Oleh Syafiq Naqsyabandi
--Pada masa jayanya, peradaban Islam membentang dari Spanyol di ujung barat sampai India di ujung timur. Episentrum peradaban dunia saat itu berada di bawah imperium Islam, dimana sains diramu dan diproduksi dalam nafas Islam.<>
Naskah filsafat dari Yunani sampai naskah-naskah kuno bangsa China dan India diterjemahkan oleh para ulama, kemudian disintesis menjadi masterpiece tentang ilmu kedokteran, geometri, aljabar, astronomi sampai teori-teori sosial modern.Pasca itu, peradaban Islam babak belur dihajar perang salib, bangsa mongol dan akhirnya takluk berlutut pada kolonialisme Barat. Penghancuran yang paling mengerikan adalah penghancuran perpustakaan Islam. Tercatat pada tahun 1108 M, pasukan Barat menghancurkan pusat belajar di Damaskus dan memusnahkan lebih dari 3 juta buku. Ada pula penghancuran besar-besaran atas perpustakaan yang ada di Kota Baghdad oleh Bangsa Mongol dibawah komando Hulagu Khan pada 1257 M.Pasukan Mongol memusnahkan buku dengan menghanyutkannya ke Sungai Tigris, konon saat itu Sungai Tigris sampai berwarna hitam tinta akibat banyaknya buku yang hanyut.
Semua itu membuat dunia Islam sampai sekarang masih dibawah superioritas bangsa Barat, utamanya dalam bidang sains. Sains disini penulis maknai sebagai ilmu pengetahuan secara umum, tidak terbatas pada ilmu alam, seperti halnya makna “science” dalam bahasa inggris. Kini para pelajar muslim harus mempelajari sains yang berasal dari Barat. Jerman, Inggris, Prancis, Amerika Serikat dan negara-negara Barat lain menjadi tolok ukur kemajuan sains dunia. Jurnal internasional yang diakui selalu dari Barat. Sains Barat semakin jauh meninggalkan dunia Islam. Sampai saat Barat berupaya mengkolonisasi Planet Mars, dunia Islam masih berdebat tentang boleh tidaknya mengucapkan selamat natal.
Sains hari ini adalah akumulasi hasil penemuan dunia Barat sejak masa renaisance. Semangatnya seiring dengan semangat untuk meninggalkan institusi agama (gereja). Intelektual barat memandang ajaran agama sebagai doktrin-doktrin pembodohan yang membelenggu umat manusia. Keraf (2014) menjelaskan bahwa sains barat bercorak mekanis ala Newtonian, reduksionis ala Decartesian, dan empiris ala Baconian. Sepanjang abad ke 17 sampai 19 M, Barat berhasil merajut ontologi materialisme, dimana materi difahami sebagai dasar semua benda.
Materialisme menolak keberadaan hal-hal yang bersifat metafisis dan spiritual, karenanya sains barat dapat melunturkan konsep-konsep teologi dan nilai-nilai keagamaan. Teori sains yang dihasilkan dapat menggiring umat manusia pada atheisme. Contoh otentiknya adalah ketika Richard Dawkins, pakar biologi evolusi oxford menulis buku berjudul “The God Delusion”. Seluruh konstruksi tersebut semakin menjauhkan sains dengan dunia Islam, karena landasan ontologi yang jauh berbeda.
Demi mengembalikan kejayaan peradaban Islam, maka harus dilakukan reproduksi sains Islam. Usaha ini dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu Islamisasi sains sekaligus santifikasi Islam. Islamisasi sains bukanlah proses pelabelan ayat-ayat Al-qur’an atau hadits yang dipandang sesuai dengan penemuan ilmiah. Islamisasi sains adalah upaya meletakkan basis ontologi sains berdasarkan kaidah teologi Islam, basis ontologi ini nantinya akan menjadi landasan epistemologi yang dihasilkan.
Islamisasi sains harus disertai dengan santifikasi Islam. Kuntowijoyo (1991) menyebut usaha ini sebagai usaha rasionalisasi ajaran Islam. Usaha ini sangat penting sebagai counter terhadap teori sains barat yang kini sudah berlanjut menjadi anjuran-anjuran normatif. Anjuran-anjuran normatif dari social sciences ala Barat sudah banyak diterapkan dalam dunia Islam, wujud paling nyatanya adalah demokrasi. Bahkan keseharian seorang muslim modern secara perlahan juga mengadopsi anjuran-anjuran normatif barat, seperti makin digandrunginya yoga sebagai sarana menenangkan diri, padahal Alloh SWT sudah mewahyukan sholat sebagai media penenang jiwa paling ampuh.
Islam sebagai panduan hidup berisikan anjuran-anjuran normatif. Hal ini sesuai dengan hadits ketujuh dalam kitab Arbain an-Nawawi yang berbunyi “agama adalah nasihat”. Maka dari itu, saintifikasi Islam adalah usaha untuk memberikan landasan teoritis (epistemologis) pada anjuran-anjuran normatif dalam Islam. Sehingga nasehat-nasehat dalam agama Islam dapat diterapkan dengan penuh kesadaran yang rasional.
Proyek besar mereproduksi sains Islam ini tentu hanya bisa dilangsungkan di bumi yang damai dan kondusif. Sementara Timur Tengah belum berhenti bergejolak, masih tercabik-cabik oleh perseteruan sektarian, dan tergagap-gagap menanggapi isu terorisme. Indonesia sebagai negara dengan umat muslim terbesar didunia sangat kondusif dan potensial untuk menjadi tempat dimana proyek besar ini dikerjakan.
Syafiq Naqsyabandi, Mahasiswa Program Magister Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan IPB