Opini

Perempuan NU Desa Tegalgubung Cermin Khadijah Masa Kini

Kamis, 5 Juni 2014 | 03:01 WIB

Oleh Mukti Ali

-- Hari sudah gelap. Jarum jam menunjukkan pukul 19.30 WIB, saya berkunjung ke Pasar Sandang Tegalgubug Cirebon seluas 30 Hektar lebih yang lokasinya terletak di sisi jalur utara Pantura penghubung Jakarta dan Jawa Tenga yang dianggap strategis bagi para pelanggan dan pembisnis textil dan pakaian. Semenjak tahun 90-an, Pasar ini hidup di malam hari Sabtu sampai sore Sabtu dan malam hari Selasa sampai sore Selasa.<> Yang sebelumnya, sejak berdiri 1914 sampai tahun 1980-an, hanya hidup di hari Sabtu dari pagi sampai sore. Pasar ini terbagi menjadi tiga kelas, yaitu Kelemprakan seperti barang dagangan dijajakan di atas bale sederhana yang terbuat dari kayu, Los sejenis bangunan tembok setengah badan, dan kios sejenis bangunan penuh seperti toko. Ketiga kelas ini mencerminkan bahwa pasar telah mengakomodasi dari berbagai kemampuan para pedagang secara ekonomi: pedagang yang bermodal pas-pasan berdagang di kelas Kelemprakan, pedagang yang bermodal menengah berdagang di Los dan pedagang yang bermodal tinggi atau mapan berada di Kios. Dari pintu gerbang Pasar, saya melihat kesibukan ibu-ibu dalam berdagang, ada yang sedang memegang mesin Kalkulator, ada yang sedang memotong kain dengan gunting, ada yang meteri, dan ada yang merapikan baju-baju dagangan.

Secara sosiologis, mayoritas  warga Tegalgubug Cirebon adalah Muslim berbasis tradisi NU. Ini tercermin dalam kehidupan sehari-hari dengan ciri yang khas: kaum laki-laki mengenakan sarung dan berkopiah hitam/putih, perempuan berkerudung dan tapih (kain panjang). Belakangan, baik karena mode atau unsur kepraktisan, perempuan menggunakan jilbab dan baju long dress atau biasa disebut gamis.

Gaya hidup dan pemahaman keagamaan masyarakat Tegalgubug tergolong tradisional. Segenap persoalan dirujukkan pada literatur kitab kuning dan ulama sebagai panutan atau marja’ al-dini-nya (rujukan keagamaan). Namun dalam hal duniawi mereka adalah pedagang tulen yang menghitung laba rugi dan jaringan. Pusat ekonomi warga digerakkan oleh adanya Pasar Sandang itu. Sebagian besar warga terlibat dalam ekonomi pasar menjalankan ekonomi secara dinamis dan adaptif dengan dunia perekonomian moderen, seperti nggunakan Bank, Giro, kartu credit dan cek dalam bertransaksi. Meski begitu, dalam prilaku sehari-hari mereka tak berubah: mereka adalah warga santri dengan ciri-ciri yang khas, terutama dari pakaiannya itu. Keluar-masuk bank, berdagang, bertransaksi dengan cukong, bos pabrik textil, mereka tetap dengan menggunakan pakaian tradisional sebagai identitas kesantriannya. Demikian halnya dengan kaum perempuannya. Tak sedikit di antara mereka adalah manager di pasar dengan omset ratusan juta rupiah, sekaligus ibu rumah tangga.

