Oleh Nanang Qosim
Setidaknya, jika menelusuri khazanah teori kewarganegaraan dalam sejumlah literatur, kita bisa mengidentifikasi tiga mazhab utama. Pertama, kewarganegaraan republik yang mengutamakan keutuhan negara. Di sini, warga negara utama adalah manusia patriotis yang rela mengorbankan jiwa raga untuk membela negara.
Efek negatifnya, mazhab ini bernuansa militer dan condong menghasilkan negara militeristik yang membelokkan cita-cita negara menjadi semata visi penguasa. Bahkan, mereka yang berbeda dari penguasa tidak dianggap sebagai warga negara dan dipasung hak-haknya. Indonesia masa Orde Baru adalah penganut mazhab ini.
Kedua, kewarganegaraan liberal. Berdasarkan literatur mazhab ini mewarisi atau meneruskan semangat Aufklarung (Pencerahan) yang ingin membebaskan akal manusia dari belenggu doktrin agama kala itu. Orang muak pada penundukan akal terhadap wahyu gereja di Eropa yang mengeras menjadi persekusi oleh kekuasaan raja yang bersekutu dengan gereja. Sehingga, manusia ingin berpikir bebas dan mendesakkan hak asasinya. Dari sini, muncullah Bill of Rights di Inggris yang menjadi cikal-bakal konsep hak asasi manusia (HAM) universal sebagaimana kita kenal.
Konsekuensi dari pemerdekaan akal adalah kepercayaan diri manusia bahwa mereka bisa merumuskan hukum-hukum umum alam dengan rasio. Alhasil universalitas berbagai hal, termasuk konsep HAM, menjadi dominan. Dampak buruknya, universalitas HAM meminggirkan kelompok minoritas. Sebab, mereka dianggap sebagai anomali bagi hukum-hukum universal yang sudah dicapai akal.
Sebagai contoh, jika universalitas konsep agama dianggap hanya mencakup agama-agama besar dunia—katakanlah Islam, Kristen, Buddha, dan Hindu—maka para penganut agama di luar itu, seperti agama lokal, akan dianggap sebagai warga negara kelas dua. Karena itu, kelemahan mazhab liberal ini adalah ia meniscayakan budaya minoritas meleburkan diri ke dalam budaya universal mayoritas (asimilasi). Jadi, sebagai contoh, kaum beragama di luar agama-agama yang diakui negara harus meleburkan diri ke dalam salah satu agama yang ada, termasuk ketika mencantumkan status agama dalam kartu identitas.
Ketiga, kewarganegaraan multikultural. Beranjak dari kelemahan mazhab liberal dan republik, kewarganegaraan multikultural menyatakan kelompok budaya seyogianya diberikan kesempatan untuk mengada dalam vernacular alias konteks identitasnya yang khas (Will Kymlicka, Kewargaan Multikultural, 2004). Oleh karena itu, mazhab ini ingin merangkul dan memberikan ruang setara kepada semua warga negara. Sebab, semua warga negara dianggap unik dan berhak mengada dengan segala kekhasan karakternya.
Namun, mazhab ini bukannya tanpa kelemahan. Yaitu, ia justru memperkeras identitas kelompok hingga berpotensi melahirkan eksklusivitas sempit dan pandangan berorientasi ke dalam (inward-looking). Ujung-ujungnya, pengadopsian mazhab multikultural bisa berujung pada potensi besar konflik horizontal antaragama, antarsuku, dan lain sebagainya. Sebab, masing-masing merasa memiliki klaim kebenaran khas yang dianggap unggul.
Pancasila sebagai Sintesis
Akhirnya, timbul pertanyaan: jika ketiga mazhab kewarganegaraan yang ada memiliki kelemahan inheren, apa mazhab yang cocok bagi Indonesia? Tanpa perlu repot mencari, kita sudah punya jawabannya: Pancasila. Mengapa? Sebab, Pancasila adalah sintesis yang mengakomodasi kekuatan dari ketiga mazhab kewarganegaraan di atas. Sebagai awal, prinsip negara demokrasi ideal adalah memberikan ruang bagi percakapan antarsesama warga untuk mencari jalan memenuhi kebutuhan nilai-nilai dasar kemanusiaan.
Namun di sisi lain, percakapan itu harus diwadahi oleh satu wahana "netral" tempat semua pihak berada dalam posisi asali atau original position (John Rawls, Theory of Justice, 1994).Maksudnya, posisi sama antara warga negara sehingga percakapan itu fair. Wahana netral itu adalah batas minimal yang memberikan semua warga negara akses setara pada proses diskursif seputar masalah publik. Jadi, warga negara haruslah terlibat secara bebas dan setara dalam praktik mempertahankan kebaikan bersama (common good). Kualitas warga dinilai dari kesertaannya memperjuangkan kemaslahatan umum.
Wahana netral itulah yang kita kenal sebagai Pancasila. Lebih dari sekadar filsafat dasar negara, Pancasila sejatinya adalah konsensus yang menjamin semua warga memiliki kesamaan hak dan kewajiban seraya tunduk pada rule of law (supremasi hukum). Jadi berbekal Pancasila, warga minoritas mendapatkan ruang untuk ikut berpartisipasi dalam pemecahan masalah umum tanpa perlu takluk terhadap kebudayaan dominan. Ini menambal kelemahan mazhab kewarganegaraan liberal.
Kemudian, Pancasila sebagai titik muka berdiskusi akan menangkal ekslusivitas. Sebab, eksklusivitas khas setiap kelompok terakomodasikan dalam Pancasila sebagai wahana netral. Sekaligus, ini menutupi kelemahan mazhab kewarganegaraan multikultural.
Terakhir, posisi Pancasila sebagai batas minimal bernegara membuat negara tidak perlu takut akan memiliki warga negara yang kurang spartan membela kedaulatan wilayah. Justru, Pancasila akan merasuki kesadaran para warga negaranya sehingga mereka dapat menghayati nilai Pancasila dalam tingkah laku tanpa terbatas pada aspek pertahanan fisik bela negara. Patriotisme jadinya bisa mencakup berbagai bidang: sosial, ekonomi, dan sebagainya. Alhasil, kelemahan kewarganegaraan republik pun teratasi.
Akhirnya, berbagai masalah yang mengoyak rajutan hubungan antarwarga negara di bumi pertiwi ini seyogianya menjadi momentum bagi kita untuk kembali ke Pancasila sebagai mazhab kewarganegaraan ideal bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Penulis adalah Pengurus Ikatan Sarjana NU Kabupaten Demak