Pada tahun 1975 keluarga Pak Sartono pindah rumah yang terletak persis di sebelah barat Pondok Lor yang merupakan bagian dari Pondok Pesantren Al-Muayyad Solo. Rumah itu sebelumnya milik Pak Herli. Ia seorang muslim yang taat. Karena pindah dinas, Pak Herli menjual rumah itu dan jatuh kepada Pak Sartono yang seorang pendeta Kristen Protestan. Di sebelah utara Pondok Lor adalah rumahku. Dengan kata lain Pondok Lor dan rumahku bersebelahan persis dengan rumah Pak Sartono.
Kepindahan Pak Sartono dan keluarganya ke sebelah barat pondok ini sejak awal tidak pernah dipersoalkan. Mbah Kiai Umar Abdul Mannan selaku pengasuh pondok juga tidak pernah mempersoalkannya. Hubungan pondok dan keluargaku dengan keluarga pendeta ini cukup baik. Hal yang masih aku ingat dengan baik hingga saat ini adalah saat Natal di tahun-tahun pertama bertetangga dengan keluargaku dan pondok.
(Baca juga: Belajar Kerukunan dari Masjid dan Gereja di Surakarta)
Selama beberapa tahun keluargaku dan beberapa santri pondok sering mendapat kiriman dari keluarga Pak Sartono berupa roti atau nasi beserta lauknya, seperti ingkung ayam. Kami yang masih anak-anak usia belasan tahun waktu itu senang sekali mendapat kiriman itu karena makanannya enak dan bergizi meskipun ada yang mengatakan bahwa nasi atau roti itu adalah sebagai simbol daging Yesus, sedangkan minumannya adalah darahnya.
Mendengar keterangan yang entah dari mana asalnya itu kami tidak ambil pusing. Kami tidak mempersoalkan hal-hal yang bersifat teologis semacam itu. Bagi kami, masalah itu adalah urusan mereka. Kami hanya melihat roti, nasi, lauk dan minuman itu tak lebih dari sekadar benda-benda duniawi untuk menghilangkan rasa lapar dan haus secara fisik. Bagi kami nasi ya nasi. Roti ya roti. Teh ya teh. Tidak lebih dari itu. Innamal a”mâlu bin niyyât (setiap amal tergantung niatnya).
Jadi bagi kami tak ada masalah. Kami bahkan merasa senang dan bersyukur mendapat rezeki itu karena memang masakannya enak. Persoalan halal apa tidak masakan itu, kami tidak meragukan kehalalannya karena kebetulan pembantu sekaligus juru masak Pak Sartono, yakni Mbok Tuk, adalah seorang muslimah yang dulu sewaktu masih kecil juga belajar mengaji di pondok.
Begitulah hubungan baik kami antara santri-santi pondok dengan keluarga Pak Sartono di saat natal. Persoalan-persoalan teologis menjadi urusan masing-masing. Lakum dînukum waliya dîn (bagi kalian agama kalian, bagiku agamaku). Persoalan kemasyarakatan menjadi urusan bersama yang harus dijaga dengan baik. Semua itu telah menjadi kenangan manis bagi kami generasi “zaman old” yang mungkin menarik untuk diceritakan kepada generasi “zaman now”.
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta