Opini

Pertobatan Hati

Rabu, 18 Oktober 2006 | 09:02 WIB

Prof. Dr. KH Said Aqiel Siradj

Tobat secara bahasa memiliki makna ”penyesalan atau kembali”. Dikatakan penyesalan, karena orang yang bertobat senantiasa menyesali atas kesalahan yang telah dilakukannya. Sedangkan makna ”kembali”, menunjukkan komitmen orang yang bertobat untuk kembali ke jalan yang digariskan Allah.

Konsep tobat dalam Islam sangat sentral. Ini tampak dari salah satu sifat Allah, yaitu Maha Bertobat (al-Tawwab). Kata ”tobat” digunakan Alquran sebanyak 53 kali. Dalam dunia kesufian, tobat merupakan pintu gerbang maqam (tahapan spiritual) yang harus dilalui pendaki spiritual seperti maqam wara’, zuhud, faqar, sabar, tawakal dan ridha.

<>

Seseorang harus melalui tahapan tobat, sebelum meneruskan tahapan berikut. Jelasnya, kalau orang mengaku sudah sabar, tetapi tak pernah melakukan pertobatan secara benar, maka dia belum dikatakan mencapai maqam yang lebih tinggi. Jadi, tobat sesungguhnya merupakan tahapan spiritual yang sangat penting dalam kerangka pencapaian derajat kedirian yang paripurna.

Esensi tobat terletak pada komitmen batin seseorang untuk tetap berada di jalan kebaikan dan kebenaran. Islam mengenal dua kesalahan, yaitu kesalahan kepada Allah (haqqullah) dan kesalahan kepada sesama manusia (haqqul adamiyin). Untuk kesalahan kepada Allah, Islam menyediakan institusi pertobatan seperti istigfar, berwudu, dan ibadah murni (mahdhah) lainnya.

Bahkan, memberikan nafkah kepada istri dihitung sebagai sarana bertobat kepada Allah. Tegaslah bahwa kesalahan kepada Allah hanya dapat diampuni Allah sebagai empunya hak prerogatif, bukan minta ampunan kepada institusi lainnya semisal Mahkamah Agung atau MUI. Bukanlah hak manusia untuk menghukumi kesalahan kepada Allah, melainkan Allah sendiri seperti sikap kufur.

Di sini dapat dipahami sabda nabi Muhammad: ”Siapa yang menganggap kafir terhadap seorang muslim berarti ia sendiri yang kafir”. Manusia beserta institusi yang dibangunnya, sekalipun menggunakan label Islam, tidak berhak mengangkat dirinya sebagai ”Tuhan kecil”, dengan menghukum kesalahan seseorang yang bertalian dengan hak Allah.

Sedangkan kesalahan yang berkait dengan hak manusia, Islam melegitimasi penyelesaian berdasarkan ”hukum interaksi” sesama manusia melalui pintu saling memaafkan. Tidak ada institusi pun yang berhak menghapus kesalahan antarmanusia, selain ampunan dari orang yang telah disakiti, dizalimi, ditipu, digusur, diperkosa, dijarah, dan lainnya. Seorang sufi, Abul Hassan al- Nuri, menegaskan bahwa bertobat hendaknya manusia kembali dari semua artikulasi selain Allah menuju hanya kepada Allah, sehingga yang terlintas hanyalah Allah semata.

Sebab itu, seseorang setelah mampu kembali ke jalan lurus, setelah ia mampu membersihkan hatinya, selanjutnya ia akan menceburkan dirinya dalam realitas sosial dengan penuh iman, sembari terus berpegang pada prinsip-prinsip ketuhanan sebagai kontrol dirinya. Seorang yang mampu mencapai pertobatan tersebut berarti akan memandang kehidupan dan alam semesta dengan kaca mata ilahi. Inilah yang disebut sebagai ”taubatan nasuha” atau pertobatan sejati.

Walhasil, pertobatan merupakan sarana sterilisasi manusia atas segala kesalahan. Pertobatan berfungsi sebagai upaya menyucikan diri (tazkiyah al-nafs) serta memoles dirinya (tashwiyah al-qalb). Jika begitu, bagi manusia seburuk apapun kesalahan yang dia lakukan tetap disediakan pintu pertobatan.

Dalam istilah kesufian, dinyatakan bahwa manusia harus memiliki rasa takut (khauf) sekaligus juga rasa pengharapan atas rahmat Allah (raja’). Nah, dari sinilah kita menjadi sadar mengapa Islam mewajibkan berpuasa selama sebulan penuh. Tentu, puasa sebagai lahan untuk refleksi diri dengan pertobatan dalam rangka membangun kedirian yang bersih dan senantiasa terjaga, sehingga aktivitas ke depan akan menjadi lebih baik, menggapai kesadaran terhadap nilainilai keilahian dan kepedulian terhadap sesama manusia.(*)

Ketua PBNU  


Terkait