Oleh Adang Saputra
Agama menjadi persoalan serius tatkala dihadapkan
dengan kasus terorisme, radikalisme dan ekstremitas. Dengan artian bahwa
ketika kasus teror terjadi biasanya agama si pelaku (teroris) menjadi sorotan.
Ujung-ungungnya agama dikambinghitamkan.
Pengambinghitaman agama tersebut bisa dilihat dari
dua arah. Pertama, dari arah si pelaku: agama dijadikan alat kamuflase
terorisme. Agama dijadikan kedok kekerasan. Kedua, dari arah korban dan
saksi: agama dianggap sebagai biang kekerasan. Agama diidentikkan dengan bom dan
pedang. Agama dipandang garang, antagonistik.
Kasus teror bom Thamrin Jakarta yang
terjadi pada pertengahan Januari lalu, misalnya. Muncul berbagai spekulasi di kalangan
pakar dan pengamat. Sebagian besar memandang kasus ini bertalian dengan
persoalan politik-keagamaan yang dinisbatkan pada ISIS dan kelompok ekstrem-radikal
lainnya. Kasus ini diduga sebagai ‘dendam’ kepada pemerintah. Lantaran pelarangan
keras masyarakat untuk bergabung dengan ISIS atau kelompok ekstremis lainnya.
Sampai-sampai beberapa masyarakat yang sudah berangkat ke Suriah pun ditarik
kembali ke Indonesia. Harapan untuk menjadi jihadis khilafah islamiyyah
pun pupus begitu saja. Padahal bagi mereka, menjadi ‘jihadis’ berarti berjuang
membela agama. Imbalannya surga disertai bidadari.
Di lain sisi, kasus ini memunculkan penilaian
negatif tentang agama, khususnya Islam. Kalangan outsider maupun
insider mengidentikkan Islam (baca: agama) dengan doktrin
terorisme. Lantaran para jihadis berpaham ekstrem-radikalseperti ISIS ataupun
Al Qaeda kerap menggunakan ayat-ayat suci sebagai dasar tindakan destruktifnya.
Misalnya ayat Alquran (02:191), “Dan bunuhlah mereka di mana saja kalian jumpai
mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kalian; dan fitnah
itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan jangalah kalian memerangi mereka
di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kalian di tempat itu. Jika
mereka memerangi kalian, maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi
orang-orang kafir.”
Tak jarang ulah kelompok ekstrem-radikal tersebut membuat
sebagian orang frustasi. Bahkan tidak menutup kemungkinan membuat sebagian
muslim memilih untuk ‘pensiun’ dari Islam.
Ini mengingatkan pada buku Leaving Islam: Apostates Speak Out terbitan Prometheus Books, New York 2003. Buku antologi
yang diedit Ibnu Warraq (nama samaran), seorang ‘pensiunan’ muslim kelahiran
Rakjot, India. Dalam buku ini sejumlah eks-muslim bersuara
lantang memberi kesaksian tentang kebobrokan perilaku
kelompok ektrem-radikal di beberapa negara
berbasis Islam. Seperti
Pakistan, Iran, Bangladesh, Afganistan, Arab Saudi dan lain-lain.
Perlu diketahui bahwa sebelumnya para penulis buku
tersebut adalah sarjana cum aktivis muslim. Lantaran mereka menyaksikan kenyataan
mengerikan dari kelompok ekstrem-radikal, akhirnya mereka ‘pensiun’ dari Islam.
Bahkan sebagian besar dari mereka memilih ‘hengkang’ dari negaranya dan tinggal
di Barat. Khususnya Amerika Serikat, Kanada, Australia dan Eropa Barat. Dengan
pertimbangan; Pertama, jika tetap tinggal di negara asal, mereka akan dibunuh
lantaran dicap ‘murtad’ dan Kedua, atmosfir sekaligus jaminan kebebasan
beragama di Barat lebih kondusif.
Buku ini penting untuk disimak sebagai kritik atas tindakan bobrok
kelompok ekstrem-radikal.Mereka kerap menebarkan kekerasan berkedok agama. Tak
terkecuali teror dan pembunuhan.
