Opini

Narkoba di Pesantren? Upaya Membaca Ulang Peran Pesantren

Rabu, 16 Maret 2016 | 09:00 WIB

Oleh Asmawi Mahfudz
Menanggapi pernyataan Komjen Budi Waseso di beberapa media bahwa narkoba sudah masuk di Pesantren, penulis merasa tergugah untuk mengevaluasi diri dan menyatakan apakah sudah sedemikian parahnya narkoba di Indonesia, atau berita itu hanya sekadar isu yang perlu pembuktian dan pengumpulan barang bukti nyata? 

Sejauh pengalaman penulis selama menjadi santri, pengurus pesantren, pengajar sampai kepada sekarang mendapat amanat (ketiban sampur) untuk meneruskan pengelolaan Pondok Pesantren al-Kamal Blitar Jawa Timur. Mulai dari tahun 1990-an sampai sekarang penulis mulai masuk dalam dunia pendidikan Pesantren. Terdapat dinamika di dalamnya, keunikan institusi, sistem belajar mengajar, aktualisasi ilmu (dakwah bil hal) yang dilakukan oleh pesantren sampai relasi hubungan pesantren dengan masyarakat sekitarnya.      

Pesantren adalah institusi tertua, yang menjalankan fungsi dan peran sebagai lembaga persemaian ajaran Islam di Indonesia. Sejak pertama kali Islam menginjakkan kaki di Indonesia, nampaknya para muballigh (penyebar) Islam telah memilih pesantren untuk menyampaikan ajaran-ajarannya. Ini tidak terlepas dari strategi para mubaligh tersebut, yang memandang bahwa penyampaian ajaran Islam ala pesantren lebih efektif, diterima, efisien, dan mempunyai kelebihan-kelebihan lain dibanding sistem yang lain. Misalnya dakwah dengan retorika saja, dengan uswah (contoh) saja, atau dengan pengajian bandungan saja. Pesantren nampaknya mengakomodasi semuanya demi terwujudnya sebuah sistem pengajaran Islam yang dapat diterima karakter orang Indonesia dengan Islam berwatak rahmatan lil alamin (memberi kasih sayang pada semua makhluk).

Sejak Islam datang abad ke-7 M, pesantren juga memulai dakwahnya. Ini berarti sudah 14 abad pesantren memulai dakwahnya di Indonesia. Dengan perjalanan panjang itu tentunya ditemui hambatan, tantangan, dukungan dari berbagai elemen masyarakat di Indonesia. Mungkin tantangan dihadapi dari para penganut agama yang berbeda agama dan keyakinan, dari elemen tokoh masyarakat setempat, para penguasa tokoh politik yang berseberangan dan lain sebagainya. Dari berbagai tantangan yang berasal elemen masyarakat itu, nampaknya  pesantren dapat menyikapinya dan menyelesaikannya tanpa ada gejolak konflik yang berarti. maknanya pesantren dilihat dari satu sisi teruji dari berbagai tantangan dan tentangan yang dihadapinya. 

Wacana itu mungkin kacamata pesantren pada zaman awal Islam masuk di Indonesia, yang disampaikan oleh para mubaligh unggul yaitu para sunan yang berjumlah sembilan orang (Wali Songo), mulai dari Sunan Ampel Raden Rahmatullah sampai periode Sunan Muria. Sikap dan strategi seperti yang dilakukan Wali Songo inilah yang perlu dijadikan qudwah (contoh) oleh para pengelola pesantren di era-era selanjutnya. Mereka menyampaikan ajaran Islam dengan santun, kolaboratif dengan masyarakat, akomodatif, yang mencerminkan misi Rasulullah yang ketika menyampaikan ajaran Islam dengan berbekal akhlakul karimah.

Di lihat dari perspektif kekinian, permasalahan dunia tabligh sudah semakin komprehensif. Mulai dari masalah persatuan umat yang semakin mengkhawatirkan, munculnya aliran-aliran baru yang membuat dakwah tidak hanya keluar tetapi juga bisa ke dalam (internal) untuk meluruskan ajaran-ajaran yang sekira dapat membahayakan umat Islam. Juga masalah sekularisme, efek dari prinsip hidup materialisme dan kapitalisme yang akhirnya menimbulkan perilaku liberal dalam diri umat Islam. Masalah materialisme ini pun pada akhirnya juga membuat ghirah (semangat) para da’i semakin berkurang, dikarenakan segala sesuatu diberi perpektif materi dan duniawiyah. Masalah politik yang semakin hari juga terus mendominasi khazanah perdebatan umat Islam di Indonesia. Untuk itu tantangan dunia Islam Indonesia sekarang ini sudah sangat berat sekali. Membutuhkan etos dan strategi yang juga komprehensif dalam menghadapi serta menyelesaikan masalah-masalah umat itu.

Pesantren dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya dituntut untuk berperan lebih aktif dalam menyelesaikan problematika umat Islam khususnya di Indonesia. Mulai masalah politik, ekonomi, sosial, kemiskinan, ketidak adilan, seperti yang telah di praktikkan oleh para penyebar Islam di Indonesia ketika mengaktualisasikan ajaran Islam dalam bumi Nusantara. Ruh dan semangat perjuangan yang di praktikkan oleh Wali Songo sebagai model yang patut diteladani, di iringi dengan penyempurnaan-penyempurnaan disesuaikan dengan kondisi kekinian. Taruhlah dunia modern sekarang ini, pesantren dihadapkan dengan berbagai  tantangan terkait dengan materi pendidikan yang di sampaikan, perkembangan teknologi informasi dan ilmu pengetahuan yang semakin pesat, kebijakan-kebijakan politik pendidikan, juga masalah hubungan pesantren dengan masyarakat sekitarnya.

Dalam bidang materi ilmu yang disampaikan, kerapkali terjadi bias. Antara kandungan materi yang di sampaikan dengan kompetensi yang diharapkan oleh para pengasuh pesantren. Idealisme para pengasuh pesantren (kiai atau ustadz) santri diharapkan menjadi sosok pejuang (dai) yang serba bisa untuk terjun di masyarakatnya masing-masing. Mungkin ada yang menjadi praktisi pendidikan, politisi, ekonom, pengusaha, dokter, petani dan lain-lain. Tetapi kandungan materi kurikulum pesantren masih, terikat dengan madhab tertentu, ilmu-ilmu ubudiyah an sich, fiqih, nahwu. Yang itu semuanya sebenarnya hanya dapat menyelesaikan problematika umat yang berhubungan dengan sebagian dari ilmu Agama Islam saja, di luar masalah agama, para santri bisa jadi tidak mampu untuk menyelesaikannya atau menghindar untuk menyikapinya. Karena dalam masalah ke-Islaman saja, kadang juga harus melibatkan ilmu-ilmu lain di luar ilmu keIslaman, untuk menambah pendekatan atau perspektif sehingga masalah-masalah keIslaman lebih bisa diselesaikan dengan komprehensif. Contoh yang nyata mungkin  adalah untuk menemukan status hukum tentang dunia perbankan kita, tidak dapat hanya dengan perspektif fiqih saja, melainkan juga harus melibatkan ilmu-ilmu sosial, ekonomi, praktisi ekonomi, sehingga status hukum yang diambil dalam ajaran Islam lebih tepat sasaran dengan sesuai dengan nilai-nilai keadilan yang menjadi ruh (esensi) dari transaksi ekonomi Islam itu sendiri.

Berhubungan dengan ilmu manajemen tidak bisa pesantren hanya mengandalkan seorang figur kiai yang mempunyai banyak keterbatasan sebagai manusia biasa, juga harus melibatkan partisipasi elemen masyarakat di luar pesantren. Misalnya para stakeholder yang ada di sekitar pesantren, meliputi pengusaha, politisi atau pejabat setempat, masyarakat secara umum, praktisi-paktisi dalam berbagai bidang kehidupan.  Dengan adanya  hubungan yang nyata dari berbagai pihak, pesantren akan lebih mampu melibatkan diri dalam berbagai posisi-posisi strategis di masyarakat sehingga akan lebih berperan sesuai dengan fungsinya yang rahmatan lil alamin. Pesantren bisa memposisikan sebagai praktisi pendidikan, kekuatan politik di masyarakat, sebagai institusi atau simbol keagamaan yang selalu dinilai luhur oleh masyarakat sekitarnya, dan pesantren sebagai anggota masyarakat secara umum.

Untuk itu pengelolaan pesantren dalam perspektif kekinian membutuhkan inovasi, akselerasi, dan kreativitas oleh berbagai pihak dalam rangka memperbaiki peran-peran, strategi, muatan materi dan managemen yang diterapkan di Pesantren, untuk mewujudkan institusi pesantren yang menjalankan berbagai  fungsinya di tengah-tengah masyarakat global.

Apalagi kalau dihadapkan dengan dinamika perpolitikan di Indonesia akhir-akhir ini, kehidupan kebangsaan dan ketatanegaraan kita seolah-olah juga mengalami perubahan yang sampai ke sendi-sendinya. Sistem politik yang mengarah kepada demokrasi liberal memberikan ruang yang sangat lebar bagi warga Negara Indonesia untuk mengekspresikan aspirasi politiknya. Akhirnya elemen-elemen masyarakat Indonesia menyampaikan suara politiknya melalui jalur-jalur partai politik yang di prediksi dapat menerima dan melaksanakan unek-uneknya. Bagi umat nasara atau Kristen katolik menyampaikan aspirasinya kepada parpol yang sekeyakinan, bagi umat Islam menyampaikan kepada parpos yang mempunyai jargon Islam, bagi yang nasionalis, juga sama menyampaikan suara politiknya kepada parpos yang nasionalis. Tak ketinggalan adalah lembaga pesantren menyampaikannya kepada parpol yang notabene dapat mem-backup pendidikan pesantren. 

Untuk kasus yang terakhir pesantren dituntut untuk jeli dan hati-hati untuk menentukan sikap politiknya. Jangan sampai pesantren didekati oleh partai-partai politik hanya sekedar menjadikannya lumbung suara, tetapi tidak diimbangi dengan kebijakan-kebijakan politik yang berpihak kepada pesantren. Sikap politik yang ikhtiyath (hati-hati) dengan mengakomodasi semua partai politik yang ada, akan lebih bermanfaat dan dapat menanamkan sikap mengayomi semua golongan, disbanding dengan fanatik dengan partai politik tertentu, tetapi di belakang hari tidak memberikan kemaslahatan kepada umat Islam secara keseluruhan (kaffah).

Problematika Sikap politik pesantren akhir-akhir ini kadang menjadikan lembaga itu menjadi tujuan para pemimpin-pemimpin parpol mencari dukungan dan legitimasi politik untuk mencari simpati umat Islam secara keseluruhan. Semakin besar sebuah pesantren, dengan jumlah santri-alumni banyak, semakin sering pesantren dan pengasuhnya menerima tamu dari parpol-parpol. Tetapi di sisi lain juga akan menimbulkan mis persepsi dari umat Islam awam yang berada di akar rumput (grass root). Mereka akan bingung untuk menetapkan hati kepada panutan figur pesantren yang diikutinya. Kadang pesantren menerima tamu dari parpol nasionalis, kadang agamis atau malah kadang non muslim. Pemikiran orang awam semacam ini adalah wajar, hanya saja melakukan pendidikan politik umat dengan diimbangi dengan pencerahan sikap politik yang dibawa oleh pesantren, akan lebih memposisikan pesantren sebagai primadona bagi semua golongan yang ada di Indonesia.    

Akhirnya pesantren dalam konteks sekarang sebenarnya sudah menempatkan dirinya sebagai institusi yang multitalenta. Pesantren dapat memposisikan diri sebagai lembaga pendidikan, juga bisa masuk ranah politik, bidang ekonomi, sosial dan lain-lain. Pesantren yang semula hanya sebagai penyampai ajaran Islam secara formal ubudiyah, nampaknya dengan dinamika kehidupan pesantren dengan berbagai tantangannya, merubahnya menjadi sebuah lembaga yang melaksanakan program-program pemberdayaan umat dari berbagai bidang. Ini terbukti dengan adanya lembaga ekonomi di pesantren seperti koperasi, juga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), politisi, advokat (praktisi hukum), dokter rumah sakit dalam keluarga pesantren, teknokrat dan lain sebagainya. Semoga dengan paradigma pesantren yang berubah ini juga diikuti oleh semua elemen masyarakat dalam memberikan perspektif tentang pesantren, baik oleh internal pesantren sendiri maupun orang-orang yang berada di luar (eksternal) pesantren. Sehingga pesantren yang umurnya sudah tua itu menemukan relevansinya dalam memberikan kontribusi kepada kehidupan umat Islam di Indonesia secara khusus, maupun umat Islam secara keseluruhan, atau bahkan memberikan manfaat bagi seluruh alam, rahmatan lil alamin. Wallahu a'lam bisshawab.

Penulis adalah Pengasuh Pondok Pesantren Al-Kamal Kunir Blitar, Jawa Timur, Pengajar di IAIN Tulungagung, Email: asmawi_mahfudz@yahoo.com.


Terkait