Sebagai warga santri, tentu saja mereka mengalami dilema teologis/fiqh terkait siapa yang dianggap pemimpin. Namun hukum ekonomi mengajarkan kepada mereka tentang cara-cara berbisnis yang menggunakan persuasi dan taktik. Ibu saya pernah mengatakan—dan suarah ibu mewakili suara mereka para pedagang, yang berbunyi “Kapa wong wadon sing ning arep dagangane payu/laris, tapi kapa lanang sing ning arep ora patian payu” (Kalau seorang perempuan yang berada di depan maka dagangannya laku/laris. Tapi kalau laki-laki yang ada di depan kurang begitu laku). Ini artinya kurang lebih, jika perempuan yang  berjualan (di depan) pasti akan lebih laris dibandingkan lelaki. Ungkapan itu sebuah pengakuan bahwa perempuan memiliki keterampilan lebih dalam mempersuasi pembeli. Bahkan, dalam mencari barang dagangan (kain textil, pakaian, dll.) di pabrik textil Bandung, Tangerang, dll., atau di toko grosir nasional perempuan lah yang lebih gesit dan  pintar dalam berdiplomasi dengan para bos pabrik atau pedagang berbasis grosiran. Dalam situasi itu lelaki kemudian menuduki posisi sing ning guri (yang berada di belakang). Sing ning guri ini selaras dengan apa yang disebut dengan konco wingking (teman belakang).

Relasi sing ning arep dan sing ning guri sejatinya sebentuk pembagian tugas yang sejajar, bukan hubungan superioritas-inferioritas. Perempuan yang konon tugasnya hanya di kasur, dapur dan sumur, tidak berlaku bagi para perempuan Tegalgubug. Relasi suami dan istri pada galibnya di Tegalgubug adalah relasi kerjasama dua subyek yang berdaya guna dalam menjalankan tugas, yaitu perempuan pemegang dan pengatur keuangan, berdiplomasi dengan langgan dan bos pabrik atau bos toko grosir, dan menganalisa barang dagangan yang dimungkinkan laku di pasaran. Sedangkan tugas suami yaitu mengatur barang dagangan bersama karyawannya, menyiapkan atau membantu pelanggan dalam memilih-memilah, dan kerja-kerja kasar lainnya serta tentunya juga mendampingi istrinya. Akan tetapi pembagian tugas ini bersifat tidak ajeg, hanya pada umumnya saja, tidak berlaku untuk semua orang dan keadaan. Sebab perempuan/istri pun sering kali turut mengerjakan apa yang dikerjakan suami. Apalagi bagi perempuan single parent yang sudah barang tentu mengerjakan tugas sendirian.

Peran perempuan  lajang  di Tegalgubug—baik disebabkan perceraian atau kematian suami—juga lebih kuat dan eksis dibanding laki-laki single atau beristeri dalam menjalankan roda perekonomian, bisnis dan mengurus serta mengayomi anak-anaknya.  Sambil berdagang, perempuan tetap memprioritaskan anak-anaknya di atas segala-galanya; menyekolahkan, mengirimkannya ke pesantren, dan mengantarkan pada jenjang pernikahannya. Mereka jarang sekali yang  menikah lagi. Ini jelas berbeda dengan lelaki lajang paska perceraian atau kematian. Hampir selalu ada permakluman kepada mereka untuk mencari isteri lagi bahkan tanpa mempertimbangkan atau tanpa meminta pertimbangan anak-anaknya. Sehingga, anak-anak single parent perempuan lebih terawat, terdidik dan sukses dibandingkan dengan anak-anak sigle parent laki-laki.

Kenapa perempuan secara sosial memiliki kedudukan yang baik dalam mengatur keuangan? Ada beberapa pertimbangan, yaitu Pertama, dalam pandangan masyarakat Tegalgubug perempuan  dianggap tidak boros dan tidak sembarangan dalam membelanjakan uang. Kedua, lebih teliti, penuh perhitungan dan rapih, telaten. Dan ketiga, umumnya jika keuangan di pegang suami/laki-laki, terjadi penyelewengan keuangan bahkan hingga penyelewengan rumah tangga. Uang habis dipakai untuk kawin lagi (wayuh/poligami). Kisah kebangkrutan  akibat salah urus keuangan yang dipegang suami menjadi pelajaran berharga bagi pedagang untuk memantapkan posisi istri sebagai pemegang keuangan.      

