Moh Yasir Alimi dalam tulisannya, Staircase of Terrorism and Deradicalization Strategies, di the Jakarta Pos (29/9/2011), menyebutkan ada lima tangga sebelum seseorang benar–benar menjadi pelaku teror. Tangga pertama adalah menebarkan kebencian dan kekerasan agama. Agama dijadikan alat untuk menebarkan kebencian dan kekerasan. Tangga kedua, takfiriyah, yakni pengkafiran dan pemurtadan bagi sesama Muslim disertai dengan jastifikasi untuk merampas hidup atau harta benda mereka. Bahkan terkadang disertai dengan suatu pernyataan bahwa masjid yang digunakan oleh kelompok lain dianggap musuh, dan boleh dihancurkan. Tangga ketiga ditandai dengan upaya untuk melakukan penelitian dan pengujian terhadap kelompok lain sambil mengusung jargon “kewajiban menegakkan hukum Tuhan”, menganggap rezim yang ada sebagai jahiliyah (jahiliyah-ization). Tangga keempat dan kelima, ditempati oleh mereka yang sudah dipersiapkan sebagai pelaku langsung tindakan teror berikut para fasilitatornya. Menurut Yasir Alimi, program deradikalisasi yang dilakukan oleh pemerintah selama ini masih terbatas pada mereka yang sudah berada di tangga empat dan lima, dengan mengabaikan mereka yang tinggal di tangga di bawahnya, padahal mereka sesungguhnya juga ikut berkontribusi bagi perkembangan terorisme.
Secara sosiologis,
keterlibatan Muslim sebagai teroris bisa melalui berbagai tangga atau tahapan pergaulan sosial. Tahap pertama, sejumlah
individu memiliki keyakinan yang kuat bahwa mereka adalah korban dari
ketidakadilan. Mereka kemudian mencoba
mencari solusi. Pada saat solusi tidak didapatkan mereka mencoba naik ke
tahapan atau tangga berikutnya. Pada tahap kedua, mereka mencoba
mengidentifikasi faktor ekternal yang dinilai
bertanggung jawab atas ketidakadilan yang mereka hadapi. Mereka yakin bahwa faktor eksternal itu
memiliki agenda untuk menghancurkan mereka secara sistematik. Kesimpulan ini
memiliki dua implikasi penting. Pertama, mereka adalah orang-orang jelek
(bad people), oleh karenanya
penggunaan kekerasan terhadap mereka bisa dibenarkan (justified). Kedua, mereka kemudian
diberi label sebagai ‘evil’ yang berarti menempatkan
mereka sebagai subhumans (bukan lagi
manusia). Mereka yang berkumpul di tangga kedua ini kemudian berbaur dengan
mereka yang memiliki perasan sama. Mereka kemudian mengarahkan kemarahannya terhadap
musuh bersama. Pada tahap ketiga, muncullah ikatan moral kelompok (group’s moral bond). Mereka
mendiskusikan bagaimana mempersiapkan mental dan fisik sebelum terlibat dalam
aktifitas kekerasan fisik terhadap musuh.
Diskusi ini dilakukan secara sembunyi. Pimpinan terus menekankan
pentingnya loyalitas terhadap organisasi dan berusaha mengisolasi diri dari
masyarakat. Proses rekrutmen sesungguhnya terjadi pada tangga atau tahapan
keempat. Di sini teroris
membagi dunia menjadi dua bagian yang saling bertentangan yakni mereka versus
kami. Mereka hanya
mengenal orang yang berada di selnya tidak mengenal sel lain. Pada tahap
kelima, anggota yang terpilih dilatih untuk melaksanakan serangan teror. Di sisni tidak ada lagi kesempatan untuk turun kembali ke
tangga yang lebih rendah. Mereka menerima perlakuan spesial dari pimpinannya.
Secara
sosiologis, ada kemiripan antara gerakan kaum teroris dengan gerakan mereka
yang menganut ideologi totalitarian di Barat seperti fasisme dan komunisme. Kemiripan
itu bisa dilihat dari tiga sisi. Pertama, keduanya menggunakan bahasa pengawal, pembela/pelindung/kaum
revolusioner untuk mendefinisikan dirinya dan mengunakan bahasa kaum
imperialis, kapitalis, kolonialis untuk menyebut musuhnya. Kedua, sama-sama
menggunakan kekerasan tanpa pandang bulu. Pada dasarnya tidak berbeda cara
pembunuhan yang dilakukan oleh Adolf Hitler dan Bin Laden. Ketiga,
keduanya sama-sama mengagungkan kematian.
Jose Millan Astray, seorang Jendral pro Nazi
mengekploitasi konsep Viva la Muerta, atau “Long live death,” sementara bin Laden
mengeksploitasi konsep syahid atau martyrdom (Munajat, Debunking Myths
of Terrorism: 2009).
