Opini

Ormas Keagamaan dan Politik Kebangsaan NU

Senin, 6 Desember 2010 | 04:07 WIB

Oleh : As’ad Said Ali

Keormasan
Jumlah ormas keagamaan di Indonesia cukup banyak bila pengertian keagamaan meliputi agama-agama lokal, selain lima agama yang diakui secara resmi oleh negara. Hingga sekarang saja Kementerian Pendidikan Nasional harus mengawasi kurang lebih 246 organisasi agama lokal. Agama lokal ini keberadaannya diakui bukan sebagai agama, tetapi sebagai Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Untuk lima agama yang diakui secara resmi, data tahun 2005 dari Departemen .Dalam Negeri menyebutkan Jumlah ormasnya yang terdaftar sebanyak 15 organisasi.<>

Angka ini tentu tidak menggambarkan realitas yang sebenarnya. Sebagai contoh, ormas Islam saja jumlahnya lebih dari 50 organisasi. Daftarnya bisa lebih panjang jika dimasukkan pula ormas-ormas dari agama-agama yang baru masuk dan menyemaikan pengaruhnya di Indonesia, yang jumlahnya lebih dari 10 agama, seperti Baha'i, Druze, Jainisme, Yahudi, Raelianisme dan lain sebagainya.
 
Indonesia, tampaknya, adalah negeri yang paling majemuk dalam segala hal. Realitas seperti itu jelas akan menghadirkan tantangan¬tantangan yang fundamental bagi implementasi gagasan Negara Bangsa Indonesia untuk mencapai cita-cita persatuan. Apalagi di alam liberal seperti sekarang ini dengan perlindungan HAM yang kuat. Selama masa reformasi misalnya, ormas-ormas itu semakin bergairah mengembangkan eksistensi dan pengaruhnya. Beberapa agama lokal atau sekte baru, bahkan tumbuh menjadi asosiasi yang cukup modern, seperti misalnya penganut Kepercayaan Karuhun mengorganisir diri dalam PAKCU. Demikian pula agama-agama baru, kini semakin agresif mengembangkan dakwahnya, seperti Baha'i dan beberapa lainnya, bahkan kini sedang berjuang untuk memperoleh hak hidup.

Pada sisi yang lain, baik di lingkungan Islam, Kristen, Hindu maupun Budha, kini sarna-sarna menghadapi situasi ketegangan internal karena berkembangnya pemikiran dan sikap keagamaan sekuler di satu sisi, dan radikal pada sisi lain pad a ormas-ormasnya. Kenyataan ini sesungguhnya sebuah keniscayaan dan merupakan konsekuensi dari liberalisasi dan globalisasi informasi yang sulit dihindari.

Khususnya di kalangan Islam, hal itu bahkan telah menimbulkan persoalan berbangsa karena sejumlah ormas yang memiliki pemikiran dan sikap keagamaan radikal, mulai membuka kembali debat mengenai relasi agama dan Negara, satu hal yang asal-usulnya dapat ditelusuri sejak masa pembentukan Negara. Mereka ini terdiri dua kelompok: pertama adalah yang mencita-citkan berdirinya Negara Islam (entah dalam bentuk Khilafah atau lainnya); kedua, yang menginginkan sekedar pengembangan syari'at Islam melalui Perda-perda Syariah. Eksesnya pun telah nyata, yaitu berkembangnya kecurigaan antar golongan agama.

Salah satu sumber penyebabnya adalah karena demokrasi sebagai prosedur telah diselewengkan untuk melegitimasi tujuan-tujuan politik yang bersifat sektarian. Mereka berargumen sejauh cita-cita politik itu ditempuh melalui jalan demokratis, maka secara otomatis sah dan benar. Demokrasi juga telah diselewengkan oleh kalangan lainnya yang berorientasi pragmatis. Atas nama prosedur yang sudah demokratis, mereka melegitimasi kepentingan pragmatis kelompok elite atau kapital tertentu. Konsekuensinya banyak kebijakan publik mengalami kesenjangan dengan aspirasi publik. Urusan menjadi ruwet karena kelompok-kelompok Radikal dan gerakan-gerakan yang bercorak etnisitas, daerahisme dan sparatisme memanfaatkan keresahan yang berkembang.

