Tulisan Abd. Majid tentang pembelaan atas pentingnya kontektualisasi kajian fiqh (lumayan) tepat. Meski tulisan Majid sebatas merujuk pada semangat ke-fiqh-an KH Sahal Mahfudz, namun setidaknya pemikiran Majid menjadi suntikan semangat bagi masyarakat (NU) untuk berpikir lebih reliable memposisikan fiqh pada konteks lebih kongkrit. Khususnya, menjawab problematika umat di era mondial saat ini.
Salah satu, problem (masalah) dari sejuta problem (masa’il) tersebut adalah terbatasnya ruang usaha/ ekonomi masyarakat (Nahdiyyin). Realitas yang terjadi, masyarakat menjadi korban/ terlibas kemajuan era global yang semakin kapitalistik. Sampel sederhana kondisi masyarakat di Madura yang sebagian besar ‘agamanya’ adalah Nahdlatul Ulama (NU). Sehingga, Pada konteks inilah, Jamiyah Nahdlatul Ulama (NU) setidaknya memberi jalan baru atas kebimbangan persoalan yang dihadapi ‘masyarakatnya’.
<>
NU di Madura
Jamiyah Nahdlatul Ulama (NU) di pulau Madura sudah lama dikenal. Bahkan, sebagian besar masyarakat Madura, mulai dari Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep meski tak pernah tahu visi dan misi NU, secara kultural sampai saat adalah masyarakat Nahdiyyin. Identitas masyarakat yang Nahdiyyin ini, menjadi bukti bahwa kehadiran organisasi keagamanaan Nahdlatul ulama diterima dengan sepenuh hati oleh kalangan masyarakat.
Nahdlatul Ulama ibarat 'air bah' yang terus datang mengaliri kesadaran masyarakat, bahwa organisasi keagamaan ini cocok dengan cara pandang masyarakat Madura yang notabena adalah penduduk berbasis pesantren. Masyarakat di Madura, mengenal NU tak hanya sebatas sebagai organisasi (Kompolan/ koloman, Madura). Tetapi, lebih sebagai 'agama baru' yang memberikan nuansa ajaran keagamaan lebih elastis. Elastis di sini, karena NU tak hanya mengajak masyarakat melakukan ibadah mahdlah, namun juga gerakan pembinaan hingga ke wilayah paling sensitif, misalnya ketika pengurus NU cabang (PCNU/ Ranting NU) menggelar kegiatan memandikan mayat, pernikahan hingga pengajian tentang masalah datang bulan dan melahirkan (haid wan nifas).
'Agama baru' ini tak hanya berlangsung pada satu generasi. Tetapi, turun temurun sampai dekade tahun 2011 ini. Kondisi ini, menjadi catatan 'maha penting' bagi perjalanan NU di Madura. Meski, pada wilayah lain, suksesi NU diterima oleh kalangan masyarakat ini bukan menjadi akhir segalanya. Kehadiran NU, sekali lagi tak hanya menjadi 'jamiyah tok' yang hanya berpaku terhadap wilayah dakwah. Namun, NU diharapknya menjadi 'masyarakat' yang super sibuk dengan segala aktifitas sehari-hari.
Realitas masyarakat Madura, sebagian besar masyarakatnya hidup dari hasil bumi dan laut. Tetapi, dari sekian aktifitas sehari-hari ini masyarakat Madura mayoritas berprofesi sebagai petani. Pertanian yang mereka garap aneka ragam, mulai dari pertanian kacang-kacangan hingga tembakau. Namun, dalam pelaksanaannya hasil (produk) pertanian masyarakat ini jalan di tempat. Produk pertanian masyarakat cukup dijual di pasar lokal dengan harga yang, dalam tataran pasar nasional relatif rendah.
Selain rendah, terkadang masyarakat disibukkan dengan persoalan tanaman yang terserang hama penyakit. Seperti gayung bersambut, masyarakat petani ini didera dilematisasi bercocok tanam mudah, berkualitas tetapi bernilai tinggi tak pernah kesampaian. Lain halnya, masyarakat yang bercocok tanam tembakau. Hampir setiap tahun, masyarakat mengalamani kerugikan. Tanaman tembakau yang dianggap daun emas tak memberikan untung. Namanya 'orang Madura', meski sering rugi tetap 'istiqamah' menjalani aktifitas pertanian-pertanian tersebut.
'Orang Madura' adalah warga nahdiyyin. Kondisi ini, setidaknya menjadi bahan pembacaan secara kritis para pengurus NU, dari tingkat cabang hingga ranting-ranting. NU sebagai 'agama' bagi masyarakat dituntut memberikan ruang solusi atas persoalan pertanian tersebut. Karena, disinilah kehadiran NU bagi masyarakat jauh lebih berarti.
Dari Majelis Taklim ke Persawahan
Tradisi di kalangan masyarakat NU (Nahdiyyin) yang terus berjalan hingga sekarang adalah mengaji kitab turas (kitas kuning). Kegiatan pengajian kitab ini tak hanya berlangsung di pesantren-pesantren, tetapi di surau-surau pelosok kampung, pengajian kitab atau majelis taklim semacam ini sering dilaksanakan. Bahkan, di Madura ada kebiasaan menghatamkan kitab kuning dalam jangka waktu yang singkat. Lazimnya tradisi mengaji kitab kuning, biasanya ratusan orang mengaji kepada salah seorang kiai. Kitab yang diaji di kalangan masyarakat Nahdiyyin beragam. Mulai dari kitab yang menjelaskan tentang masalah agidah, fikih, akhlak ilmu al qur'an dan lain sebagainya.
Tradisi mengaji kitab ini seperti menjadi kegiatan yang paling mengasyikkan bagi masyarakat. Apalagi, ketika penyampaian materi ajar (meminjam sistem pengajaran modern) tersebut dibawakan kiai yang memiliki kharateristik humoris. Suasana pengajian kitab akan tampak lebih 'meriah'. Tak heran, di Madura ada pengajian yang disiarkan lewat jejaring radio. Masyarakat biasanya menyiarkan pengajian lewat jejaring radio (media audio) ini dengan loadspeaker (pengeras suara). Sehingga, pengajian tersebut bisa didengarkan langsung oleh semua masyarakat di perkampungan yang kebetulan menyiarkan acara pengajian kitab tersebut.
Tradisi ini adalah ciri khas tersendiri bagi kalangan Nahdiyyin. Jauh dari hanya sebatas kepentingan pengajian kitab, penulis menginginkan ada revitalisasi majelis taklim ke arah yang laih. Majelis taklim, yang dalam pandangan penulis mampu menjadi media mobilisasi massa ini dipoles dengan wajah yang lebih solihun likulli makan wa zaman (seiring dengan perkembangan zaman). Para tokoh NU (kiai/ tokoh masyarakat) yang sebelumnya hanya terfokus pada wilayah dakwah tekstual bisa juga menciptakan majeis-majelis pemberdayaan masyarakat. Pada majelis-majelis tersebut tokoh NU berjiaku mendatang ahli, dan pendamping professional mengawal usaha masyarakat.
Majelis-majelis ini akan menjadi kelompok-kelompok kecil yang akan menampung masyarakat nahdiyyin mengembangkan usahanya. Mulai dari usaha pertanian, perdagangan, nelayan dan lainnya. Dengan demikian, maka NU akan lebih dikenal oleh masyarakatnya. Selain istiqamah mensiarkan ajaran agama, keberadaan NU ini juga akan menjawab keresahan masyarakat Madura yang notabene sebagai petani. Ketika ada kelompok-kelompok binaan yang professional, maka masyarakat petani bisa lebih sejahera. Sebab, produk pertaniannya semakin berkualitas dan pansa pasar lebih luas.
Pertanyaannya, bersediakah (pengurus) NU serius memberikan pendampingan ke tengah-tengah persawahan?
*Mantan Ketua III PC IPNU Sumenep