Akh. Muzakki
Salah satu kritik yang ditujukan kepada NU belakangan ini adalah lambannya gerak organisasi kaum nahdliyin ini dalam merawat potensi sumber daya manusia yang dimiliki. Sumber daya manusia ini kini memang sudah merebak dan membesar, namun belum mendapatkan perawatan yang maksimal oleh organisasi NU. Tentu saja lambannya gerak NU sebagai sebuah organisasi dalam merawat potensi sumber daya manusia yang berlimpah ini bisa disebut sebagai sebuah kelemahan.
Kelemahan organisasional NU tersebut kemudian dibaca oleh ‘kelompok lain’, lalu diambil manfaatnya untuk pembesaran ‘kelompok lain’ itu. Bagi ‘kelompok lain’ tersebut, tentu saja potensi sumber daya manusia NU yang terlantarkan itu merupakan sebuah keuntungan besar yang bisa diserap. Ia bagaikan ‘durian runtuh’ di halaman rumah sendiri dari pekarangan tetangga.
Salah satu contoh dari ‘kelompok lain’, sebagaimana dimaksud di atas, adalah Partai Keadilan, baik yang masih pra-Sejahtera (baca: PK) maupun yang sudah Sejahtera (baca: PKS). Informasi dari sumber terpercaya yang menjadi salah satu deklarator PK/PKS penting untuk dikutip. Karena, informasi itu menjadi salah satu temuan penting dari karya akademik yang bersangkutan dalam bentuk disertasi yang dikerjakannya selama menjadi mahasiswa pascasarjana di
Menurut sumber itu, lapisan kedua dari partai yang kini bernama PKS itu dihuni oleh kalangan yang berlatar belakang NU. Jumlahnya pun cukup fantastis. Yakni, 70 persen. Jadi, partai politik yang sukses mengalami peningkatan perolehan suara dari 1,4 persen pada Pemilu 1999 menjadi 7,3 persen pada Pemilu 2004 ternyata juga digerakkan oleh sumber daya manusia yang lahir dari rahim NU.
Tentu penting untuk dicatat, munculnya sumber daya manusia berlatar belakang NU dalam lingkungan PKS bukanlah tanpa pemikiran terencana partai politik dimaksud, atau seperti yang diartikulasikan oleh kalimat suci min haitsu la yahtasib (tanpa diperkirakan bagaimana datangnya). Melainkan, melalui pemikiran matang dalam bentuk mekanisme pengkondisian. Kendaraan yang dipakai adalah sentrum-sentrum sosial pendidikan (baca: pengajian) yang banyak dikenal dengan nama kelompok usroh, halaqoh, dan tarbiyah.
Fakta di atas memang sangat ironis, namun penting untuk menjadi sebuah otokritik. Sumber daya manusia yang potensial di atas lahir dan berproses awal dalam lingkungan tradisi NU. Namun kemudian terkondisikan dalam lingkungan sosial yang menjadi mesin sosial politik ‘kelompok lain’, seperti di antaranya PKS. Kata kunci dari persoalan ini adalah tak terawatnya potensi internal sumber daya manusia NU yang kian hari kian membesar.
Dalam konteks inilah, posisi Cabang Istimewa NU harus diletakkan. Keberadaan organisasi NU di luar negeri, atau yang lebih dikenal dengan Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU, memiliki peran dan posisi yang sangat penting dalam rangka merawat potensi sumber daya manusia yang sedang beraktivitas di luar negeri. Mulai dari studi hingga kerja profesional. Untuk kasus studi, terhitung mulai tingkat sarjana hingga pascasarjana. Untuk kasus kerja profesional pun, terbilang mulai dari profesi sebagai dosen tetap perguruan tinggi luar negeri hingga dalam posisi tugas sebagai bagian dari korps diplomatik RI di luar negeri.
Tentu saja, kalau dirawat dengan baik, potensi-potensi sumber daya manusia yang besar dan beragam ini menjadi kekuatan tersendiri bagi NU sebagai sebuah organisasi. Kekuatan itu bisa dilihat dari dua perspektif: intelektualisme Islam dan ekonomi politik.
Intelektualisme Islam
Dari sisi intelektualisme Islam, salah satu kekuatan yang dimiliki oleh NU adalah berkembangnya tradisi atau budaya intelektual yang bersifat perpaduan dari beberapa komponen. Atau, dalam bahasa Hairus Salim dan Muhammad Ridwan disebut dengan istilah ‘kultur hibrida’ (Lihat Hairus Salim dan Muhammad Ridwan (ed), Kultur Hibrida, 1999).
Proses negosiasi kreatif antara normativitas Islam yang diwahyukan melalui instrumen kultural kemanusiaan masyarakat Arab dan historisitas masyarakat Islam dalam babakan sejarah panjang, termasuk dalam sentuhan nilai kultural lokal
Saya harus menyebut fakta keislaman NU yang moderat, akomodatif, dan ‘ramah lingkungan’ dengan kultur hibridanya tersebut sebagai sebuah kekayaan NU dalam wilayah intelektualisme Islam. Kekayaan intelektualisme Islam seperti ini akan semakin mengalami penguatan dengan terorganisasinya secara apik sumber daya manusia yang dimiliki.
Sumber daya manusia NU yang sedang berada di luar negeri memiliki latar belakang yang beragam. Untuk konteks latar belakang intelektual akademik, sebagai misal, sumber daya manusia NU yang, dalam kasus studi lanjut, sedang menempuh studi di luar negeri memiliki training akademik yang variatif.
