Opini

Merespon Penundaan RUU Sistem Perbukuan

Sabtu, 15 April 2017 | 04:00 WIB

Oleh Suwendi

Rapat paripurna DPR RI pada Selasa, 11 April 2017 dengan agenda pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Perbukuan akhirnya ditunda. Dalam sidang itu, Ketua Komisi X DPR RI, Teuku Riefky Harsya, dalam Rapat Paripurna menjelaskan perlunya mensinkronisasi mengenai buku-buku agama yang belum melibatkan Kementerian Agama (Parlementaria.com/11 April 2017). Menurut hemat penulis, keputusan penundaan atas pengesahan ini patut diberikan apresiasi dan “acung jempol” sebagai tanda pilihan yang terbaik. Mengapa demikian? 

Ada sejumlah alasan persetujuan penulis terhadap penundaan ini. Pertama, jika melihat draft RUU Sistem Perbukuan itu maka sama sekali dapat dilihat secara kasat nyata bahwa tidak ada kewenangan atau keterlibatan apapun bagi Kementerian Agama dalam persoalan perbukuan ini. Draft RUU yang terdiri atas XII Bab dan 72 pasal ini sama sekali tidak menyebutkan buku pendidikan agama dan pendidikan kegamaan, terlebih lagi Kementerian Agama. 

Padahal, persoalan buku bukan hanya didasarkan atas ketersediaan buku yang bermutu, murah, dan merata an sich, namun juga buku yang mampu mengantisipasi bangkitnya gerakan radikalisasi agama yang justeru belakangan banyak dilakukan melalui buku-buku agama. Oleh karenanya, persoalan buku bukan hanya mengenai keterjangkauan secara harga atau pemerataan akses, namun juga memuat antisipasi maraknya ideologi radikal yang dilakukan melalui dunia perbukuan. 

Kini telah jamak ditemui di lapangan buku ajar pendidikan agama di sekolah dan perguruan tinggi umum yang mengajarkan intoleransi dan kekerasan atas nama agama. Bahkan, sejumlah buku-buku keagamaan dan kitab yang biasa dikaji di pesantren pun telah dilakukan tahrif al-kutub (penyelewengan kitab) baik dengan media cetak lebih-lebih dengan media digital. Tahrif al-kutub dilakukan oleh kelompok tertentu demi untuk disesuaikan dengan ideologi radikalnya. Oleh karenanya, konsentrasi mengenai buku-buku pendidikan agama dan pendidikan keagamaan semacam ini patut untuk dilakukan, tentunya itu menjadi domainnya Kementerian Agama. Selain Kementerian Agama, tidak ada kementerian atau lembaga lain yang menjalankan fungsi di bidang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan itu.

Kedua, secara regulasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang kemudian diturunkan ke dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, bahkan diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, secara terang benderang persoalan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan itu menjadi kewenangan Kementerian Agama. 

Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan. Wujud dari pendidikan agama ini adalah mata pelajaran dan mata kuliah pendidikan agama pada layanan sekolah dan perguruan tinggi (SD, SMP, SMA, SMK dan Perguruan Tinggi Umum). Mulai penentuan kurikulum hingga menggandakan serta menyebarkannya sesunguhnya, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007, menjadi otoritasnya Kementerian Agama.

Demikian juga halnya dengan pendidikan keagamaan, ia bertujuan untuk menghasilkan peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif, inovatif, dan dinamis. Dalam konteks pendidikan keagamaan Islam, misalnya, pendidikan ini diarahkan untuk menghasilkan kyai atau pimpinan keagamaan yang memiliki pemikiran dan wawasan keagamaan yang luas yang dihasilkan melalui kajian kitab kuning dan literatur keagamaan lainnya dan diselenggarakan melalui pondok pesantren, madrasah diniyah takmiliyah, pendidikan Alquran dan lembaga pendidikan keagamaan Islam lainnya. Lagi-lagi, yang menangani ini semua adalah Kementerian Agama.

Atas dasar sejumlah regulasi itu, Kementerian Agama memiliki kewenangan yang begitu kuat dalam hal penyelenggaraan perbukuan ini. Jika Kementerian Agama absen atau diabsenkan melalui draft RUU Sistem Perbukuan ini sangat dimungkinkan ”malapetaka” akan menimpa pada bangsa ini, yakni setidaknya sejumlah mata pelajaran dan/atau mata kuliah pendidikan agama dan literatur pada lembaga pendidikan keagamaan akan tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Ketiga, secara faktual, Kementerian Agama melakukan layanan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan melalui 5 (lima) unit eselon 1 (satu), yakni Ditjen Pendidikan Islam, Ditjen Bimas Kristen, Ditjen Bimas Katolik, Ditjen Bimas Hindu, dan Ditjen Bimas Budha. Kementerian Agama telah memberikan kontribusinya yang tidak sedikit dalam penyelenggaraan pendidikan nasional ini. 

