Suatu hari, ada seorang pemuda menghadap pengasuh salah satu pesantren di Madura. Rambutnya panjang sebahu, bercelana jens dan berkaos putih. Tiada songkok yang bertengger di kepalanya. Dengan mantap dia mengucapkan salam di depan kediaman sang kiai. Singkatnya, pemuda itu diterima oleh kiai di ruang tamu.
Tanpa banyak basa-basi, pemuda itu menyampaikan kegelisahannya. Dia mengaku beragama Islam, tapi selama ini merasa kering dalam memahami ajarannya. Dia pun melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang mengusik keimanan siapa pun. Sang kiai memberikan wejangan tanpa merasa risih dengan penampilan dan pertanyaan pemuda tersebut. Sang kiai menyadari bahwa penampilan fisik dan pertanyaan “nakal” tidak perlu dipersoalkan. Terpenting baginya ialah spirit dari tamunya untuk memahami agama.<>
Pertanyaannya, mungkinkah cerita di atas bisa terjadi pada era kekinian? Persoalannya bukan terletak pada bisa-tidaknya, tapi lebih pada eksistensi dan peran kiai selama ini. Memang, jumlah kiai di Indonesia lumayan banyak. Tidak mudah menakarnya. Namun, apakah kuantitas tersebut telah berbanding lurus dengan sumbangsih mereka dalam memajukan bangsa, negara dan agama?
Kita tidak dapat mengelak betapa besarnya peran kiai dalam kehidupan ini. Pesantren yang dipegangnya telah kuasa melahirkan “aktor” kehidupan di negeri ini. Sayang, tidak sedikit pula yang justru melahirkan chaos karena sempitnya mereka dalam memahami perbedaan. Arah pernyataan saya lebih pada paradigma kiai, perspektif yang digunakan untuk menyikapi persoalan yang mengemuka. Tak jarang kita jumpai kiai yang dawuhnya menguncup pada sikap ekslusif. Oleh karena itu, sikap inklusif dipandang penting mewarnai keseharian kiai.
Terbuka terhadap perbedaan merupakan intisari dari sikap inklusif. Bedanya penampilan dan pemikiran bukanlah sesuatu yang membahayakan. Tapi, hal semacam itu belum seutuhnya dipahami secara mendasar. Kita masih temukan adanya kiai yang berupaya membendung ragam pemikiran yang dipandang “baru”. Padahal, bagaimanapun kokohnya bendungan, ragam pemikiran akan tetap mengalir deras. Dari itulah amat naif manakala dinamika pemikiran secara serta merta ditolak tanpa didahului dengan sikap cermat dan langkah pengkajian terhadap pemikiran tersebut.
Pada dasawarsa ini, alergi terhadap perkembangan pemikiran tampak menggejala. Terutama yang bersangkut-paut dengan paham sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Banyaknya sikap provokatif yang meng-counter paham tersebut, mencuatkan kegelisahan distortif dalam diri kiai. Padahal, adakalanya mereka menolaknya an sich tanpa memahami secara utuh ketiga paham tersebut. Sikap reaktif tanpa ditopang ketidakpahaman hanya akan memunculkan problem baru.
Dalam pandangan Hodri Ariev, pemikir muda NU, tidak mencampur-adukkan antara institusi keagamaan dengan negara merupakan titik terang dari sekularisme. Pengertian ini berbeda dengan pemahaman bahwa sekularisme dimaknai pemisahan agama dengan negara. Pengertian pertama mengindikasikan bahwa nilai-nilai agama tetap diperlukan dapat mewarnai negara, dengan catatan hukum agama tidak mesti menjadi hukum negara atau sebaliknya. Sedangkan pengertian kedua menjelaskan betapa pemisahan agama dengan negara menjadi kemestian yang tak terelakkan, sehingga kebijakan negara tidak dipersoalkan manakala tidak selaras dengan nilai-nilai agama secara umum.
Paham sekularisme mengajak manusia untuk menjunjung tinggi perbedaan. Tanpa perbedaan, sesungguhnya dunia ini tiada. Adanya upaya penyeragaman merupakan bentuk lain dari ketidakseimbangan mental. Pemerintah disinyalir bermental seperti itu. Jelasnya, siapa pun yang punya sikap seperti itu berarti mentalnya tidak seimbang.
Adapun liberalisme berorientasi pada kebebasan; kebebasan berekspresi, menyampaikan pendapat, berkeyakinan, dan kebebasan menentukan jalan hidup. Kaitannya dengan itu, kebebasan lahir berirama dengan tanggung jawab. Hewan bebas menentukan arah hidupnya, tapi ia tak dibebani tanggung jawab. Untuk membedakan dengan hewan, tanggung jawab amat penting diperhatikan oleh kita selagi merasa sebagai manusia. Kebebasan yang bermartabat, begitulah kalau boleh saya mengistilahkannya.
Nah, pengertian-pengertian seperti itulah yang tak jarang disalah-artikan oleh para kiai. Sekularisme dipahami sebatas pemisahan agama dan negara, pluralisme hanya dipahami penyeragaman semua agama dengan menonjolkan kesamaannya, dan liberalisme dipandang sebagai kebebasan an sich. Pemahaman sempit seperti ini harus dibongkar biar tidak menimbulkan ekstremisme pemikiran yang mengarah pada tindakan anarkis. Kalau tidak, hidup ini akan kacau. Merebaknya keadilan jauh panggang dari api.
