Opini

Pesantren Dan Respon Terhadap Krisis Kebangsaan

Kamis, 1 November 2007 | 07:48 WIB

Oleh : Addin Jauharudin

Pendahuluan

Munculnya isu kebangsaan saat ini sebenarnya tidak lebih dari reaksi terhadap mencuatnya problem-problem kebangsaaan saat ini, belum didasari atas faktor refleksi dan kesadaran yang muncul secara bersamaan, seperti persoalan Hak Atas kekayaan Intelektual (Intellectual Property Right) yang mulai dipersengketakan dengan Malaysia, hilangnya pulau-pulau terluar, mencuatnya etno-nasionalisme lokal, isu kedaulatan NKRI dengan banyaknya konflik yang berkepanjangan dan munculnya gerakan separatis lokal di tiga wilayah Indonesia; Papua, Maluku dan Aceh. Terlepas dari faktor reaksi, menghangatnya kembali isu kebangsaan adalah wujud dari kesadaran akan pentingnya memikirkan kembali arah perjuangan bangsa ini yang belum pernah selesai. Para pendiri negara ini mengamanatkan kita untuk mengatur dan mengelola bangsa dan negara ini secara benar, hal ini bisa dilihat dalam butir Undang-Undang Dasar 1945, seperti; alokasi anggaran pendidikan sebesar 20%, pengelolaan ekonomi yang dikelola oleh negara dan digunakan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakat Indonesia, pengentasan kemiskinan, dan tanggung jawab negara terhadap anak-anak yang putus sekolah. 

<>

Selain faktor-faktor diatas, ada beberapa persoalan-persoalan krusial yang menghadang kita, seperti; amandemen UUD ‘45 yang telah dilakukan sampai 5 tahapan dan dibukanya peluang calon independen dalam pemilihan kepala daerah di seluruh Indonesia sedikit banyak telah menimbulkan polemik dan berimplikasi pada kehidupan masyarakat luas.

Persoalan-persoalan diatas tersebut telah membangkitkan semangat kebangsaan kita. 62 tahun Indonesia merdeka ternyata belum membuat kita dewasa, kuat, tangguh dan maju. Kemajuan-kemajuan yang pernah dibangun pada masa Orde Baru, ternyata menjadi bom waktu yang hampir meledak secara bersamaan yang justru disaat bangsa ini sedang berbenah untuk melakukan rekonsiliasi dan perubahan disemua lini dan memerlukan kepemimpinan yang tegas, berwibawa dan visioner.  

Belum lagi bangsa ini menghadapi kenyataan-kenyataan lokal dan nasional, kini kita disibukan kembali dengan berkembangnya ideoligi trans-nasional, baik itu ideologi trans-nasional yang berbau agama, kebudayaan maupun ekonomi. Sedikit penulis akan membedah masalah ini ; Pertama, ideologi  trans-nasional yang berbau agama ini dapat dilihat dari merebaknya isu Pan Islamisme dengan mengusung tema Khilafah Islamiyah yang pada hari munggu 12 Agustus yang lalu, organisasi Hizbuttahrir Indonesia (HTI) pengusung ideologi ini mengadakan Konferensi Khilafah Internasional di Istora Senayan, pelaksanaan konferensi tersebut juga memunculkan reaksi dari beberapa kelompok umat Islam salah satunya adalah PBNU yang mewanti-wanti merebaknya ideologi trans-nasional. Pada sisi lain merebaknya liberalisasi agama yang telah meresahkan dan memunculkan polemik, sebatas pemikiran dan gagasan mungkin dihargai sebagai bentuk pencerahan tetapi ketika menjadi praktek agama, itu yang di pertentangkan karena telah mendobrak kemapanan dalam beragama selama ini.

Kedua, Ideologi trans-nasional kebudayaan adalah merebaknya budaya kosmopolitan hingga kepelosok desa sehingga telah merubah cara berfikir dan berprilaku masyarakat desa menjadi semakin konsumtif, instan dan tidak lagi menghargai dan melesatarikan khazanah kebudayaan lokal, terlebih ideologi ini disebarkan melalui jaringan media nasional dan lokal.
Ketiga, ideologi trans-nasional dalam bidang ekonomi adalah adanya praktek ekonomi liberal yang menggunakan rezim pasar bebas, sehingga menuai kebangkrutan ekonomi lokal dan nasional, maraknya perang dagang antar negara dan praktek dumping adalah bukti terjadinya proses kehancuran ekonomi lokal yang  pada sisi lain pemerintah pun tidak cepat tanggap dalam mengatasi persoalan ini.

Ideologi-ideologi diatas tersebut seakan menjadi satu menggempur sendi-sendi kesatuan bangsa ini, akankah bangsa ini hanya menjadi transit bagi ideologi-ideologi tersebut? Ataukah memang menjadi tujuan dengan melihat geo-politik-ekonomi Indonesia yang begitu strategis?   

Pesantren dan Pergulatan Isu Kebangsaan

Pesantren adalah lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Tujuan pesantren didirikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan agama, meskipun saat ini beragam model pendidikan pesantren tetapi pada intinya adalah memperkuat pemikiran dan akhlak para santri lebih dari sekedar sekolah agar kedepan dapat menjadi orang yang berguna dan berakhlak mulia. Dalam perjalanannya pesantren bukan hanya menjadi lembaga pendidikan an sich tetapi sudah menjadi komunitas dan gerakan kultural, semua problem yang terjadi pada masyarakat sekitar pesantren baik itu persoalan agama, sosial, budaya, ekonomi bahkan juga politik terkadang pesantren menjadi titik tengah penyelesaian masalah-masalah tersebut.    
   
Secara historis, pesantren adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari perjalanan bangsa ini, dengan terus bertambahnya jumlah pesantren, maka selama itu pula pesantren terus berproduksi dan berkontribusi dalam pembangunan bangsa, tentunya pergeseran-pergeseran paradigma pesantren akan disesuaikan dengan kemajuan jaman. Penulis menyimpulkan bahwa ketahanan budaya lokal bisa bertahan, karena salah satunya adalah adanya peranan pesantren. Maka sangat kehilangan kontek historisnya, apabila pesantren-pesantren hanya menjadi menara gading dan terasing dari kehidupan warga sekitarnya.

Pesantren sudah lama di kenal sebagai sendi keagamaan dan kebangsaan. Dalam kontek keagamaan, pesantren adalah lembaga pendidikan yang mempu menjembatani generasi pendahulu Islam dan generasi muda sekarang, tanpa keberadaannya maka kontek dan warna Islam Indonesia tidak akan menemukan bentuknya seperti saat sekarang ini, meskipun bentuk dan rupa pendidikan pesantren saat ini sudah mengalami berbagai perubahan bentuk yang sebagian malah tidak lebih seperti sekolah elit, umum yang berasrama. Dalam kontek sebagai sendi kebangsaan, pesantren adalah lembaga pendidikan yang sudah lebih dahulu berdiri dibanding sekolah formal. Bentuknya yang sudah menjadi komunitas membuat pesantren lebih mudah untuk mengorganisir para santri dan masyarakat sekitar pesantren dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Tinggal persoalannya adalah, apakah pesantren selama ini hanya menjadi objek dari skema besar isu kebangsaan? atau menjadi subjek dan penentu skema kebangsaan Indonesia ? persoalan inilah yang harus penulis bedah, agar sekiranya pesantren semakin sadar dengan potensinya yang besar baik secara kuantitas maupun kualitas.       

Pada masa Orde Baru, tidak banyak sentuhan negara terhadap pemberdayaan pondok pesantren, potensi kekuatan politiknya dilemahkan, campur tangan pemerintah hanya pada bidang ekonomi dengan cara memberdayaan koperasi pondok pesantren meskipun tidak secara sistematis dan menyeluruh. 
 