Jika dilakukan perbandingan, Kementerian Agama itu menyelenggarakan layanan pendidikan sebagaimana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ditambah dengan layanan pendidikan yang dilakukan oleh Kemenristek-Dikti. Kementerian Agama tidak hanya melayani satuan pendidikan mulai jenjang PAUD, pendidikan dasar dan pendidikan menengah, melalui jalur formal, nonformal dan informal, sebagaimana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tetapi juga melayani perguruan tinggi, sebagaimana Kemenristek-Dikti. 

Khusus untuk Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, berdasarkan data EMIS Kementerian Agama, Direktorat Jenderal ini mengelola, membina, dan memfasilitasi sejumlah nomenklatur pendidikan yang secara akumulatif berjumlah 533.264 lembaga, dengan 2.844.149 pendidik dan 61.905.936 peserta didik. Secara terinci, data-data tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. 

Pertama, jenis pendidikan umum yang berciri khas Islam pada jalur formal jenjang pendidikan dasar dan menengah, berupa RA (Raudlatul Athfal), MI (Madrasah Ibtidaiyah), MTs (Madrasah Tsanawiyah), dan MA (Madrasah Aliyah). Berdasarkan data EMIS (Education Management Information System) Ditjen Pendidikan Islam tahun 2016, secara keseluruhan keempat lembaga ini berjumlah 77.336lembaga, dengan jumlah guru sebanyak 820.835jiwa, dan jumlah siswa sebanyak 9.252.437 anak. 

Kedua, jenis pendidikan keagamaan Islam pada jalur formal jenjang pendidikan dasar dan menengah. Untuk jenis pendidikan ini terdiri atas SPM (Satuan Pendidikan Muadalah) dan PDF (Pendidikan Diniyah Formal). Berdasarkan data sementara, jumlah lembaga ini secara keseluruhan berjumlah 112 lembaga dengan jumlah ustad sebanyak 2.240 dan santri sebanyak 48.913jiwa. 

Ketiga, jenis pendidikan keagamaan Islam pada jalur formal jenjang pendidikan tinggi, yakni Universitas, Institut, Sekolah Tinggi, dan Ma’had Aly. Berdasarkan data EMIS, secara keseluruhan jumlah PTKI (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam) sebanyak 712 lembaga, dosen setidaknya berjumlah 440,142 orang dan mahasiswa sebanyak 747,686 jiwa.

Keempat, jenis pendidikan keagamaan Islam pada jalur non-formal yang terdiri atas MDT (Madrasah Diniyah Takmiliyah), pendidikan Alquran dan pondok pesantren. Dari ketiga lembaga ini, secara total jumlah lembaga berjumlah 240.387 lembaga, dengan ustad berjumlah 1.386.426 orang, dan santri berjumlah 17.385.552 jiwa.

Kelima, pendidikan agama Islam pada sekolah, dengan jumlah guru dan pengawas PAI berjumlah 185.636 dengan rincian guru PAI 180.040 orang dan pengawas PAI sebanyak 5.596 serta jumlah sasaran siswa yang beragama Islam pada sekolah sebanyak 34.371.621 jiwa. Adapun jumlah sekolah secara keseluruhan berjumlah 213.256 lembaga yang terdiri atas SD/SDLB sebanyak 149.310  lembaga, SMP/SMPLB sebanyak 37.439 dan SMA/SMALB/SMK/SMKLB sebanyak 26.507 lembaga.

Data di atas belum menghitung layanan pendidikan agama dan pendidikan keagaman di luar Ditjen Pendidikan Islam. Ditjen Bimas Kristen, Ditjen Bimas Katolik, Ditjen Bimas Hindu, dan Ditjen Bimas Budha, semuanya juga melakukan hal yang sama, sebagaimana Ditjen Pendidikan Islam.

Atas dasar sejumlah alasan di atas, menurut hemat penulis, kita dapat memahami bahkan mengharuskan jika kemudian Kementerian Agama terlibat dalam urusan perbukuan ini. Buku merupakan sumber ilmu pengetahuan, bukan hanya pengetahuan untuk layanan pendidikan sekolah dengan sejumlah mata-mata pelajaran umum yang diajarkan, juga bukan hanya untuk membekali pengetahuan pada layanan perguruan tinggi umum dengan mata-mata kuliah umum yang diajarkannya. 

Tetapi juga semua pengetahuan untuk pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, yang menjadi domainnya Kementerian Agama. Jika kemudian RUU Sistem Perbukuan ini ditunda untuk disahkan, hal itu sungguh jauh lebih baik daripada segera disahkan namun dengan sejumlah kealfaan, di antaranya meniadakan peran Kementerian Agama. Tegasnya, ”Better Late Than Never”, terlambat itu jauh lebih baik daripada tidak sama sekali.

Penulis adalah Doktor Pendidikan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


Terkait