Variasi ini secara mudah bisa dicarikan buktinya melalui keberadaan PCI yang sudah dimiliki NU hingga saat ini. Tidak kurang dari 15 PCI yang sudah berdiri dan menjadi kekayaan NU di luar negeri, tersebar mulai dari Timur Tengah, Eropa hingga Australia-New Zealand.
Mari kita buat simplifikasi pemetaan atas kecenderungan training akademik di wilayah-wilayah PCI NU di atas. Sebut saja, sebagai misal, training akademik yang didapatkan oleh anggota NU di Timur Tengah memiliki kelebihan dari sisi tradisi kajian normatif Islam. Mereka yang sedang belajar di sistem pendidikan non-Timur Tengah mengalami training akademik yang menonjolkan kajian historis. Pemetaan ini, sekali lagi, adalah simplifikasi namun penting untuk dilakukan sebagai sebuah permisalan analitis.
Kalau tradisi intelektual yang disemai secara berbeda melalui training akademik seperti di atas mengalami perpaduan di tangan-tangan anggota NU, bisa diharapkan bahwa intelektualisme Islam yang akan berkembang ke depan di kalangan NU secara khusus dan di internal Islam
Political Economy
Sebagai sebuah perspektif, salah satu kekuatan teoritik kajian ekonomi politik adalah idealisasnya terhadap adanya interaksi yang kreatif di antara sejumlah relasi sosial, termasuk di dalamnya relasi kuasa, dari komponen produksi, distribusi, dan konsumsi (Caporaso dan Levine, 1992: 1-5; Browning dan Kilmister, 2006; Vincent Mosco, 1996: 25). Relasi kuasa yang dicakup oleh kajian ini meliputi relasi antara rakyat dan negara, dan antar sesama anggota masyarakat melalui mekanisme transaksi sosial.
Dalam konteks relasi rakyat dan negara, NU sering tidak diuntungkan, atau bahkan mengalami marginalisasi, oleh birokrasi. Dalam bahasa sederhana para kyai, NU (baik secara jama’ah maupun jam’iyah) tak ubahnya seperti pendorong mobil mogok. Ketika mobil sudah bisa terdorong dan berhasil dikendarai, sang pendorong justru tertinggal (untuk tidak mengatakan sengaja ditinggalkan) di belakang dan tak turut serta dalam pergerakan mobil itu.
Tanpa harus menggunakan perspektif dan teori konspirasi, hal di atas dipicu oleh sebuah sebab yang mencolok. Yakni, terbatasnya sumber daya manusia kalangan NU untuk bisa masuk ke dalam lingkaran birokrasi yang memiliki logika dan rasionalitas sendiri. Salah satunya adalah keharusan atas kepemilikan keahlian yang bukti formalnya diperoleh melalui mekanisme pendidikan formal.
Seiring dengan perkembangan waktu dan pola pemberdayaan internal jama’ah dan jam’iyah NU, baik langsung maupun tidak langsung, sumber daya manusia yang dimiliki oleh ormas Islam terbesar di
Naiknya status ekonomi waga NU menjadi daya dukung bagi menguatnya sumber daya manusia NU tersebut. Karena itu, relasi antar sesama anggota masyarakat cenderung bisa terjadi secara seimbang antara warga NU dan lainnya. Pada proses lanjutan, penguatan kapasitas ekonomi warga NU semakin mendorong mereka untuk mengejar pendidikan setinggi mungkin.
Di sinilah peran dan posisi PCI NU harus dimaksimalkan. PCI NU harus bisa menjadi salah satu mesin katalisasi dari penguatan kapasitas ekonomi politik NU. Melalui perawatan sumber daya manusia NU yang sedang berada di luar negeri, PCI NU berkontribusi pada proses konsolidasi kekuatan potensi sumber daya manusia dimaksud. Sehingga, sumber daya manusia yang sedang, dan bahkan sudah, mengalami pemberdayaan tidak jatuh di tangan perawatan ‘kelompok lain’.
NU harus belajar dari pengalaman sejarahnya sendiri, tidak saja masa lalu tapi juga yang sedang dijalaninya. Dirawatnya sejumlah potensi sumber daya manusia yang lahir dan berproses awal dalam lingkungan tradisi NU oleh PKS, sebagai contoh ‘kelompok lain’, memang bisa dibilang sebuah ‘kecelakaan sejarah’ yang telah terjadi. Tapi, masa depan masih terbentang panjang di hadapan NU. Dan, keberadaan PCI NU yang tersebar di berbagai kawasan di dunia sangat penting untuk merawat potensi sumber daya manusia dari negeri seberang.
Tugas yang tersisa kemudian adalah keharusan bagi organisasi NU di Indonesia untuk melakukan intensifikasi dan sekaligus sofistikasi perawatan potensi, termasuk terhadap anggotanya yang telah kembali dari luar negeri. Tak kalah pentingnya juga, NU harus memikirkan perawatan potensi sumber daya manusianya yang telah mengalami mobilisasi vertikal menuju stratifikasi kelas menengah. Sebab, komunitas kelas menengah baru yang berada dan tinggal di kawasan perumahan hunian baru, sebagai misal, belum banyak tersentuh selama ini oleh pergerakan organisasi NU.
Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya, kandidat PhD di University of Queensland Australia, A’wan Syuriah Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU ANZ (Australia dan New Zealand)