leh Mutimmatun Nadhifah
Tak bisa dipungkiri Nahdlatul Ulama (NU) telah mengalami gerak ke arah kemajuan, khususnya literasi. Kemajuan dalam NU bisa diketahui bagaimana kaum muda NU yang mulai menyadari bahwa warisan-warisan ulama NU tentang kesadaran literasi melalui kitab kuning harus dipertahankan bahkan harus dikomparasikan dengan berbagai keilmuan pada zaman mutakhir sekarang.<>
Usaha membentuk, merawat, mengubah, mewariskan, atau mengkekalkan ilmu belum rampung sampai hari ini. Orang bisa memilih pelbagai bentuk dan jalan sesuai dengan situasi pertimbangan zaman dan implikasi substansial atas persemaian ilmu sepanjang masa. Sebaran ilmu pada masa lampau dilakukan dengan lisan dan menentukan pola ingatan sebagai benteng keilmuan. Pola itu perlahan mengalami perubahan karena zaman berubah dan nalar imajinasi manusia pun menapaki jenjang-jenjang peradaban literasi. Mungkin begitu juga yang dirasakan oleh kaum muda NU pada saat ini sehingga mereka harus bertindak untuk mengembangkan keilmuan dan pengesahan terhadap NU melalui literasi selain tradisi lisan.
Penerbit Kitab Kuning
Ada banyak penerbit kitab kuning yang terus menyebarkan literasi di pesantren untuk mengajak dan melatih santri menjadi masyarakat pesantren yang mempunyai keberimanan dalam membaca. Tentu orang-orang NU dan pesantren akan mengenang banyak penerbit kitab kuning yang dingaji-dikaji di pesantren. Kita bisa mengingat kitab kuning diproduksi oleh berbagai penerbit seperti Nurul Huda Surabaya, Al-Hidayah Surabaya, Thaha Putra Semarang, Hasyim Putra Semarang, dan seterusnya. Kitab kuning bertebaran di pesantren mulai dari kitab nahwu, sharraf, balaghah, fiqh, hadits sampai pada kitab tafsir dan filsafat. Kelebihan pesantren memang ada dalam pembelajaran tentang ilmu melalui membaca dan itu diakui Dawam Rahardjo (1974) dalam makalahnya Gambaran Pemuda Santri. Dawam Rahardjo menjelaskan bahwa kebebasan yang bisa mendorong kreativitas adalah bagian dari kelebihan pesantren. Sistem pendidikan pesantren mengajarkan ilmu dengan membaca dan santri diberi kebebasan untuk mengajukan sebuah topik untuk diterangkan dan menjadi pembahasan dalam sebuah forum.
Pada perkembangan sekarang, yang berbasis pada huruf Latin, kita melihat LKiS, Pelangi Aksara Yogyakarta dan berbagai penerbit yang ada di bawahnya seperti Pustaka Sastra dan Pustaka Pesantren, dan lain-lain. Di Jawa Timur ada penerbit Khalista yang cukup banyak menerbitkan buku-buku ke-NU-an, dan masih banyak lagi penerbit lainnya. Berbagai penerbit ini telah menjadi agen penyebaran literasi NU melalui berbagai keilmuan mutakhir. Melalui ilmu-imu keislaan, sastra, filsafat, sosial, politik, ekonomi, yang ditulis oleh berbagai kalangan dari NU sampai ilmuwan luar negeri, NU menjadi organisasi literasi. Penyebaran literasi dari berbagai penerbit itu telah memberikan pengesahan tentang NU yang sebenarnya. NU adalah organisasi yang dibentuk melalui jihad membaca, juga menulis.
Ulama-ulama NU adalah ulama yang hidupnya diperuntukkan untuk kepentingan dan kecerdasan umat. Kita bisa melihat bagaimana ketekunan belajar itu terjadi di antara para ulama dan santri pada masa lalu. Kisah KH. Saifuddin Zuhri dalam buku Guruku, Orang-Orang Dari Pesantren (2001) telah memberikan penjelasan yang cukup mengagetkan tentang KH. Hasyim Asy’ari yang menggandrungi dunia baca. Dan yang lebih membuat kaget lagi tentang santri Tebuireng yang pada masa Perang Diponegoro itu memenuhi masjid dengan bacaan asing. Santri pada masa itu telah menggandrungi surat kabar baik dalam bahasa Indonesia, Arab dan juga Belanda.
Merespon Zaman
Zaman yang terus berubah juga menunggu respons pemuda-pemudi dari pesantren. Pemuda-pemuda pesantren memang sebagai pelaksana cita-cita, sambil membuka mata dan telinga lebar untuk melihat pergolakan zaman. Kepekaan harus dimiliki untuk tetap menjalin solidaritas di tengah keberagaman ideologi yang terus bermunculan. Kaum muda NU yang menggerakkan NU dengan literasi tentu mereka tidak hanya akan mengakui NU sebagai bagian dari hidup mereka tanpa bertindak apa-apa.
Kaum muda NU dari penerbit LKiS tentu tak akan mengesahkan pengakuan mereka terhadap NU melalui beberapa agenda yang kadang menimbulkan konflik di masyarakat. Kita tentu melihat bagaimana NU mengalami benturan dengan berbagai organisasi masyarakat yang lain. Pluralisme ideologi yang terus bermunculan yang kemudian membentuk adanya sebuah organisasi masyarakat tentu semakin memberikan pemahaman kepada kaum muda NU bahwa NU adalah urusan ngaji, mengkaji, dan menulis. Dan hanya langkah itulah yang mampu untuk mencerdaskan masyarakat.
Kelompok yang mempunyai visi kemajuan akan memberikan penjelasan agar pernyataan yang sering menjadi keputusan dalam NU dapat diterima oleh masyarakat secara luas. Argumen-argumen yang dikemukakan murni sebagai bentuk tanggungjawab bahwa amanat ilmiah ada di pundak umat Islam. Jalan untuk mengkomparasikan antara ilmu klasik dan modern terus dilakukan. Banyaknya pemuda NU yang melanjutkan ke universitas-universitas di Barat itu telah menunjukkan adanya geliat untuk melebarkan sayap keilmuan yang ada dalam NU dan pesantren.
Zaman yang terus berubah menyadarkan bahwa sistem pembelajaran dan dakwah terhadap masyarakat tidak bisa selalu disamakan dengan masa silam. Masyarakat juga mempunyai hak untuk berpendapat. Masyarakat tak hanya selalu dijadikan objek dalam sebuah dakwah tapi masyarakat juga mempunyai hak untuk menjadi subjek dakwah. Dan itu telah dilakukan oleh kaum muda NU dengan melakukan penyebaran literasi sebagai bentuk dakwah bi al-kitabah (tulisan) yang memberikan hak kepada siapa saja untuk melakukan dakwah dan kritik.
Mutimmatun Nadhifah, mahasiswa Tafsir Hadits IAIN Surakarta, bergiat di Bilik Literasi Solo dan Pengajian Selasa Siang