NU dan Politik Kebangsaan

Peran NU dalam ikut menggagas, merintis dan memperjuangkan berdirinya negeri ini, jelas sangat besar dan tidak bisa diingkari oleh siapapun. Bahkan, bersama Muhammadiyah, menjadi bagian inti dalam proses perumusan konstitusi Negara, yakni Pancasila dan DUD 1945. Karena itu NU menjadi pemilik sah negeri ini. Atas dasar alasan historis ini maka sangat jelas bahwa NU memiliki tanggungjawab terhadap masa depan Indonesia. Sebagai konsekuensinya, NU tidak bisa menafikan diri dari politik, yaitu sebuah politik kebangsaan untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan.

Secara definitif cita-cita kemerdekaan itu dirumuskan di dalam Pembukaan UUD 1945. Sila kita derivasi ke level yang lebih kongkrit, maka tujuan etis perjuangan politik kebangsaan NU adalah: Pertama, mewujudkan cita-cita Ketuhanan; Kedua, mewujudkan cita-cita persatuan; Ketiga, mewujudkan cita-cita kesejahteraan dan keadilan; Keempat, mewujudkan cita-cita demokrasi, keamanan dan terciptanya ketertiban dan perdamaian dunia.

Cita-cita Ketuhanan menjadi arah penting bagi politik kebangsaan NU. Dalam konteks ini, secara praksis NU harus selalu berusaha mendorong tumbuhnya kehidupan beragama baik pada ruang privat maupun publik. Negara harus diletakkan secara proporsional sebagai instrument untuk menciptakan suatu atmosfir yang dapat mendorong setiap warga Negara, apapun agamanya, dapat mencapai keselamatan dunia dan akhirat; tidak sebaliknya netral terhadap kepentingan ini. Itulah makna Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar filosofi Negara. Namun hal ini tidak berarti bahwa NU mendorong ke arah Negara agama, sebab batasnya sangat jelas yaitu kepentingan publik. Oleh sebab itu NU juga berkewajiban menumbuhkan semangat Republik, sebuah prinsip yang didasarkan pad a asas kewargaan sebagai basis utama faham kebangsaan.

Mengenai cita-cita persatuan, politik kebangsaan NU harus menumbuhkan semangat saling menghargai, baik antar etnis, suku, kedaerahan, agama maupun golongan. Semangat ini harus ditumbuhkan dengan prinsip kekeluargaan sebagai dasar semangat kebangsaan kita. Prinsip kekeluargaan adalah spirit tolong menolong yang didalamnya terdapat elemen rasa persaudaraan dan saling mencintai.

Inilah yang membedakan dengan semangat pluralisme dan kolektivisme. Spirit tolong menolong juga menjadi lawan dari individualisme dan persaingan bebas. Jika individualisme merupakan spirit dari kapitalisme, maka tolong menolong adalah spirit dari kekeluargaan. Cita-cita persatuan harus dibangun di atas fondasi seperti itu. Demikian pula terhadap cita-cita kesejahteraan. Tujuannya agar tercipta suatu persatuan dan kesejahteraan bersama, bukan atas golongan atau kelompok tertentu. Dengan demikian keadilan ekonomi akan terwujud bagi semua dan persatuan menjadi lebih kokoh.

Banyak instrument dan pendekatan yang bisa dipakai untuk mewujudkan cita-cita itu. Di lapangan ekonomi, NU bisa melakukannya dengan terus menerus mendorong dan memperjuangkan agar kebijakan¬kebijakan di bidang ekonomi dapat menjadi benang pengikat di antara semua elemen bangsa, antar golongan, suku, dan wilayah di Indonesia. Bentuknya bisa macam-macam, salah satunya peningkatan perdagangan antar wilayah. Di lapangan sosial bisa berupa pertukaran pelajar antar wilayah, kerjasama peningkatan mutu sekolah antar wilayah, hingga kolaborasi festival budaya misalnya. Cara-cara seperti ini akan meningkatkan silaturahmi antar suku, golongan dan wilayah yang lebih hangat.

Walhasil, rasa persaudaraan dan kekeluargaan akan menjadi lebih kokoh, selain dapat meningkatkan ikatan ekonomi secara nasional dan pemerataan kesejahteraan. Demikian pula, ketahanan nasional akan menjadi tangguh dan keamanan tercipta secara genuine.

Keamanan secara substansial dibutuhkan justru untuk menjamin kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara, bahkan untuk mencapai tujuan nasional itu sendiri. Namun menciptakan keamanan tidak boleh mengorbankan cita-cita dan tujuan lainnya, misalnya dengan meredam partisipasi politik. Keamanan adalah sebuah aspek yang berhubungan dengan ketahanan, baik ekonomi, sosial maupun politik, yang interaksinya menciptakan kondisi umum. Karena itu ketahanan dan keamanan sifatnya dinamis. Itu sebabnya cita-cita persatuan berhubungan erat dengan cita-cita kesejahteraan dan keadilan serta cita-cita untuk mewujudkan demokrasi.

Cita-cita demokrasi dalam konstitusi kita digagas dengan suatu tujuan, bukan menjadi tujuan itu sendiri, yaitu untuk mewujudkan keadilan politik, sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, di dalam konstitusi kita cita-cita demokrasi di dirumuskan dengan kata 'kemerdekaan', bukan 'kebebasan' (pasal 28 UUD 1945). Kedua kata ini maknanya berbeda. Kemerdekaan adalah sebuah keadaan yang terbebas dari penindasan, baik terhadap hak-hak politik, ekonomi maupun hukum menuju kemandirian.

Oleh karena itu dalam konstitusi kita cita-cita keadilan politik dikonstruksi atas dasar pemberian hak politik dan kemerdekaan berpolitik; bukan kebebasan politik. Sedangkan pengertian kebebasan adalah sebuah keadaan yang existing dimana didalamnya tidak boleh ada sesuatu apapun yang membatasi atau menghalangi setiap warga negara untuk melakukan apapun; Negara sepenuhnya sebagai pelayan.

Inilah yang membedakan demokrasi kita dengan demokrasi liberal. Sayangnya akibat euphoria politik, keadilan politik sering dikonotasikan dengan kebebasan un sich; bahkan demokrasi diartikan secara sempit hanya sebagai kebebasan. Dan demokrasi yang dibangun sekarang ini cenderung lebih banyak menekankan perluasan aspek kebebasan saja. Ini dapat membahayakan eksistensi Negara. Oleh karena itu perjuangan politik kebangsaan NU harus meneguhkan kembali ide Republik untuk menetralisasi kecenderungan-kecenderungan pemanfaatan demokrasi secara berlebihan. Koridor ini penting untuk mengimbangi potensi disinsentif dari liberalisesi politik yang terjadi belakangan ini.

Singkat kata, dengan kalimat yang lebih operasional, arah dan tujuan politik kebangsaan NU adalah membangun rumah Indonesia menjadi baldatun thayyibatun wo-robbun ghafur, tempat dimana jamaah nahdliyin tinggal bersama saudara sebangsa yang lain. Sesungguhnya ini bukan sekedar sebuah tanggungjawab konstitusional NU, tetapi jelas-jelas merupakan kewajiban yang melekat, karena NU adalah pemilik sah rumah Indonesia. KH Hasyim Asy'ari, KH Wahid Hasyim dan KH Wahab Hasbullah adalah diantara tokoh-tokoh NU yang ikut merancang dan mengkonstruksi berdirinya rumah Indonesia. Karena itu NU wajib memakmurkan dan menjaga negeri ini. Inilah politik kebangsaan NU. Wallahu 'alam ....

* Wakil ketua umum PBNU


Terkait