Opini

Menghitung Ulang Modal Kapital PMII

Selasa, 15 Juni 2010 | 01:56 WIB

Oleh Didik Suyuthi

Pertengahan Maret 2010 sebelum Muktamar ke-32 NU digelar, PB PMII menggelar diskusi bertajuk “Dimana Peran Sipil NU di tengah Tekanan Globalisasi” di Café Galleri, Jakarta. Ditengah-tengah diskusi, salah seorang narasumber yang merupakan kandidat Ketua Umum PB NU, sahabat Slamet Effendy Yusuf mengemukakan permintaan menggelitik. Dia meminta PMII kembali ke pelukan NU.

Bagi sahabat-sahabat di internal PB PMII, ide kembali ke NU yang dilontarkan Slamet ini memang bukan hal baru. Pasalnya, sejak satu dekade terakhir, wacana ini sudah kerap diperbincangkan di forum-forum diskusi PMII baik di Pengurus Besar maupun di daerah. Pada regio 2004 bahkan, bertempat di Batu, Malang, Pengurus Komisariat PMII Brawijaya sempat menggelar workshop khusus untuk membahas tema ini. Mengambil judul besar “PMII Back To NU” saat itu mereka menghadirkan beberapa tokoh PMII nasional seperti Muhaimin Iskandar, Effendy Choiriie, Ali Masykur Musa, dan sebagainya.<>

Namun, keinginan mengembalikan organisasi PMII kepada induknya, NU, menjadi tetap menggelitik karena kali ini yang meminta adalah Slamet Effendy Yusuf, yang tak lain adalah salah seorang pelaku sejarah penting terkait deklarasi independensi PMII pada 1972. Sebagai salah satu pelaku sejarah yang ikut merumuskan garis independensi PMII atas jam’iyah NU, Slamet mengaku memiliki tanggungjawab moral untuk setidaknya mengingatkan kembali akan semangat indepensi yang dia  dan sahabat-sahabat lainnya maksudkan pada14 Juli 1972.

Menurutnya, kala itu PMII memutuskan independen atas partai NU, bukan atas jam’iyah NU. Jadi karena sekarang NU sudah bukan lagi partai politik, sudah sepatutnya PMII kembali berada dibawah naungan NU. Sebab pada dasarnya, menurut Slamet, PMII tidak pernah melepaskan ikatannya dari NU sebagai jam’iyah.

Terkait testimoni Slamet ini, ada beragam jawaban dikemukakan kader-kader PMII yang hadir di forum diskusi Café Galleri. Beberapa, termasuk pengurus teras PB PMII tegas menyatakan ketidakmungkinan organisasinya kembali ke pangkuan NU. Alasannya, sejarah independensi sudah membawa PMII lebih mandiri. Jika dibandingkan sebagai organisasi yang sederajad dengan NU, PMII bahkan sudah jauh lebih produktif dalam melakukan kaderisasi. Pada beberapa kasus, NU dan banom-banom NU lainnya justru lebih banyak mengandalkan kader-kader hasil didikan PMII baik untuk kepentingan program kerja, maupun regenerasi di dalamnya. Pendek kata, disadari atau tidak NU sudah banyak mengambil manfaat dari kaderisasi yang sudah berjalan mapan di PMII.

Beberapa kader lain memberikan jawaban, iya, masih terbuka kemungkinan PMII kembali ke NU. Namun dengan catatan, sebelum merangkul kembali organisasi kader di level mahasiswa ini, NU terlebih dulu harus melakukan perbaikan ke dalam. Kaderisasi yang selama ini tidak berjalan, setidaknya dioptimalkan dengan cara memperkuat koordinasi, komunikasi, secara sinergis baik dari atas ke bawah maupun sebaliknya. NU harus bisa membuktikan bahwa kaderisasi melalui Muslimat, Fatayat, Ansor, IPNU dan IPPNU, serta badan-badan otonom lainnya juga bisa mapan seperti halnya di PMII.     