Persoalan isu kebangsaan yang direspon oleh kalangan pesantren sebetulnya bukan isu baru karena sudah banyak diulas, termasuk bagaimana komitmen itu diwujudkan dalam langkah yang lebih konkrit. Lihat saja, beberapa komitmen yang diperlihatkan oleh kalangan tokoh-tokoh pesantren yang bernaung dibawah Nahdlatul Ulama (NU), ketika isu legalisasi syariat yang diwujudkan dalam bentuk kemunculan perda-perda lokal, maka banyak respon yang bermunculan.

Salah satu langkah yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal kesatuan Bangsa dan Politik (Ditjen Kesbangpol Depdagri RI) adalah pelaksanaan roadshow kebangsaan yang pada tahap pertama dilaksanakan pada akhir tahun 2005 di 8 pesantren se-Jawa yaitu; pesantren Daarul Rahman Jakarta, Pesantren Mu’allimin Jogjakarta, pesantren Syaikhuna Kholil Bangkalan dll. Apakah efektif program kegiatan roadshow tersebut? Roaadshow tersebut cukup efektif dalam melakukan pendekatan antara pemerintah dan kalangan pesantren, meskipun kegiatan tersebut hanya bersifat informatif dan ajang komunikasi saja, karena belum mampu menggali esensi kebangsaan ala pesantren itu sendiri. Gerakan-gerakan kultural, sosial-keagamaan selama ini sudah menjadi concern pesantren, pesantren selama ini banyak mengapresiasi budaya dan khazanah lokal, tetapi dalam hal yang lebih luas, gerakan kebangsaan ini belum mampu mengajak partisipasi pesantren kearah yang lebih luas. Misalnya ; keterlibatan kalangan pesantren dalam merespon isu-isu terkini, pengurangan kemiskinan di wujudkan dengan keterlibatan pesantren dalam pengembangan ekonomi kerakyatan, respon pesantren terhadap HAM. Pesanren sejatinya menjadi fasilitator dan perekat antara kepentingan rakyat, negara dan kepentingan trans-nasional.

Ada beberapa argumentasi, kenapa pesantren menjadi perekat? Positioning pesantren yang mengakar di masyarakat, menyebabkan pesantren dipercaya menjadi otoritas pada persoalan keagamaan, otoritas ini dapat diperluas kembali pada ruang-ruang publik, bagaimana menjadi juru bicara kebudayaan lokal. Yang membuat mandegnya adalah minimnya opinion leader yang berfikir, bekerja dan berkarya untuk mengembangkan pesantren.

Tragesi 11 September 2001 adalah titik awal yang mencuatkan nama pesantren, meskipun dalam konotasi negatif, karena dicitrakan sebagai basis radikalisasi agama, terlepas dari opini yang dibangun oleh kalngan negara-negara barat, isu ini turut mendongkrak peranan pesantren, dan kalangan barat muali memetakan mana pesantren yang moderat, tradisional dan ekstrim. Dalam kenyataannya pemetaan ini tidak benar, pemetaan ini lebih didasarkan pada kebutuhan mengglobalnya proyek terorisme sehingga penghegemonian dan ekspansi kekuasaan politik-ekonomi AS akan semakin lebih cepat terhadap negara-negara dunia ke-tiga. Momentum ini juga mendorong posisi pesantren ketengah permainan yang pada awalnya hanya menjadi pinggiran yang hanya dilihat sebatas gerakan kultural dan komunitas lembaga pendidikan. Sayangnya skema permainan kalangan pesantren ini tidak disusun dalam platform bersama, mestinya ada yang diperjuangkan secara bersama-sama.

Merumuskan Isu Strategis dan Menentukan Positioning

Apa yang harus dirumuskan? Dan bagaimana positioning pesantren ? masalah ini harus dilihat secara keseluruhan, tidak bisa dilihat secara parsial. Apa yang dilakukan dan dikembangkan kalangan pesantren selama ini adalah hal yang benar, memperkuat kapasitas pendidikan sebagai fondasi dasar dalam membangun bangsa yang cerdas, bermartabat dan berperadaban. Akankah pondok pesantren terpaku pada pola pengembangan pendidikan yang selama ini sudah ada? Untuk melihat hal ini, kira penulis perlu menjelaskan beberapa hal ;

Pertama, secara politik pesantren sampai kapanpun akan tetap dilirik oleh kekuatan politik manapun, kekuatan massa arus bawah yang besar dan pengaruh nya yang besar akan memikat semua kekuatan politik yang ada di Indonesia, tetapi masalahnya apakah hanya akan menjadi objek kekuatan politik semata yang hanya akan dipakai menjelang momentum pemilu atau PILKADA dan setelah itu ditinggal lagi. Maka yang harus dilakukan adalah pesantren menjadi kekuatan politik kerakyatan dan kenegaraan, kekuatan politik kerakyatan adalah menginisiaasi dan memperkuat kekuatan politik ummat agar lebih cerdas dan kritis dalam melihat penyelewengan berbagai kebijakan yang ada disekelilingnya. Politik kenegaraan diartikan pesantren harus mampu merespon persoalan-persoalan besar kenegaraan yang sedang bermunculan, pengaruh pesantren yang besar tentu akan sedikit banyak didengar suaranya oleh masyarakat luas. Dalam kontek keterlibatan pesantren pada momentum politik sesaat, para tokoh pesantren harus menyiapkan pemimpin dibawahnya sehingga lembaga pendidikannya akan tetap berjalan dan tidak terganggu.

Kedua, Sosial-budaya, dalam ruang ini diharapkan tidak ada dikotomi antara tradisonal, konservatif, dan modernis. Yang membedakan pesantren dengan pendidikan umum lainnya adalah bahwa pesantren lahir, tumbuh dan berkembang dari kepentingan masyarakat. Adanya satu kesatuan antara kyai, lembaga pendidikan, santri dan guru-guru adalah menyiratkan betap pesantren harus mengembangkan hubungan yang saling menguatkan dan memberdayakan. Maka dalam kontek sosial-budaya inilah pesantren menjadi perekat komunikasi sosial, mengembangkan khazanah kekayaan lokal baik dari keseniannya, kebudayaannya, relasi sosial dan gerakan kulturalnya. Pesantren menjadi ujung tombak dalam mengekspresikan berbagai kekuatan lokal sehingga akan terus eksis dan diakui keberadaannya. Ketika pintu negara semakin terbuka dan terhegemoni oleh berbagai kekuatan luar, maka pesantren menjadi pintu seleksi bagi transaksi antar kebudayaan dan peradaban.

Ketiga, Ekonomi, Melalui pertumbuhan koperasi pondok pesantren yang cukup pesat, kiranya pesantren menjadi pijakan bagi tumbuh dan berkembangnya sektor-sektor riil yang ada di masyarakat. Persoalan yang mendasar dalam koperasi pesantren ini adalah manajerial, keuangan dan SDM. Manajerial yang kurang bagus,  manajemen keuangan yang buruk dan SDM yang kurang bagus adalah kunci lambatnya keberhasilan koperasi pondok pesantren (koppontren), mestinya dengan jumlahnya yang ribuan dapat menjadi potensi pasar tersendiri sehingga dapat memenuhi kebutuhan pesantren, padat karya dan padat modal dan lebih jauh dari itu bermain dalam skala nasional dan internasional.

Penutup

Kiranya, dari beberapa poin diatas cukup jelas, bahwa peranan pesantren dapat dimainkan dalam banyak hal. Krisis kebangsaan yang terjadi ditanah air adalah satu kesatuan dari berbagai krisis yang sudah muncul sebelumnya. Adanya krisis kepercayaan, ekonomi, politik dan budaya. Maka, apa yang dilakukan pesantren terhadap salah satu krisis tersebut adalah bagian dari penyelesaian problem kebangsaan.

*Ketua Umum PMPI (Perhimpunan Masyarakat Pesantren Indonesia) di Jakarta


Terkait