Opini

Meng-Khittah-kan Khittah NU secara Kaffah

Ahad, 30 Maret 2008 | 23:00 WIB

Oleh Mohammad Suhaidi RB

Asumsi sederhana yang disampaikan oleh beberapa kalangan yang menyebutkan bahwa orang-orang NU ( bisa jadi warga dan kiai-kiai NU) memiliki nafsu kekuasaan yang sangat tinggi, mungkin memang benar adanya. Dan, hal itu, menurut penulis, sangat lumrah terjadi, karena berpolitik memang sangat manusiawi. Ketika warga NU banyak yang terlibat dalam politik praktis, itu sah-sah saja dilakukan sebagai manusia dengan naluri politik sebagai konsekuensi kemanusiaan. Tetapi, yang perlu digarisbawahi, ketika nafsu politik itu dilakukan orang-orang NU yang secara struktural diberi tanggung jawab untuk mengurus NU, maka nafsu politik semacam itu tentu saja layak untuk dikaji bersama, karena keterlibatan orang-orang NU struktural dalam politik praktis, akan menghambat laju organisasi, atau bahkan menyalahi apa yang telah digariskan NU: bahwa NU tidak lagi menjadi bagian dari kepentingan politik praktis.

Inilah fenomena sangat memprihatinkan yang saat ini tengah melanda warga NU struktural. Banyaknya orang-orang NU struktural yang terlibat dalam politik praktis, sepertinya telah menjadi rahasia bersama, dan itu terlihat di sejumlah partai politik, terutama partai politik yang membawa atribut NU, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) serta Partai Persatuan Pembangunan (PPP).  Keterlibatan mereka dalam dua institusi, antara NU dan partai politik (parpol), tentu saja telah mengaburkan prinsip-prinsip dasar khittah NU yang telah tegas kembali Khittah NU 1926, di mana NU tidak lagi terlibat dalam politik praktis, tetapi terfokus sebagai organisasi sosial keagamaan, karena itulah yang menjadi dasar kehadiran NU sejak awal kelahirannya.<>

Keterlibatan para pengurus NU, baik di tingkat pengurus cabang, pengurus wilayah dan pengurus besar, dalam berbagai kelembagaan dan banomnya dalam salah satu partai politik tertentu membuktikan bahwa telah terjadi pengkhianatan berjamaah terhadap semangat khittah yang telah menjadi pilihan NU. Memang, hampir tidak ada para petinggi NU, setingkat ketua tanfidz atau syuriah, yang secara struktural menjadi bagian dari parpol tertentu, tetapi keterlibatan dalam politik praktis tersebut rata-rata dilakukan oleh orang-orang struktural NU, terutama lembaga dan banomnya, seperti Gerakan Pemuda Ansor, Fatayat dan Muslimat.

Kenyataan tersebut, tentu saja semakin membenarkan bahwa NU selama ini belum sepenuhnya dikembalikan pada khittah-nya, karena masih terlalu banyak orang-orang NU struktural yang terlibat dalam kepentingan politik praktis. Artinya, khittah hanya dijadikan sebagai keputusan di atas kertas, tetapi belum ditransformasi menjadi satu sistem yang sangat mengikat bahwa seluruh warga NU yang berada dalam struktur NU tidak dibenarkan terlibat dalam struktur partai politik apa pun, karena hal itu sama halnya dengan telah mengkhianati Khittah NU secara berjamaah. Sebab, aktif dalam partai politik tertentu, sementara di sisi lain, mereka masih terikat dengan NU secara struktural sama halnya dengan bersikap tidak patuh pada prinsip Khittah NU, karena bagaimana pun, sikap yang demikian sama halnya dengan telah melakukan upaya melibatkan NU secara terbuka ke dalam wilayah politik praktis atau bahkan telah meracuni Khittah NU dengan racun-racun politik kekuasaan.

Nah, inilah yang selama ini belum kita evaluasi bersama, karena fokus evaluasi kita selama ini hanya ditujukan pada saat ketua PBNU atau PWNU terindikasi membawa NU ke dalam pusaran politik praktis, sementara di dalam tubuh NU sendiri lepas dari evaluasi kita semua, yaitu banyak orang-orang NU struktural NU yang ternyata dengan leluasa dan sambil lalu berkiprah dalam partai politik tertentu, sehingga tidak heran kalau muncul asumsi bahwa orang-orang NU (struktural) memiliki nafsu kekuasaan yang luar biasa. Hal ini yang seharusnya juga menjadi bahan evaluasi kita bersama seluruh warga NU, terutama para pengurus syuriah dan pengurus tanfidziah, agar berani melakukan upaya-upaya rasional terhadap bawahannya untuk dibersihkan agar sesuai dengan semangat Khittah 1926, terutama lembaga dan banon-banom NU yang jelas-jelas terlibat dalam politik praktis. Karena NU bukan hanya terbatas pada jajaran dewan syuriah dan tanfidziah, tetapi seluruh struktur yang ada di NU baik lembaga-lembaga maupun banom NU merupakan bagian integral dari NU, sehingga tidak dibenarkan menyalahi ketentuan Khittah, yaitu membawa NU terjebak dalam politik kekuasaan.

Sebab, tentu saja ketentuan Khittah berlaku dalam semua jenjang struktur di NU, tanpa pandang bulu, yang secara otomatis lembaga-lembaga dan banom-banom NU juga harus patuh terhadap komitmen Khittah. NU harus arif untuk mengawal semangat Khittah dengan memberikan pilihan tegas terhadap orang-orang NU struktural untuk memilih: tetap bertahan dalam struktur NU atau malah memilih berada dalam struktur partai politik tertentu, sehingga NU akan benar-benar bersih dari orang-orang yang menduakan posisi. Artinya, orang-orang NU struktural dari atas sampai bawah, harus terdiri dari individu yang secara konsisten memiliki jiwa Khittah, sehingga tidak tergoda untuk menggadaikan NU dalam kepentingan politik kekuasaan.

Ketentuan khittah harus diperjuangkan dan dijadikan sebagai pijakan utama untuk membesarkan NU dalam melakukan upaya-upaya pemberdayaan sosial kemasyarakatan, karena memang itulah mandat sejati dari Khittah yang telah menjadi garis perjuangan NU di masa-masa yang akan datang. Dan, selama dalam tubuh struktur NU masih belum sepenuhnya terdiri dari orang-orang yang memiliki komitmen terhadap Khittah, secara otomatis NU tetap akan dianggap belum mampu menerjemahkan nilai-nilai khittah secara universal dan maksimal.

Penulis adalah Peneliti pada Pena Institute Madura dan Pengurus Kordinator Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Jawa Timur 2007-2009


Terkait