Pembelajaran bisnis, enterpreneursip, dan kemandirian ekonomi bagi para perempuan Tegalgubug sudah ditanamkan sejak dini oleh orang tuanya—di samping miliu, lingkungan, yang mendukung—yang di antaranya ditanamkan pendidikan bagaimana cara mengatur keuangan, diajak berdagang di pasar mendampingi ibundanya sembari mengamati bagaimana cara berdagang yang baik dan efektif—biasa dilakukan pada saat libur pesantren atau sekolah, belajar keterampilan seperti menjahit dan mendesign model pakaian, ngobras, membikin rumah kancing, melipat kain, dll.

Kepada anak laki-laki, para ibu Tegalgubug memberikan wejangan agar mencari calon istri aja kang kaya pedaringan bolong (jangan yang seperti bakul nasi yang bolong). Pedaringan/bakul nasi adalah simbol perempuan yang menampung dan mengatur keuangan. Sedangkan pedaringan bolong adalah analogi bagi perempuan yang boros, tidak bisa mengatur keuangan, dan pada akhirnya tidak bisa menjadikan hidupnya makmur. Wejangan orang tua di Tegalgubug itu mencerminkan betapa besar kesadaran ekonomi dan kesadara akan istri yang ideal adalah istri yang dapat mengatur keuangan, pandai mengelola dan mengembangkan usaha serta tidak boros—tentunya ada kriteria-kriteria lain seperti perempuan yang baik-baik.

Latarbelakang pesantren yang menekankan dan menghidupkan nilai kemandirian, seperti mencuci, masak dan segenap hal keseharian dilakukan sendiri. Sehingga, tanpa beban psikologis yang cukup berarti manakala ketika menjadi suami yang dituntut oleh keadaan untuk mengerjakan pekerjaan domestik. Segenap pekerjaan, domestik dan publik, menjadi mencair, dan tak ada dikotomisasi yang diukur dengan jenis kelamin: pekerjaan tidak ada yang berjenis kelamin. Sehingga tukar-tempat dalam soal pekerjaan, domestik dan publik, bisnis dan kerjaan rumah, menjadi hal yang sudah menjadi pemandangan umum di Tegalgubug.

Para kaum perempuan pun, tidak ada rasa mentang-mentang dan arogan lantaran kepiawaiannya menjalankan roda ekonomi sehingga dijadikan alasan untuk menindas suami. Para kaum perempuan Tegalgubug, dalam menyikapinya, dengan mengikuti apa yang pernah dijalani oleh tokoh idolanya yaitu Khadijah. Khadijah sebagai istri Nabi, yang dalam sejarah tercatat sebagai bisnis women, saudagar terkemuka di Mekkah, sekaligus sebagai istri yang shalihah, dengan tetap menghormati dan menghargai Nabi sebagai suami.

Berkah dari perekonomian yang maju, pergaulan semakin meluas. Pergaulan antar daerah, dan bahkan pergaulan antar agama juga menjadi terbangun, seperti para pedagang Tegalgubug pada umumnya, pada hari Natal, mereka mendapatkan parsel bingkisan yang berisi sirup, buah-buahan, kue kering dan yang tidak ketinggalan adalah dodol berbentuk bulat berwarna coklat yang disebut oleh para pedagang Tegalgug dengan dodol Cina karena yang memberikan adalah bos textil yang bermata sipit WNI. Dan dengan ringan mengucapkan selamat hari natal untuk bos textil pabrik. Begitupun sebaliknya menjelang lebaran, para pedangang pun mendapatkan bingkisan lagi sebagai THR bagi pelanggan pabrik textil sembari mendapatkan ucapan selamat hari raya idul fitri.

Gaya hidup tradisional dan cara berfikir keagamaan yang merujuk kitab kuning yang dicerminkan para pedagang Tegalgubug ternyata tidak menjadikan dirinya teralienasi dari dunia modern. Karena mungkin sejatinya modernisasi dalam cara berfikir lebih signifikan, meski inspirasinya dari yang tradisional dan kuno seperti nilai-nilai yang ada di kitab kuning bukan?  

 

Mukti Ali, Peneliti Rumah Kitab dan The Ishlah Center

 


Terkait