Mencoba menjelaskan keinginannya mengembalikan PMII ke NU, menurut Slamet, jika sahabat-sahabat pengurus PMII menghendaki sebenarnya tidak terlalu sulit. Langkah ini menurutnya sama sekali tidak akan mengkebiri idealisme, dan kebebasan kader-kader PMII dalam menentukan kehendak. Indepensi yang digulirkan 38 tahun lalu tidak lebih hanyalah sikap politik untuk membentengi idealisme PMII sebagai organisasi mahasiswa. Namun apapun, hingga saat ini PMII terbukti tidak pernah bisa membatasi ikatan emosionalnya dengan NU. Antara PMII dan NU tetap saja terikat oleh sebuah pemahaman ideologis yang selalu menjadi benang merah antar keduanya, yakni ahlussunnah wal-jamaah.

Cetak Biru Khidmat Organisasi


Menyimak dialek di atas, ada beberapa hal sebenarnya yang secara mendasar perlu mendapat porsi tinta yang lebih tebal. Pertama menyangkut kemandirian PMII sebagai organisasi. Faktanya, setiap kali berinteraksi dengan NU, dengan tokoh-tokohnya, dengan garis perjuangan agama, politik, dan nalar aswajanya, PMII praktis tak pernah bisa menjadi variable yang berdiri sendiri.

Dalam konteks ini, faktor kesejarahan PMII-NU, hemat saya kurang tepat kalau ditahbiskan sebagai pengikat abadi. Demikian juga dengan chemistry kultural, juga tidak pada posisinya jika harus selalu dijadikan alasan untuk terus berada dibawah bayang-bayang ‘kewajiban’ berkhidmat untuk NU.

Di sinilah mengapa PMII perlu menegaskan kembali seperti apa sejatinya bangunan dirinya.  Sebagai sebuah entitas yang independen, tidak terikat baik dalam sikap maupun tindakan kepada siapapun atau organisasi apapun, dan hanya komited dengan perjuangan organisasi dan cita-cita perjuangan nasional, PMII sudah barang tentu harus meletakkan dasar-dasar kesejarahan yang mapan pula sebagai pondasi. Bukan semata-mata berangkat dari emosional kelompok, atau kekecewaan pada unsur Masyumi yang terlalu mendominasi, sebagaimana dipahami, berikut di indoktrinasi pada kader-kader baru selama ini.    

Lalu apa? Membangun diri organisasi, meminjam terjemahan versi antropologi, berarti bersentuhan dengan hakekat kemanusiaan diri para pelaku organisasi itu sendiri. Membangun diri berarti tumbuh sebagai manusia yang terlibat dalam refleksi dan aktivitas-aktivitas yang memperkaya kemawasdirian kita, pengabdian, kerendahan hati, dan syukur kita.

Dalam term yang lebih akademik, membangun diri sesunguhnya lebih merupakan kegiatan bagaimana mengada (being) daripada sekedar persoalan bagaimana melakukan (doing). Karenanya kini manusia berhadapan dengan sebuah pertanyaan bagaimana cara mengada (way of being)?. Terhadap pertanyaan ini tentu kita tidak bisa menjawabnya hanya dengan belajar teknik baru, membaca buku ringkas tata cara melakukan ini itu, atau dengan mengikuti lokakarya.

Untuk menunjukkan dirinya ada, seseorang kadang melakukannya dengan membuat manuver-manuver semu yang ditujukan untuk mengesankan orang lain. Melakukan tindakan-tindakan yang kontraproduktif, melawan keumuman, semata-mata agar keberadaannya diakui lingkungannya. Membangun diri tidak cukup atau bahkan tidak bisa dilakukan dengan cara seperti ini. Mereka yang memaksakan diri melakukannya pasti akan kesulitan menjawab pertanyaan; diakui sebagai apa? sebagai siapa?

Untuk membangun diri pertama-tama seseorang membutuhkan modal spiritualitas. Perlu diingat spiritualitas yang dimaksud di sini tidak identik dengan rutinitas ritual yang selalu mengharuskan seseorang berhubungan dengan simbol kegiatan-kegiatan keagamaan tertentu. Spiritualitas yang dimaksud adalah bagian dari dimensi kecerdasan kemanusiaan yang mendalam. Kata kuncinya adalah kepekaan dan suara hati.