Itulah sebabnya Ahmad Najib Burhani dalam tulisannya, Globalized and localized terrorism, menolak agama dimasukkan sebagai faktor
pemicu terorisme. Pendorong terorisme menurutnya bukan agama tapi ideologi, Religion the cause of terrorism?If ideology
could powerfully inspire people to do anything, including violence , can we say
that religion is the cause of terrorism? My answer is no…..In the context of
terrorism, religion gives this atrocity an aura off sacredness or divinity.
However, just like in Germany under the Nazis, the root and cause of terrorism
is not religion.
Dalam konteks Indonesia, gerakan politik kelompok Islam radikal juga menyerupai gerakan politik komunisme. Oleh karena itu sebenarnya amat disayangkan bila umat Islam tidak berusaha mengenal, mempelajari atau mendiskusikan ideologi totalitarian yang biasa digunakan gerakan komunisme.
Paul Suparno, dosen Universitas Sanata
Darma, Yogyakarta dalam tulisannya, Critical Thinking Education Protects Us from Radicalism, mengatakan, “In the old days, we were always afraid to
analyze some radical groups or the ideologies that were contrary to Indonesian
ideology. For example, we were not allowed to teach and discuss communist
ideology. I think the method is not right, because if students do not know
them, they will easily be attracted; but if they know exactly the movement with
some negative effect, they will become more critical”.
(Di masa lalu, kita
selalu takut untuk menganalisa sejumlah kelompok radikal yang berlawanan dengan
ideologi Indonesia. Contohnya, kita tidak dibolehkan
untuk mengajarkan dan mendiskusikan ideologi
komunis. Saya pikir, metode seperti ini tidak benar sebab siswa tidak memahami
mereka, mereka akan mudah tertarik. Tetapi jika mereka tahu persis gerakan ini berikut efek negatifnya mereka akan menjadi lebih kritis).
Mengingat komunisme
dianggap sebagai ideologi terlarang di Indonesia dan untuk sekian lama ajaran
ini dilarang dipelajari di Indonesia, maka generasi muda Islam banyak yang
tanpa disadari terperangkap mengikuti cara-cara komunis, yang diberi label atau
simbol Islam.
Dari penjelasan di atas
dapat diketahui bahwa gerakan radikal yang berpotensi menjadi teroris memiliki
ciri-ciri sebagai berikut; Dari aspek teologis, mereka cenderung menggunakan
teologi kebencian dan melabeli sesama Muslim sebagai kafir (Takfiriyah). Takfiriyah kemudian disusul dengan tahlilyah (penghalalan darah sesama muslim). Takfiriyah biasanya terkait dengan tindakan yang dianggap sebagai
dosa besar, atau tindakan lain yang dianggapnya sebagai “berhukum tidak dengan
hukum Tuhan” sehingga si pelaku telah kafir
atau musyrik. Apabila ada satu
kelompok Islam yang gemar melakukan pengkafiran terhadap kelompok Muslim lain
yang dalam cara beragamanya berbeda dengan kelompk pertama, maka hal ini bisa
dijadikan indikasi bahwa kelompok ini (pertama) memiliki potensi menjadi
radikal atau bahkan menjadi teroris.
Tingkat radikalisisasi semakin meningkat pada saat takfiriyahdibarengi dengan tahliliyah, penghalalan darah orang yang dilabeli
kafir. Dalam sejarah Islam, kelompok
semacam ini dikenal sebagai kelompok Khawarij. Sebelum mereka berhasil
membunuh Ali bin Abi Thalib, mereka membuat label terlebih dahulu bahwa Ali itu
telah kafir.
Bila dilihat dari aspek sosial politik,
mereka menyerupai rezim totalitarian
yang anti terhadap demokrasi. Rezim totalitarian menurut Park Sang-seek, professor pada program PascaSarjana
tentang Studi Perdamaian di Universitas Kyung Hee, Korea Selatan, memiliki ciri
atau karakter antara lain; Politisasi terhadap seluruh masyarakat
sehingga warga negara tidak bisa menikmati privacy dan kebebasan sipil yang
mendasar karena mereka terus menerus berada dalam pengawasan aparatur negara. Negara juga selalu melakukan cuci otak (brainwashing) terhadap rakyatnya melaui
propaganda dan indoktrinasi.
Dimana Posisi
Agama?