Pada aras itu, kiai diharapkan kritis terhadap gerakan politik. Masyarakat tak sedikit yang menyorot kiai yang berpolitik. Sayangnya, masyarakat hanya memandang kiai berpolitik yang terjun secara langsung ke gelanggang politik, seperti ranah legislatif dan eksekutif. Padahal, banyak kalangan kiai yang bermain di balik layar politik. Seiring retas waktu, banyak pula masyarakat yang mulai peka membaca keadaan. Sehingga, kiai dituntut serba hati-hati ketika bersentuhan dengan politik.
Beberapa waktu lalu sempat mengemuka di atas pentas media adanya aksi yang dilakukan oleh para tokoh agama. Mereka menggugat pemerintahan SBY yang disinyalir menyebarkan virus pembohongan terhadap publik. Salah satu kiai yang getol dalam aksi tersebut ialah pengasuh PP Tebuireng, KH Salahuddin Wahid. Politik kebangsaan tersebut patut didukung oleh para kiai. Sudah saatnya kiai menampilkan kembali taringnya.
Meminjam gagasannya KH Salahuddin Wahid, politik yang bisa digeluti tokoh agama ialah politik luhur (high politics). Yaitu, politik kebangsaan, politik kemaslahatan umat, dan politik moral. Bahkan, pada saat-saat tertentu, tokoh-tokoh agama harus terlibat dalam politik kebangsaan. (JP, 20/1). Pada aras itu, politik kebangsaan merupakan wilayah strategis para kiai demi perbaikan bangsa tercinta ini.
Sebagai penguat dari tawaran gagasan itu, kita dapat menghadirkan dua contoh. Pertama, saat para kiai PB NU mengadakan rapat di Surabaya berkaitan dengan adanya informasi sahih bahwa pada akhir September 1945 tentara Belanda mendomling tentara Sekutu untuk kembali berkuasa di Indonesia. Pada 22 Oktober 1945, para kiai itu mengeluarkan fatwa yang dikenal sebagai Resolusi Jihad.
Inti fatwa itu adalah mendorong Pemuda Islam yang tinggal dalam wilayah radius 90 Km dari Surabaya untuk membantu tentara BKR dalam perang melawan tentara Belanda dan Inggris. Mereka yang gugur akan mendapat status mati syahid. Yang menggelorakan semangat para pemuda adalah status mati syahid. Tanpa keterlibatan para kiai dalam politik, mungkin tidak akan ada peristiwa heroik yang kita kenal sebagai Hari Pahlawan.
Contoh kedua ialah Munas Alim Ulama NU di Situbondo pada Desember 1983 yang menghasilkan keputusan berupa Dokumen tentang Hubungan Islam dan Pancasila. Muktamar NU 1984 di Situbondo memutuskan bahwa NU menerima Pancasila sebagai asas organisasi. Langkah itu diikuti hampir seluruh ormas Islam dan PPP. Penerimaan Pancasila oleh ormas dan orpol Islam tersebut adalah konvergensi antara Islam dan negara Indonesia.
Penerimaan NU terhadap Pancasila telah mengubah secara mendasar wajah politik di Indonesia, yang kini menunjukkan menurunnya penerimaan terhadap parpol Islam dan partai bernuansa Islam. Kalau ormas Islam belum menerima Pancasila, mungkin hubungan Islam dengan agama lain masih tidak bersahabat. Penerimaan Pancasila merupakan langkah politik dan penerimaan itu hasil pemikiran para kiai NU yang dipimpin oleh KH Ahmad Siddiq.
Kiai yang mampu menghadirkan dirinya secara arif dan tegas dalam menyikapi persoalan bangsa, negara, dan agama bagi saya adalah kiai inklusif. Di samping memedulikan persoalan bangsa secara universal, dia juga kuasa selalu memancarkan aura kepemimpinan.
Aura kepemimpinan tersebut antara lain, pertama, tidak gentar terhadap perubahan zaman. Bagaimanapun upaya yang dilakukan untuk menolak perubahan—terutama dalam bingkai pemikiran—tentu akan sia-sia. Sebab, perubahan merupakan fitrah kehidupan.
Kedua, selalu bersikap berlandaskan pada nilai-nilai nubuwiyah. Kita tahu Nabi Muhammad saw. adalah panutan yang sangat ideal. Sepanjang sejarahnya, dia tidak pernah membiaskan kekecewaan kepada orang lain. Setidaknya, itu tercermin dari kecenderungannya untuk selalu senyum pada tiap orang yang berpapasan dengannya.
Ketiga, muhasabah sepanjang waktu. Rumor yang hingga kini berkembang di masyarakat ialah kiai anti-kesalahan. Sehingga, sikap yang ditunjukkan mereka mengerucut pada “penuhanan”. Panutan kita (Muhammad saw.) sangat tidak suka terhadap sikap para sahabatnya yang menghormati dirinya secara berlebihan. Kepercayaan masyarakat yang terkesan berlebihan merupakan tuntutan bagi kiai untuk selalu mawas diri dalam melangkah. Allah Mahatahu.
* Ketua LPM INSTIKA PP Annuqayah, Sumenep