Danah Zohar dalam bukunya “Spiritual Capital” menyempurnakan modal spiritualitas ini dengan menyebutnya sebagai kecerdasan spiritual (spiritual intelligence). Sebelum beranjak ke modal berikutnya, kami merasa istilah ini penting didiskripsikan lebih lanjut untuk menghindari justifikasi wacana yang keliru. Dunia aktivisme yang menganut paham liberal biasanya akan langsung melemah semangat pribadinya setelah mendengar atau membaca istilah spiritual atau spiritualitas.

Berintegrasi dengan Gerakan 
               

Ada sebuah cerita menarik dimana Fichte, seorang filsuf modern (1762-1814) begitu histeris ketika kali pertama mendengar anak pertamanya menyebut dirinya “aku”. Sebagai ungkapan baru seorang anak yang baru belajar bicara, belajar berbahasa, kata “aku” tentu bukan hal yang luar biasa. Namun bagi Fichte, yang terdengar dari mulutnya anaknya tersebut justru merupakan sebuah sejarah penting.

Bagi dia, kata “aku” memainkan peranan yang sangat penting. Kata “aku” bagi Fichte bukanlah sebuah substansi atau sebuah entitas yang melampau kesadaran, melainkan sebuah kegiatan di dalam kesadaran . Dalam konteks pertarungan eksistensi sosial, menggunakan pengertian ini, untuk menyatakan kebaradaan dirinya, seseorang tentu tidak bisa hanya dengan diam, mengandalkan faktor bawaan, turunan, atau kodrat kelas sosial saja. Hasil-hasil verbal dari tindakan dan karya nyata yang dilakukannya lah yang akan menjadi bangunan utama eksistensi diri pribadinya.

Pergerakan demi pergerakan yang terekam dari tindakan seorang kader PMII, pada tahap berikutnya akan bertemu dengan jenis tindakan-tindakan lainnya yang beragam. Disini antara satu tindakan dengan tindakan lain tidak hanya akan saling berinteraksi, tetapi secara massif akan saling mengenali dan membentuk pola dan struktur komunalnya.

Pada tataran ini, saya ingin memfokuskan kembali pada pokok pikiran untuk menghitung kembali modal kapital PMII sebagaimana tertuang dalam  judul diatas, mengapa aku yang harus menjadi motivasi, mengapa bukan subjek yang lain. Mungkin agak bertele-tele pengantarnya. Secara lebih sederhana, dalam banyak teori organisasi, orang kerap mengatakan, motivasi itu boleh datang dari mana saja. Tetapi motivasi paling utama harus datang dari diri sendiri. Kalimat ini sedikit banyak barangkali bisa mewakili.

Di sinilah letak kemirisan saya. Kalau mau coba bertanya dengan jujur pada perjalanan panjang selama 50 tahun lebih PMII mencatatkan kiprah sosial politiknya, sedikit sekali yang namanya motivasi utama berorganisasi itu lahir benar-benar dari, untuk, dan atas nama PMII. Nalar kekuasaan yang begitu kuat ditanamkan, telah membuat organisasi ini ditempatkan semata sebagai jembatan penyebarangan.

Maka wajarlah kemudian apabila pengaruh luar begitu mudah menguasai. Dengan net modal yang bahkan tidak akan cukup untuk mendanai operasional program organisasi dalam setengah periode sekalipun, berbagai kekuatan kepentingan dari luar entah itu yang bercokol di ranah kekuasaan nasional atau sebaliknya, begitu mudah membungkam dan dengan leluasa memanfaatkan segenap harta kekayaan sosial-politik PMII.        

Kembali ke orang, ke pelaku-pelaku teras organisasi PMIII. Saya katakan perlu diberi pertanyaan ulang mengenai apa dan untuk apa motivasi mengurusi PMII. Sebagai bagian integral dari komunitas komunal, para pejabat teras PMII di setiap jenjang perlu kiranya diingatkan kembali mengenai apa yang dinamakan struktur lingkungan (baca: Organisasi). Dalam meng-create tindakan-tindakan, seorang yang membangun motivasinya dengan benar tentu  akan memulai setiap aktivitasnya dengan memastikan bahwa tindakan-tindakannya itu bukan sekedar presentasi, tetapi juga integrasi. Harus ada penegasan sadar bahwa bertindak, berarti juga berintegrasi dengan semua potensi baru berikut akibat dari setiap tindakan-tindakannya itu.

*Penulis adalah Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Pemikiran PB PMII


Terkait