Meskipun agama sering digunakan sebagai tameng oleh gerakan
radikal dan teroris, agama itu sendiri sebenarnya bukan faktor (utama) yang memicu munculnya
radikalisme dan terorisme. Sebab, agama
sebenarnya menjadi sumber kebaikan, kedamaian dan kemanusian. Saya sependapat
dengan Afif Muhammad dan Johan Effendi yang menyatakan bahwa ketika agama
berlawanan dengan karakter dasar agama tersebut berarti agama telah
terkontaminasi oleh kepentingan lain dari luar agama seperti kepentingan
ekonomi dan politik. Oleh karena itu radikalisme dan terorisme, terlepas dari simbol agama apapun yang mereka gunakan, pada
dasarnya merupakan musuh bersama umat beragama. Teror itu sendiri pada dasarnya
tidak ada hubungannya dengan agama.
Pendapat
ini juga sejalan dengan pernyataan Din Syamsudin, dimana secara gamblang ia menyatakan
bahwa terorisme tidak memiliki akar dalam agama, dan semua aksi teror pada
dasarnya bukan tindakan keagamaan. Islam, misalnya, sangat keras dalam mengecam
terorisme sebagaimana dikatakan dalam al-Qur’an, “Barangsiapa membunuh
seseorang tanpa ada alasan yang bisa dibenarkan, maka ia seakan-akan membunuh
seluruh umat manusia.”( QS 5:32)
Islam, Budaya Lokal dan
transnasional Islam
Transnational menurut bahasa artinya involving or operating in several nations or nationalities (melibatkan atau beroperasi di sejumlah negara atau bangsa). Kalau dilihat dari sisi bahasa, Islam sejak awal memiliki karakter transnational. Transnational Islam baru menjadi masalah manakala ia secara paksa mau menghilangkan atau anti terhadap budaya dan tradisi lokal yang oleh masyarakat setempat dipandang baik. Memang tidak semua budaya atau tradisi lokal bisa dinilai baik, tetapi para pakar dalam Islam sebenarnya sudah lama memiliki kriteria untuk menilai budaya atau tradisi yang masih pantas dilanjutkan serta budaya atau tradisi yang sudah tidak layak lagi dipertahankan.
Abu Hapsin dalam tulisannya, Islam
dan Budaya Lokal; Ketegangan antara Problem Pendekatan dan Kearifan Lokal
Masyarakat Jawa, mengatakan bahwa kebijakan
lokal (local wisdom) merupakan hasil dari proses dialog antara
universalitas, Islam dan budaya lokal. Dalam keadaan
demikian Islam dihadirkan dalam bentuk substansinya, sementara wadah (form) bisa saja
menggunakan pranata sosial yang berlaku di masyarakat setempat. Inilah yang
dimaksud dengan Islam inclusive,
yaitu Islam yang terbuka untuk memasukkan (include) berbagai unsur dari
budaya di luar Islam (asing) dan kemudian menjadikannya sebagai bagian dari
tradisi Islam. Untuk menghindari sinkretisme, dalam proses asimilasi budaya
tersebut tentu saja harus dilakukan pemilahan terlebih dahulu unsur-unsur yang
bersifat substantif dari unsur-unsur yang bersifat formal. Atau, mana yang
menjadi “isi” dan mana yang menjadi “wadah”. Wadah atau form diterima
menjadi bagian dari tradisi Islam, sementara “isi” nya ditolak. Hal seperti
inilah yang banyak dilakukan oleh al-Qur’an dan Nabi Muhamad saat menghadapi budaya
Arab pra-Islam, hingga para penyebar Islam di tanah Jawa saat menghadapi
tradisi lokal Jawa.
Senada dengan Abu Hapsin, Amin
Abdullah, mantan rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan
Kalijaga, juga menekankan perlunya mengembangkan Islam yang lebih inklusif.
Dalam tuliasnnya berjudul, Religious Diversity and Islamic Education in
Indonesia, beliau antara
lain mensinyalir adanya pesantren yang masih mempertahankan pandangan eksklusifnya
terutama pesantren yang disusupi paham Wahabi, dengan mengatakan, “It should be noted, however, that not all
pesantren have developed an inclusive point of view toward non-Muslims. Some of
them, mainly the pesantren under the influences of the Wahhabis of Saudi Arabia
and connected to ideological Salafis, have tended to develop exclusive
perspectives.”
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa Islam pada dasarnya
tidak anti terhadap budaya “luar”,
apakah budaya itu datang dari Barat atau dari lokal. Kalangan umat Islam Indonesia, khususnya yang memiliki
afiliasi dengan organasisi masa Nahdlatul Ulama, mengenal jargon al-mukhafadzah ‘ala al qadim al-shalih wa
al-ahdzu bi al-jadid al-ashlah. Dengan asumsi bahwa Islam sejak zaman nabi sampai kini akan terus melakukan proses dialog dengan budaya setempat, tentu melalui beberapa
proses modifikasi dan transformasi.
Sekretaris Lembaga Pendidikan Ma’arif PCNU Sumedang