Paradoks
Tulisan Ali Sina berjudul “Why I Left Islam: My Passage from Faith to
Enlightenment,” memberi kesaksian tentang paradoks
pengambinghitaman agama di negaranya, Iran. Menurutnya, sejak Ayatollah
Khomeini berhasil menggulingkan diktator Shah Reza Pahlevi pada tahun 1979
ideologi sekuler negara pun segera diganti dengan ‘ideologi Islami’. Alih-alih
menegakkan ‘kedaulatan Tuhan,’ justru yang terjadi adalah penegakan ‘otoritas
kedaulatan Khomeini’ melalui agen rahasianya bernama Sazamane Etelaat Va
Amniate Kechrar (SEVAK). Khomeini bersama para
pendukungnya mengeksekusi siapapun yang tidak mau tunduk pada otoritas
politik-keagamaannya. Tak terkecuali bekas sekutunya.
Maka pada saat Imam Khomeini berkuasa, nyawa pun tampak
begitu murah. Ribuan orang Irak dibunuh sebagai efek ‘Perang Teluk’ antara
Iran-Irak. Ribuan pengikut Bahai Faith disiksa dengan tuduhan ‘murtad’. Ribuan
penduduk Iran dipenjara lantaran menolak otoritas politik-keagamaan sang Imam.
Bahkan nasib kaum perempuan lebih tragis. Sebelum dibunuh
mereka diperkosa terlebih dalu oleh “tentara syari’at” Khomeini. Alasannya pun
konyol, pemerkosaan dianggap sebagai ‘penyucian dosa’ akibat makar terhadap
sang Ayatollah sekaligus tiket masuk surga.
Peristiwa tragis ini membuat Ali Sina trauma sekaligus
kehilangan kepercayaan terhadap Islam. Ia pun memilih ‘pensiun’ dari Islam. Kini ia
mendirikan wadah
advokasi kebebasan keyakinan
bernama “Faith Freedom Foundation”.
Tak hanya Ali Sina, beberapa penulis lainnya pun
menuturkan kesaksian senada. Seperti Abul
Kasem asal Bangladesh, Sheraz Malik asal Pakistan,
Anwar Shaikh asal Pakistan-Britain, Nadia asal Marocco,
Samia Labidi asal Tunisia, Azad asal India, dan
masih banyak lagi. Mereka trauma dan kehilangan kepercayaan terhadap Islam, hingga
akhirnya mereka memilih ‘pensiun’ dari Islam. Bahkan hengkang dari negara asalnya.
Jika diperhatikan, sejatinya para penulis buku
tersebut tak jauh beda dengan kelompok esktrem-radikal yang mereka kritik. Mereka
sama-sama mengambinghitamkan agama. Kelompok ekstrem-radikal mengambinghitamkan
agama untuk tindakan ekstremnya. Mereka menggunakan agama sebagai ‘kedok’
terorisme. Dengan dalih “syariatisasi”, “khilafah islamiyyah”, atau “asas
islami” untuk menciptakan kedamamaian, keadilan dan kesejahteraan yang dikemas
dengan bahasa “rahmatan lil ‘alamin.” Namun jalur yang ditempuh justru kontras.
Sedangkan para penulis buku tersebut
mengambinghitamkan agama untuk pengalaman traumatisnya. Mereka menganggap agama
sebagai ‘biang’ radikalisme dan terorisme. Mereka mengidentikkan agama dengan
pedang dan pengeboman. Padahal trauma yang mereka rasakan sejatinya disebabkan
oleh tindakan kelompok ekstrem-radikal yang keliru menafsirkan ajaran agama.
Bukan disebabkan ajaran agama itu sendiri.
Oleh karena itu, perlu dibedakan antara pemahaman
keagamaan dengan agama itu sendiri. Agama tidak mungkin mengajarkan terorisme
dan ekstremitas. Sebab hal itu sangat bertentangan dengan hakikat agama itu
sendiri sebab agama tidak menghendaki kekacauan dan kerusakan.
Sedangkan perilaku sadis kelompok ekstrem-radikal
sudah masuk wilayah pemahaman keagamaan yang terikat dengan
kepentingan-kepentingan tertentu. Bisa berupa kepentingan kekuasaan, politik,
ekonomi dan lain sebagainya. Sehingga pemahaman keagamaan tidaklah sama dengan
ajaran agama.Terorisme, radikalisme, dan ekstremitas bukanlah ajaran agama.
Penulis adalah Analis Masalah
Sosial-Keagamaan, Alumni Prodi Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta