Pak Hasyim Muzadi, Kiai Perekat Umat dari Indonesia hingga Timur Tengah
Kamis, 23 Maret 2017 | 11:32 WIB
Kabar duka berkumandang di Kamis pagi 16 Maret 2017. Media massa nasional dan juga akun-akun pribadi media sosial menyatakan belasungkawa atas wafatnya Dr (HC) KH Ahmad Hasyim Muzadi (Pak Hasyim). Semua merasa kehilangan karena Pak Hasyim memang milik semua orang dan dibutuhkan banyak orang.
Orang-orang yang pernah terlibat kerja-kerja kebangsaan bersama mengungkapkan kesan-kesannya saat bersama dengan Pak Hasyim. Tidak sedikit juga dari mereka yang mengangkat aspek humoris Pak Hasyim dalam menyampaikan gagasan-gagasannya. Tetapi sudah sepekan kita semua ditinggalkan Pak Hasyim.
Pak Hasyim yang lahir dari keluarga petani di Tuban pada 1944 ini mengurus sosial-keumatan sejak tingkat paling bawah hingga pada level global. Ia mengawali pengabdiannya kepada umat di level bawah. Hal ini terlihat dari keterlibatannya sebagai pengurus NU untuk tingkat ranting. Di sini kepribadiannya ditempa dan diuji bagaimana ia menghadapi problem dan dinamika sosial-keumatan di tingkat desa atau kelurahan.
Keterbukaan Pak Hasyim membuatnya diterima oleh umat Islam di Indonesia dari pelbagai kelompok. Meskipun menjadi orang nomor satu di NU, ia dengan bebas bergaul dengan orang-orang dan tokoh-tokoh masyarakat di luar NU. Kelenturannya ini justru menjadi modal baginya untuk menarik kembali ke tengah kelompok-kelompok Islam yang berkecenderungan ekstrem bahkan radikal melalui pendekatan persuasif.
Kepiawaiannya dalam bergaul dengan semua lapisan itu bukan diperolehnya begitu saja dari langit. Almarhum Pak Hasyim cukup terlatih menghadapi aspirasi dan keluh kesah pelbagai masyarakat.
Tempaan mental dalam mendampingi umat seperti ini berjalan secara alamiah seiring dengan amanah yang diterimanya sebagai pengurus NU mulai dari tingkat desa (Pengurus Ranting NU), tingkat provinsi (Pengurus Wilayah NU), bahkan hingga nasional (Pengurus Besar NU). Pengabdian tidak kurang dari 25 tahun itu memberikan pengalaman berharga.
Pengalaman Pak Hasyim sebagai pengurus NU secara berjenjang itu menjadi “pesantren” kedua baginya. Semua pengalaman itu mengajarkan bagaimana seharusnya ia menghadapi faksi-faksi sosial yang berseteru, bagaimana juga ia harus memikirkan solusi praktis yang dihadapi masyarakat dengan keragaman dan kepentingannya masing-masing.
Setelah lama memimpin PWNU Jawa Timur, forum Muktamar NU di Pesantren Lirboyo pada 1999 mengamanahinya sebagai Ketua Umum PBNU untuk masa khidmat 1999-2004. Pak Hasyim kembali dipercaya oleh para kiai se-Indonesia untuk memimpin kembali PBNU untuk masa khidmat 2004-2010.
Masa khidmat periode pertamanya sebagai Ketua Umum PBNU dilewatinya dengan cukup berat. Indonesia baru saja memasuki era Reformasi. Kebebasan di segala hal mengemuka. Ancaman disintegrasi bangsa menyeruak. Konflik antarumat beragama di masa-masa awal tahun 2000-an memerlukan pemecahannya tersendiri. Almarhum Pak Hasyim benar-benar menerima ujian berat sebagai Ketua Umum PBNU. Ia diharapkan menyelesaikan konflik antarumat beragama yang melibatkan umat Islam, saudaranya sendiri.
Ketika tidak lagi menjadi Ketua Umum PBNU pada 2010, almarhum Pak Hasyim kemudian mengalihkan perhatiannya pada penyelesaian konflik di Timur Tengah. Melalui forum International Conference of Islamic Scholars (ICIS) yang ia bentuk pasca-2000an, ia kerap mengadakan konferensi yang melibatkan para ulama terkemuka di Timur Tengah untuk mencari solusi perdamaian di Timur Tengah yang tak henti-henti berkecamuk.
Pada Maret 2014 di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Kabupaten Situbondo untuk kesekian kali almarhum Pak Hasyim kembali menggelar pertemuan dengan peserta yang terdiri atas ulama terkemuka dan mufti-mufti di Timur Tengah salah satunya Syekh Wahbah Az-Zuhayli. Di hadapan mereka Pak Hasyim menggaungkan wawasan Islam moderat sebagai oleh-oleh dari Indonesia untuk dibawa peserta ke kampung halaman masing-masing.
"Islam itu memang satu, tetapi aplikasi di lapangannya ini yang aneka rupa hingga ada yang ekstrem. Karena itu, ulama dunia ini perlu menampilkan moderasi Islam sebagai wajah Islam sesungguhnya di hadapan dunia," kata almarhum Pak Hasyim yang saat itu merupakan Sekretaris Umum ICIS di arena konferensi internasional tersebut seperti dilansir NU Online.
Di hadapan para ulama Timur Tengah, almarhum Pak Hasyim mengingatkan umat Islam dunia
untuk meneguhkan kembali nilai-nilai Islam moderat. “Melewati ratusan tahun Islam berkembang di Indonesia tanpa mengalami masalah,” katanya mengambil contoh corak Islam Indonesia.
Hanya saja belakangan misi Islam moderat di Indonesia, kata Pak Hasyim, rusak ketika datang misi yang dibawa oleh sekelompok orang dari luar negeri. Dampaknya, “Menghadap-hadapkan antara Islam dan negara, kelompok Islam dan kelompok Islam yang berbeda, dan pada gilirannya antara Islam dan lain agama,” kata almarhum Pak Hasyim Muzadi dalam Bahasa Arab yang fasih.
Selamat jalan Pak Hasyim, kiai pembawa misi Islam rahmatan lil alamin yang masuk ke dalam pergaulan di desa-desa, kota, dan kemudian membawa misi itu ke tengah pergaulan dunia. Semoga Allah menempatkanmu di sisi-Nya yang agung. Semoga perjalanan gerakan perdamaianmu menjadi catatan yang perlu sering diziarahi untuk generasi bangsa ke depan. Amiiin.
*) H Imam Nahrawi, Menteri Pemuda dan Olahraga RI.