan supaya lebih maju atau Indonesia hanya akan menjadi pupuk bawang dalam diskusi Internasional ke depannya.***

Penulis adalah Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Arab Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran, Yogyakarta.


Terkait