Oleh : Arwanie Syaerozie*
Puasa merupakan salah satu dari arkanu al islam al khamsah (unsur-unsur sakral dalam Islam), dimana ia menduduki posisi ke tiga setelah mengucap dua kalimat syahadat dan sholat lima waktu.Kewajiban untuk berpuasa di bulan Ramadhan bagi komunitas muslim sudah tidak bisa diganggu gugat lagi, sebab eksistensi hukumnya sudah dinash dalam Al Qur`an, juga termasuk dalam katagori al masa`ilu al dloruriyyah (masalah-masalah yang mudah ditemukan hukumnya) yang mana pengingkaran akan hukum wajibnya dapat berakibat murtad (keluarnya si pengingkar dari Islam) Sebenarnya pembebanan ibadah puasa bukanlah hal yang baru bagi sejarah umat manusia, sebab ia pernah pula di syari`atkan pada agama-agama samawi lainnya (seperti Yahudi, Nasrani dsb). Walaupun dari segi waktu dan tata cara pelaksanaannya berbeda-beda antara satu ajaran dengan ajaran lainnya, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam surat Al Baqarah ayat:(183).
<>Dan ibadah puasa mulai dibebankan pada umat Islam itu pada tahun ke dua dari hijrahnya Rasul saw, bersamaan dengan disyari`atkannya sholat ied, zakat fitrah dan kurban idul adha. Ini berarti, bahwa Allah Swt telah memberitahukan kepada segenap insan bahwa puasa adalah sebuah kewajiban yang bersifat universal diantara umat-umat manusia semenjak zaman dahulu.
Proses pembebanan ibadah puasa pada umat Islam itu sendiri tercatat memiliki tiga fase. Pertama : ketika Rasulullah saw datang ke kota Madinah, puasa diwajibkan dengan cara tiga hari dalam satu bulan. Kemudian methode seperti ini dirubah dengan diberlakukannya puasa di bulan Muharram, ini dianggap sebagai tahap yang kedua.Tahap berikutnya atau yang terakhir yang sampai saat ini dan bahkan sampai seterusnya diterapkan adalah puasa di bulan Ramadhan dengan hitungan satu bulan penuh.
Pada tahapan ini pun pembebanan puasa Ramadhan masih mengalami beberapa perubahan yang tidak begitu prinsip. Sebagaimana yang dijabarkan dalam kitab-kitab sejarah, bahwa pada awal permulaan diwajibkannya, puasa di bulan Ramadhan masih memiliki kebebasan memilih bagi seorang mukalaf-walaupun kondisi kesehatannya normal-antara berpuasa dan memberi makan kepada fakir miskin sebagai ganti dari berpuasa, kemudian kebebasan memilih ini dihapus dengan turunnya ayat "barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu" (Qs 2 : 185)
Di sisi lain, kesempitan tata cara berpuasa pada awal permulaan diwajibkannya, seperti larangan untuk makan, minum, dan bersetubuh dengan istri pada malam hari ketika telah mengerjakan sholat isya`, atau tertidur walaupun belum melaksanakan sholat isya`, dihapus dengan turunnya ayat "Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu "(Qs. 2 : 187).Ini tak lain karena Islam sama sekali tidak menginginkan kesempitan dan kesukaran pada pemeluknya.
Kedudukan Puasa dibanding Ibadah lainnya. Dalam buku Ihya Ulumu Al Dien, dikatakan bahwa puasa adalah seperempat dari iman, ini sesuai dengan hadist nabi saw "Puasa itu setengahnya sabar" dan hadist lain "Sabar itu setengahnya iman" dari gabungan dua hadist inilah filusuf Al Ghozali menarik kesimpulan bahwa puasa adalah seperempat dari iman.
Walaupun semua ibadah itu utama, namun posisi puasa lebih utama dan mulia jika dibandingkan dengan ibadah lainnya bila dipandang dari dua sisi : pertama : Bahwa puasa adalah amalan menahan dan meninggalkan dalam diri seseorang, yang mana tak ada gerak-gerik yang nampak dan bisa dilihat kecuali hanya oleh Allah Swt. Sedangkan semua amalan ta`at bisa dilihat oleh orang lain yang biasanya akan menimbulkan sifat riya. Kedua : Bahwa puasa adalah menundukkan Setan sebagai musuh Allah Swt, sebab syahwat yang nota bone sebagai alat utama iblis dalam mengganggu bani adam, hanya bisa menguat dan menggunung dengan makan dan minum, dan puasa adalah menahan kedua-duanya. Dalam sebuah hadist dikatakan "keleluasan setan dalam beroperasi pada manusia hanya bisa dipersempit dengan lapar".
Ibadah puasa menurut kacamata tasawuf terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu :Shaum Al umum, hanya menahan perut dan alat kelamin dari syahwat. Kemudian Shaum Khusus Al Khusus, puasanya hati dari sesuatu yang hina dan rendah, urusan-urusan dunia dan segala sesuatu selain Allah Swt, kecuali duniawi yang diharapkan untuk bekal kehidupan akhirat, maka yang terakhir ini termasuk dalam katagori ukhrowi. Tingkatan ini hanya bisa direalisasikan oleh para Anbiya, Shidiqien, dan Muqorrobien. Yang terakhir adalah Shaum Al Khusus yaitu puasanya orang-orang yang saleh. Dengan cara menahan anggota tubuh dari dosa dan maksiat. Untuk lebih sempurnanya tingkatan ini maka harus menjaga enam perkara :
1.Menjaga mata dari melihat sesuatu yang buruk menurut pandangan syariat, 2.Menjaga lisan dari berdusta, memfitnah, dan perkataan-perkataan keji lainnya,3.Menjaga telinga dari mendengar segala sesuatu yang haram untuk didengar, sebab ses